Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ekonomi yang (Terancam) Hilang

Ekonomi Israel terus memburuk. Kibbutz harus melakukan akrobat bisnis.

8 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Deretan kontainer berwarna cerah itu teronggok di pelataran depan. Seorang pekerja sibuk memindahkannya ke sebuah truk. Setelah selesai, puluhan kotak besi yang sebagian besar berisi hasil pertanian milik beberapa kibbutz yang bertetangga itu meluncur ke pelabuhan, siap diseberangkan ke beberapa negara tetangga.

Konsorsium sejumlah kibbutz seperti sebuah jawaban atas pertanyaan besar mengenai masa depan ratusan kibbutz di tengah ekonomi Israel yang merosot beberapa tahun belakangan ini. Sandy Kuttler, penghuni Kibbutz Sarid di lembah Jezreel, mengatakan usaha kontainer patungan itu punya manfaat besar. Ekspor dari satu kibbutz kadang tak besar-besar amat sehingga tak efisien. "Dengan menjual bersama, persoalan itu setidaknya bisa diatasi. Lagi pula banyak kibbutz yang bertetangga," ujarnya.

Dari Mizra ke Dataran Tinggi Golan dan daerah perbatasan Israel, sepanjang perjalanan ditemui banyak kibbutz yang letaknya bertetangga. Mereka umumnya punya ciri-ciri yang mirip: tanah pertanian yang luas, rumah yang mengelilingi areal kibbutz, pabrik metal yang luasnya sedang-sedang saja, dan kandang sapi.

Peneliti kibbutz, Freddy Kahana, mengatakan, agar bisa terus hidup, komunitas bersama di Israel ini memang harus melakukan perubahan yang drastis. Masa depannya dipertanyakan kalau tetap bergantung pada pertanian. Dia bahkan belum yakin mereka bisa bertahan, meskipun banyak kibbutz sudah punya industri. "Harus ada terobosan drastis," tuturnya.

Mungkin karena itulah Sandy, pemandu wisata yang jago, berusaha membantu, tanpa peduli bahwa itu bukan kelompok tempat dia tinggal. Dalam wisata ke berbagai tempat bersejarah di negeri itu, sambil membawa wisatawan, Sandy sudah merencanakan singgah di beberapa kibbutz yang dilewati. Tentu saja untuk makan siang dan beristirahat sejenak. Shekel—mata uang Israel—yang dihasilkan mungkin tak seberapa. Tapi, dalam bayangan Sandy, kalau usaha makan siang di kibbutz ini dikelola dengan baik dan punya jaringan yang kuat, hasilnya bisa lumayan.

Sandy yakin pendatang di Israel pasti tertarik bersantap di kibbutz. Ada suasana lain yang tak ditemukan di restoran—makan bersama di rumah makan besar bersama penghuni kibbutz; ada makanan yang beragam, yang disajikan ala di kafetaria.

Sebenarnya sumbangan kibbutz terhadap ekonomi Israel cukup besar. Data Asosiasi Industri Kibbutz, sebuah organisasi yang menaungi lebih dari 400 industri kibbutz, menunjukkan komunitas ini bisa menyumbang 40 persen produksi pertanian negara itu. Sebesar 10 persen untuk pariwisata, 9 persen ekspor, dan 7 persen untuk produk industri. Bandingkan dengan jumlah mereka, yang cuma 2,5 persen dari total 6,2 juta penduduk Israel.

Secara sosial, komunitas kibbutz tak diragukan. Sifat egaliter—semua punya kedudukan yang sama—menjadikan mereka warga yang selalu ingin terlibat dalam kegiatan sosial.

Kontribusi itu pun sudah diberikan sejak awal berdiri. Ketika negara Israel belum berdiri, para pionir yang berjuang mengalahkan tanah tandus dan penyakit sudah berupaya memperhatikan pembangunan dan pertahanan Israel. Sampai sekarang pun masih berlanjut.

Namun, keterbatasan air dan lahan yang tandus membuat kibbutz mau tak mau harus beralih ke industri yang tak ada hubungannya dengan hasil bumi. Sebenarnya, persoalan ini sudah terasa sejak 1950-an. Waktu itu mereka sudah menyadari tak bisa lagi mengandalkan pertanian.

Investasi di industri pun meningkat. Masih dari Asosiasi Industri Kibbutz, pada 1995 penanaman modal mencapai US$ 204 juta. Sebagian ditanam untuk membuka industri baru, memperbarui bisnis lama, dan meningkatkan mutu produk. Kepemilikan industri ini pun beragam. Ada yang murni dimiliki satu kibbutz, tapi banyak juga yang merupakan kerja patungan beberapa kibbutz. Contohnya, jasa kontainer itu. Besarnya biaya ekspansi, inovasi, dan kompetisi antar-kibbutz membuat mereka bersatu.

Kibbutz pun mulai mengenal bank. Pinjaman mengucur untuk membiayai ekspansi industri. Sempat berkembang, tapi akhirnya susut pada 1980-an, ketika ekonomi Israel didera inflasi hingga melampaui 400 persen. Untuk mengendalikan keadaan, pemerintah Israel memutuskan mendevaluasi shekel, membekukan upah dan harga, dan menaikkan suku bunga ke tingkat yang luar biasa tinggi. Kibbutz yang kadung punya utang benar-benar terpukul. Jumlah utang total menggelembung hingga US$ 5 miliar-6 miliar. Pada 1985, sepertiga dari komunitas berjalan terseok-seok karena kesulitan keuangan.

Pemerintah Israel, bank, dan kibbutz berusaha mengatasinya. Ongkosnya cukup mahal. Beberapa kibbutz harus menjual tanah pertanian untuk membayar utang. Yang lainnya harus memangkas habis biaya operasi. Mereka juga harus bisa mencari sumber pendanaan baru dan meningkatkan produktivitas. Selalu ada yang harus dikorbankan: mengurangi pengeluaran untuk makanan, pengobatan yang tak begitu penting, pendidikan, dan perjalanan.

Kisah 20 tahun lalu itu bisa terulang lagi. Dua tahun belakangan, ekonomi Israel kembali terpukul. Bahkan jauh lebih buruk. "Angka pengangguran mulai mengkhawatirkan," kata Levy Gur, seorang ekonom. Pada tahun 2000, jumlah mereka yang tak bekerja mengalami peningkatan—meski tipis—menjadi 8,8 persen.

Akankah komunitas yang menerapkan sistem kebersamaan ini bisa bertahan hidup? Tzvi Schatz, seorang pendiri kibbutz, tetap yakin pada kelangsungan komunitas ini baik secara ekonomi maupun sosial. Katanya, kibbutz akan menciptakan tak hanya masyarakat baru, tapi juga sistem ekonomi baru. Tapi lebih banyak anggota kibbutz yang pasrah. Mereka sadar, ekonomi Israel yang memburuk akan memperparah kibbutz.

Sebuah langkah radikal sebenarnya sudah dipikirkan sejak 5-6 tahun lalu: mengubah kepemilikan barang bersama menjadi milik pribadi, atau diprivatisasi. Mendapat tentangan dari para pendiri yang masih merindukan darah sosialis tetap ada di kibbutz, transfer kepemilikan ini pun berjalan tersendat-sendat. Sebagian ekonom Israel menyayangkannya.

Daniel Doron, Direktur Pusat Pengembangan Sosial dan Ekonomi Israel, menyayangkan pikiran kolot itu dalam sebuah artikelnya. Dia yakin, meski menyakitkan, belum terlambat untuk melakukan gebrakan. "Ini untuk menyelamatkan tak hanya kibbutz, tapi juga ekonomi Israel," katanya.

Sebuah pekerjaan besar yang bakal tak mudah. Karenanya, pertanyaan ini terus terbuka: setelah ideologi sosialis kalah bersamaan dengan runtuhnya Uni Soviet, akankah ekonomi sosialis yang sudah bertahan puluhan bahkan hampir ratusan tahun di negara penganut garis keras kapitalisme itu hilang juga?

Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus