Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Durja Tibet, <font color=#FF9900>Separuh Abad</font>

Lima puluh tahun berlalu sejak Tentara Pembebasan Rakyat masuk Tibet dan menguasai negeri di atap langit itu. Selama itu pula dunia mengenal dua versi cerita: dari warga Tibet yang tertindas versus cerita ”pembebasan” ala partai komunis Tiongkok. Memperingati pendudukan separuh abad ini, Tempo menyajikan kedua versi itu. Ikuti laporan Amelia Hapsari dari Beijing, yang ditulis Kurie Suditomo, dilengkapi dengan kisah keterlibatan intelijen Amerika menjelang Tiongkok masuk dan wawancara dengan Tenzing Sonam, sutradara film Tibet.

4 Mei 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APRIL 2009, Minzu Wenhua Gong, atau Istana Budaya Bangsa-bangsa, pusat Kota Beijing. Di sebelah luar, gambar Istana Potala di Tibet membungkus muka depan gedung. Di bagian dalam, pengunjung langsung berhadapan dengan empat foto masif, berukuran 2 x 3 meter, yang dijejerkan berdampingan. Mereka adalah pemimpin Cina yang berjabat tangan dengan utusan atau warga Tibet: Mao Zedong, Deng Xiaoping, Jiang Zemin, dan Hu Jintao.

Itulah sejarah Tibet menurut versi pemerintah Tiongkok. Dan Tibet adalah cerita pembebasan para budak yang teraniaya dalam teokrasi Dalai Lama, pemimpin besar negeri Tibet. Dengan kata lain, Tibet adalah bekas kerajaan otoriter yang telah dibebaskan dari belenggu aturan-aturan feodal oleh para kamerad Beijing. Sebulan sebelumnya—tepat 60 tahun berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, dan tepat 50 tahun kekalahan gerilyawan Tibet yang membuat Dalai Lama mengungsi ke India—pemerintah Tiongkok mendeklarasikan 28 Maret 2009 sebagai hari Pembebasan Para Budak di Tibet.

Minzua menjadi tuan rumah pameran ”Perayaan 50 Tahun Reformasi Demokratis di Tibet” ini. Digelar mulai 24 Februari dan berakhir pekan ini, pameran yang telah dihadiri lebih dari 24 ribu pengunjung itu memamerkan foto-foto tentang Tibet yang tidak banyak dilihat di media Barat ataupun pemerintah pengasingan Tibet di Dharamsala, India. Pertengahan April lalu, Tibet baru dibuka kembali untuk wisatawan setelah ditutup sejak unjuk rasa Maret lalu—meski masih tertutup untuk wartawan asing.

Minzu Wenhua Gong diterjemahkan menjadi Istana Budaya Bangsa-bangsa atau Istana Budaya Etnis Minoritas. Kata minzu dalam bahasa Mandarin memang bisa punya banyak interpretasi. Sebelum penyelenggaraan Olimpiade Beijing, ketika terjemahan bahasa Inggris yang asal-asalan masih mudah ditemukan di ibu kota negara 1,3 miliar orang ini, sebuah taman yang juga memamerkan budaya suku-suku pedalaman Cina pernah dinamai ”Racist Park”. Ini karena kata minzu diterjemahkan sebagai ras atau race. Ketika ras sebagai kata benda dijadikan kata sifat, berubahlah ia menjadi racist atau rasis. Untungnya, istana budaya sepuluh lantai yang terletak satu kilometer dari Istana Kuno Dinasti Ming dan Qing ini tidak pernah keliru dinamai ”Racist Cultural Palace”.

Pada ruang pamer pertama, pengunjung akan disambut dengan tableau, patung-patung manusia berukuran aslinya, yang merefleksikan peristiwa pada 1951, ketika lima orang delegasi Tibet menandatangani Perjanjian 17 Poin tentang masuknya Tibet ke Republik Rakyat Tiongkok. Patung-patung dari tanah liat ini menunduk sambil menggoreskan pena. Tujuh delegasi Partai Komunis Tiongkok berdiri di belakang mereka dengan latar belakang bendera merah berbintang tunggal—bendera partai.

Bagi pemerintah Tiongkok, sejarah Tibet tidak dimulai di sini. Tibet, negeri yang tahun lalu berpenduduk sekitar 2,8 juta jiwa (untuk luas wilayah yang menciut menjadi 1,2 juta kilometer persegi, atau kurang dari tiga jiwa per kilometer), sudah dianggap masuk wilayah Tiongkok selama beberapa dinasti. Setidaknya sejak Kubilai Khan mempersatukan Tiongkok pada abad ke-13. Ratusan tahun hubungan antara penguasa Tibet dan Cina yang erat—saling kunjung, pernikahan, penyebaran agama Buddha, dukungan kala pergantian kekuasaan dan perang, serta geopolitik pasca-Perang Dunia II—membuat Beijing mengartikan Lhasa, ibu kota Tibet, sebagai satelit kekuasaannya di barat.

Sejarah ini dibuktikan dengan foto stempel lambang naga pemberian Kubilai Khan dan gambar mural Dalai Lama ke-13 bertemu dengan Ibu Suri Cixi dari Dinasti Qing—dinasti terakhir Kerajaan Cina—saat Tibet lepas dari penjajahan Inggris (1904-1911). Patut dicatat, wilayah otonomi Tibet yang diakui Tiongkok modern hanya mencakup Provinsi U-Tsang dan sebelah barat Kham. Sedangkan wilayah yang dominan dengan warga beretnis Tibet (lebih besar dari yang diakui) masuk wilayah tanah air Tiongkok: Provinsi Qinghai, Gansu, Sichuan, dan Yunnan. Di sini diperkirakan ada sekitar 2,9 juta orang yang beretnis Tibet. Total luas Tibet sebelum Cina komunis datang adalah 2,5 juta kilometer.

Sebagai sang penyelamat kaum proletar, Republik Rakyat Tiongkok digambarkan telah membebaskan Tibet dari perbudakan. Simak saja pameran yang bertajuk ”Reformasi Demokratis” ini. Maksudnya, reformasi karena terjadi perubahan sistem sosial, sementara demokratis karena tercipta kesamaan derajat bagi semua warga.

Panel-panel yang dipasang menunjukkan realitas yang terjadi di Tibet sebelum Tiongkok datang: hampir semua penduduk Tibet adalah kaum budak yang tidak punya tanah, tidak pula memiliki penghidupan yang layak, dan hidup menghamba kepada yang minoritas, yakni kalangan lama—atau pemimpin agama dan kaum aristokrat. Mereka yang terlahir sebagai anak kaum budak tidak akan pernah bisa keluar dari nasib ini, harus melayani tuan mereka seumur hidup tanpa dibayar, dan mendapat hukuman berat bila kabur.

Dalam brosur pameran disebutkan Tibet adalah masyarakat feodal dengan sistem perbudakan yang bahkan lebih gelap dan kejam daripada abad pertengahan di Eropa. ”Produksi dimonopoli oleh tiga penguasa: pemerintah lokal, kalangan ningrat, dan kaum lama—agamawan—kelas atas di biara-biara besar atau perwakilannya. Dan jumlah mereka tak sampai lima persen dari seluruh Tibet. Mereka memiliki semua pertanian di Tibet, peternakan, hutan, gunung, sungai dan pantai, serta semua hewan ternak. Sisanya rakyat jelata sebagai budak yang disebut tralpa,” brosur itu menulis.

Dan Beijing memamerkannya dalam foto-foto yang dipaparkan dengan gamblang, seolah-olah melempengkan jalan Tentara Pembebasan Tibet untuk merangsek masuk pada 1959. Ada foto budak yang tangannya dibelenggu, meski wajahnya tidak tampak jelas. Juga foto-foto budak yang matanya dicukil satu dan yang pergelangan tangannya dipotong. Mereka yang kehilangan pergelangan tangan ini mengangkat tangan, seperti menunjukkan tangannya yang tanpa jari. Lalu ada juga foto budak yang bersandar pada cangkul, sementara rantai besi melingkari kakinya.

Foto hitam-putih yang rata-rata berukuran 10R itu bukan foto-foto baru. Dua pengunjung usia senja, bermarga Zhe dan Cai, mengaku pernah melihat foto-foto masa perbudakan Tibet ini di berbagai media massa sebelumnya. ”Sebetulnya sebagian dari pameran ini sudah pernah saya baca di koran,” kata Ibu Zhe, yang dalam masa pensiunnya terus mengikuti perkembangan berita. Ia dan Bapak Cai, yang sama-sama tidak mau menyebutkan nama lengkapnya, berasal dari generasi Tiongkok yang menganggap kesadaran politik adalah sebuah kebutuhan utama. ”Tahun lalu ada ribut-ribut di Tibet, jadi saya ingin tahu, sebetulnya ada apa di sana,” kata Bapak Cai.

Lalu dipamerkan pula foto-foto kedatangan Tentara Pembebasan Rakyat yang disambut musik, dan mereka mengadakan apel akbar di hadapan barisan gunung bersalju. Ada pula foto para pemberontak Tibet menyerahkan senjata, diikuti dengan foto-foto serdadu Tiongkok membangun jalan dan jembatan. Sayangnya, tidak ada keterangan apa-apa yang mengantar foto-foto itu, baik lokasi, tanggal, maupun konteks peristiwa.

Dalam cerita Tiongkok akan Tibet ini, kedatangan rezim komunis disambut meriah sebagai pahlawan yang membebaskan rakyat dari rezim negara agama yang hierarkis. Tampak dalam foto, orang-orang mengepalkan tinju sambil bersorak. Keterangannya menjelaskan, mereka adalah budak Tibet yang meminta reformasi demokratis dan penghapusan perbudakan feodal. Sedangkan foto ratusan laki-laki berjubah yang juga mengepalkan tinju ini disebut sebagai para lama yang meminta reformasi demokratis.

Setelah itu, para anggota Tentara Pembebasan Rakyat yang diutus oleh Beijing tampak diberi bunga oleh wanita-wanita berpakaian khas Tibet, seolah-olah telah lahir masa baru. Gambar-gambar mulai tampak ceria dengan tampak close-up-nya dua gadis anggota kelompok produksi tani binaan Partai Komunis Tiongkok. Seorang mantan budak mencium tanah dengan tulisan: ”Tanah, akhirnya kau milikku.” Seorang mantan budak yang lain difoto ketika pergi ke bank untuk pertama kalinya. Lucunya, petugas banknya kelihatan seperti gadis etnis Han, kelompok etnis Tiongkok yang menyerbu wilayah Tibet pascapendudukan.

Lalu gambar mulai berwarna ketika memotret mantan budak di masa pensiun mereka. Salah satunya tampak tinggal di rumah yang layak, dengan foto sanak keluarga dan pemimpin Cina di dinding. Seperti kebanyakan foto dalam pameran ini, foto-foto itu tidak memuat keterangan fotografer, tempat, dan tanggal yang tepat. Selain dua gadis anggota kelompok tani, tidak ada nama budak yang disebutkan. Seorang pengunjung pameran, Robert Leblanc dari Kanada, menyatakan sikap skeptis. ”Wajah bahagia kan bisa berkaitan dengan peristiwa apa saja. Mereka sepertinya hanya menaruh kata-kata pada gambar,” katanya sambil mengangkat bahu.

l l l

Tentu, cerita di atas adalah cerita Tiongkok. Tokoh sentral dalam cerita ini Tiongkok, bukan Tibet. Dari tapak pertama hingga terakhir di ruang pameran, pengunjung dibimbing untuk melihat Tiongkok, para pemimpin komunis mereka, dan sejarah perlakuan mereka terhadap entitas negeri bernama Tibet.

Perbudakan tak bisa dienyahkan dari sejarah Tibet, meski tak sesederhana yang ada dalam pameran itu. Sebelum Cina komunis datang, Tibet adalah negeri penganut Buddha, yang dijalankan secara tidak langsung dari biara karena dua pemimpin agama tertingginya—Dalai Lama dan Panchen Lama—adalah juga kepala negara sekaligus pemerintahan.

Waktu itu, hanya lima persen penduduknya yang berkecukupan: kalangan kerajaan, pemerintah, dan biara. Ketiganya menguasai seluruh sumber daya. Dan dengan mobilitas sosial yang sangat rendah, status quo ini terpelihara dari satu generasi ke generasi lain. Mayoritas rakyat berpendidikan rendah. Tingkat kesehatan dan kesejahteraan minim. Masyarakat negeri ini taat beragama, tapi jauh dari modernisasi. Ketika Cina komunis datang dengan slogan anti-Tuhan dan sama-rata sama-rasanya pada 1959, para kamerad Beijing menepuk dada sebagai ”pembebas” rakyat.

Dalam wacana Tibet berbahasa Inggris sering digunakan istilah serf untuk menyebut mayoritas rakyat Tibet di era prakomunis. Serf—diartikan sebagai budak—adalah istilah untuk rakyat yang terikat dengan tanah. Asal katanya dari tradisi yang dikukuhkan Kerajaan Roma sebelum Masehi. Posisi mereka masih lebih tinggi daripada budak biasa, yang diperlakukan sebagai komoditas sehingga bisa diperjualbelikan atau dipertukarkan. Serf masih memiliki petak tanah sendiri, meski keluarganya secara turun-temurun memiliki kewajiban abadi kepada pemilik tanah.

Dikutip kantor berita Reuters, antropolog Heidi Fjeld pada 2003 mengatakan penggunaan istilah feodalisme dan serf tidak tepat untuk menggambarkan sebuah sistem sosial berdasarkan kasta. Tapi, bagaimanapun istilahnya, menurut sejarawan Tibet, Melvyn Goldstein, karakteristik utama dari masyarakat Tibet prakomunis adalah individu tak punya pilihan. ”Mereka tak bisa mengembalikan tanah ke negara dan hidup sebagai rakyat merdeka,” katanya.

Tapi, di sisi lain, serf tak selamanya hidup susah. Kewajiban kepada tuan tanah jatuh pada keluarga, sehingga dalam satu keluarga beberapa orang bisa bertugas di ladang tuan tanah, sedangkan yang lain bisa berdagang atau berladang di petaknya sendiri. Mereka yang melarikan diri juga tak selalu dikejar. Bahkan ada serf yang memiliki petak luas sehingga menjadi ”tuan tanah” untuk serf lain.

Kalangan akademisi dan pemerhati Tibet melihat peluncuran Hari Pembebasan Budak Tibet tahun ini sebagai upaya pemerintah Tiongkok mengukuhkan alasan kehadirannya 50 tahun lalu. ”Triknya ada di penggunaan kata-kata serf dan feodal, dan membuat kita langsung berpikir brutal,” kata Robbie Barnett, sejarawan Tibet lain.

Bukan cuma itu. Cerita Tiongkok tentang dirinya sendiri di Tibet meminggirkan berbagai realitas. Misalnya tentang kekayaan budaya Tibet sebelum menjadi bagian otonomi Tiongkok. Juga tentang kepercayaan mendalam penduduk Tibet akan Buddha dan Dalai Lama sebagai titisan Buddha, sang welas asih—yang sedikit-banyak membuat negeri Tibet yang teokratis tak banyak mendapat tentangan internal—di samping tingkat pendidikan yang rendah. Tiongkok lebih mencurahkan waktu dan tempat untuk menorehkan warna gelap pada potret Dalai Lama. Bahkan Xinhua, kantor berita resmi Tiongkok, tak segan-segan menyebut Dalai Lama sebagai ”serigala berjubah biksu” dan ”hantu berwajah manusia”.

Yang lebih tidak punya tempat dalam narasi Tiongkok tentang Tibet adalah sentimen warga Tibet tentang melonjaknya migrasi etnis Han ke Tibet setelah 1951 atau kerusakan biara-biara Buddha Tibet pada masa Revolusi Kebudayaan 1966-1976. Semua foto pameran menampilkan etnis Han sebagai prajurit gagah berani, pembuat jalan yang menembus gunung, dan tenaga medis di Tibet yang terbelakang.

Pameran ini juga tak menyajikan darah yang tumpah di sepanjang pencaplokan. Pemerintah Tibet di pengasingan Dharamsala menyodorkan angka 1,2 juta jiwa orang Tibet yang melayang sejak Cina datang pada 1959. Meski angka ini dianggap para akademisi tak mempunyai dasar, tak ada yang memungkiri begitu banyak darah yang tumpah sepanjang 50 tahun terakhir. Patrick French, bekas direktur organisasi Free Tibet, menduga jumlahnya lebih tepat sekitar setengah juta. ”Jumlah yang sudah sangat mengerikan untuk melukiskan horor yang terjadi di Tibet.”

Dharamsala juga mengklaim, pada 1962, hanya tiga tahun setelah demonstrasi besar pada 1959 yang menewaskan 85 ribu warga Tibet, cuma 70 biara yang bertahan dari sekitar 2.500 yang ada sebelum Tiongkok masuk. Sebanyak 93 persen biksu dan biksuninya pun dipaksa keluar. Laporan hak asasi manusia tahun lalu mencatat Tibet berada dalam situasi mengerikan: penculikan, pembubaran unjuk rasa dengan senjata tajam dan penghilangan jenazahnya, penangkapan biksu dan biksuni, serta penyiksaan di penjara masih berlangsung. Jumlah tahanan politik diklaim sebesar 550, meski dicurigai jumlahnya jauh lebih besar lagi. Mereka yang hingga kini berada di dalam tahanan Tiongkok antara lain Panchen Lama (pemimpin kedua setelah Dalai Lama yang diculik pada usia enam tahun), kaum biksu dan biksuni, pemimpin biara, pelukis, pembuat film dokumenter, pekerja lembaga swadaya masyarakat, dan guru.

Wang Xuelian, seorang mahasiswa pengunjung pameran, mengakui ada hal-hal yang tidak disampaikan pada pameran ini. Ketika ditanyai bagian apa, ia tersenyum malu-malu sambil berkata, itulah rahasia negara. ”Sepertinya pameran ini harus lebih besar lagi, baru bisa menjelaskan situasi Tibet dengan lebih baik,” kata gadis yang mengunjungi pameran bersama ratusan teman kuliahnya itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus