Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Surga Kanak-Kanak dan Para Uzur

Yang muda ingin keluar, tapi Noah memilih pulang. Serba lengkap, monoton, dan membosankan.

8 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


MUSIM dingin di Israel kali ini terasa lebih menusuk. Di Yerusalem, satu-satunya tempat yang sempat bersalju, "air batu" itu belum juga mencair. Suhu di kota purba ini, yang lazimnya 4-15 derajat Celsius di bulan Maret, terjun ke bawah nol. Tapi di Kibbutz Mizra, tiga kilometer perjalanan bus dari Yerusalem, air tak sampai beku. Suhu bertengger di sekitar 5-6 derajat Celsius.

"Kami senang musim dingin tahun ini Israel lebih basah," kata Noah Eliezer sambil menunjuk data hujan di papan pengumuman bangsal makan Kibbutz Mizra. Catatan itu menunjukkan, sejak 1980-an memang baru kali ini Israel sangat basah. Menjelang musim panas, biasanya April-Oktober, hujan masih terus turun. Padahal, menurut "tradisi", pada Juli-Agustus debu mendominasi dengan suhu sampai 32 derajat Celsius.

Pukul 12 waktu itu, di bulan Maret. Saatnya makan siang. Matahari seperti memboikot bumi. Angin kencang dan udara kelu yang membungkukkan punggung sebenarnya pas buat tidur, bersedekap dengan selimut tebal, atau mencari kehangatan di ruang komputer sambil buka-buka e-mail. Tapi makan siang ada di bangsal besar ini.

Dari ruang belajar, TEMPO bersama peserta kursus lainnya harus berjalan sepuluh menit. Pada jam-jam segitu, penghuni kibbutz bermunculan dari segala penjuru—dengan perut keroncongan. Dalam mantel tebal, sekelompok anak sekolah—di areal ini ada sekolah menengah—datang tertawa-tawa, seolah tak merasakan hujan dan angin kencang.

Orang-orang yang lebih tua datang dengan kendaraan khas kibbutz: sepeda motor kecil beratap, berkecepatan rendah. Setelah kereta angin, ini alat transportasi paling populer di areal cukup luas ini. Para perempuannya mengayuh sepeda "ontel", lengkap dengan keranjang tergantung di setang. Seorang ibu muda mendorong kereta bayi. Tangannya sibuk mengarahkan payung agar oroknya tak tersiram tampias.

Sarapan dan makan siang di aula, makan malam disediakan kalau ada tamu pondokan, seperti sebuah ritual tak bernama yang sudah mereka lakoni puluhan ribu kali. Di situlah sembilan ratusan penghuni kibbutz bertemu, saling sapa, dan mengobrol sambil mengunyah makanan atau menyesap anggur.

Terselip di sela Afula dan Nazareth, di tengah lembah Jezreel, Kibbutz Mizra didirikan pada 1923 oleh para Yahudi Rusia yang kembali ke tanah suci. Para Yahudi Rusia pulalah yang mendirikan kibbutz pertama di Israel, Degania A, bahkan sebelum kaum Bolshevik memenangi revolusi 1917. Waktu itu, lembah Jezreel merupakan rawa dengan bonus malaria.

Para pionir itu harus bertarung dengan alam tak bersahabat dan penyakit sekaligus. Hunian mereka cuma tenda. Satu-satunya bangunan dari beton diperuntukkan bagi anak-anak yang diasuh dan dibesarkan bersama. Enam tahun kemudian, rombongan baru datang dari Polandia. Pada 1940-an muncul Yahudi Eropa—kebanyakan dari Jerman.

Diperlukan waktu hampir seabad sebelum kawasan kumuh dan masam itu berkembang menjadi Mizra sekarang. Bukan karena sulap kalau tanah yang tadinya tak subur kini menghasilkan berton-ton gandum, kapas, jagung, kacang polong, merica, dan makanan ternak. Malaria tinggal cerita di perpustakaan.

Di areal seluas 1.000 hektare, mereka bertani, beternak, punya pabrik daging dan pabrik metal. Maadaney Mizra, produk daging yang cukup terkenal di Israel, dibuat oleh komunitas ini. Industri jadi jalan keluar karena pertanian mulai menurun hasilnya dan tak menarik kalangan muda.

Tak jauh dari gerbang utama, bau rumput dan pelet makanan ternak menyapa hidung. Di situ ada gudang makanan buat 400 sapi perah milik kibbutz. Menjelang gerbang utama, terhampar Mif-Gash Mizra, pusat belanja lumayan mentereng, lengkap dengan toko yang memajang produk kibbutz, seperti daging dan barang cendera mata. Di dekatnya ada Mizra Grill Restaurant dan kafe.

Belakangan mereka merintis usaha penginapan. Tak mewah, tapi kalau di Jakarta bisa dapat bintang tiga. Di sinilah TEMPO dan sejumlah peserta kursus usaha kecil menengah dari berbagai negara mondok selama tiga minggu. Penyelenggara kursus, Galillee College, institut manajemen di Israel, memang punya pusat belajar di situ.

Selain taman kanak-kanak, Mizra punya Amakim. Sekolah menengah atas ini juga menerima siswa dari kibbutz tetangga dan penduduk sekitar Mizra. Untuk sekolah menengah pertama, komunitas ini bekerja sama dengan tiga kibbutz lainnya. Lokasinya di Kibbutz Merchavia, bersebelahan dengan Afula. Para anak baru gede ini setiap pagi dijemput-antar dengan bus besar.

Noah, yang menjabat kasir di ruang makan, menikmati kehidupan di kibbutz. Dia baru setahun keluar dari pendidikan militer, dan memilih balik ke Mizra. Tak semua temannya pulang. Menurut Noah, yang punya pengalaman dibesarkan bersama anak-anak lain, banyak temannya yang mulai bosan pada kehidupan kibbutz yang serba teratur. "Yang dapat pekerjaan di luar biasanya memilih keluar kibbutz. Apalagi kalau gajinya gede," katanya.

Kibbutz memang tak bisa menghindari perubahan. Pembagian kekayaan dan sistem mulai mengadopsi cara-cara kapitalis. Shoshi Norman dari Galillee College mengatakan, kibbutz cukup tanggap terhadap proses perubahan. Anggota diberi kebebasan menentukan gaya hidup. Dari urusan memilih pakaian, peralatan rumah, sampai berlibur. Kadang ada yang mendapat kartu kredit dalam jumlah tertentu.

Membesarkan anak bersama, yang pernah dialami Noah, misalnya, sudah tak laku lagi di Mizra. Setiap anak dibesarkan di rumah sendiri, karena tiap anggota sudah mendapat rumah. Para bocah hanya berkumpul setiap pagi, satu grup 25 anak, di taman kanak-kanak yang tempatnya dekat dengan ruang makan.

Upah diberlakukan. Sementara dulu hasil usaha dibagi bersama berdasarkan jumlah anggota keluarga, kini setiap orang mendapat upah. Konsekuensinya, makan di dining hall yang tadinya gratis kini harus bayar. Tidak dengan uang kontan, memang, cukup menggesek kartu makan.

Menjadi anggota kibbutz pun kini lebih terasa "merdeka". Pasangan muda yang tertarik dengan sistem ini, dan merasa tinggal di kibbutz lebih tenang dan nyaman, bisa melamar menjadi anggota. Mereka akan diberi rumah kecil. Setelah beberapa tahun, barulah komite kibbutz memutuskan mereka diterima atau tidak.

Hukum yang berlaku di kibbutz—baik tersurat maupun tidak—dibuat atas kesepakatan bersama. Semuanya diurus komite yang diangkat melalui pemungutan suara. Mulai dari pembagian kerja, kesehatan, pendidikan, keuangan, dan pengelolaan warga lanjut usia.

Warga kibbutz dimanjakan oleh udara nyaman dan rasa aman. Semua kebutuhan dasar terpenuhi. Sarana olahraga meliputi tenis dan renang, tentunya di musim panas. Di kompleks sekitar ruang makan berdiri teater yang, sayangnya, ketika itu lagi "reses".

Ketika Amerika menginvasi Irak, dan Israel ketar- ketir menghadapi kemungkinan diserang Irak, banyak penduduk Tel Aviv mengungsi dan menginap di pondokan Mizra. "Misil Irak tak sampai ke sini," kata Presiden Direktur Galillee College, Joseph Shevel. Soalnya, pada Perang Teluk 1991, rudal kiriman Saddam Hussein sempat berjatuhan di Haifa dan Tel-Aviv, dua kota besar di Israel yang jaraknya masing-masing 1-2 jam dari Mizra. Kalaupun situasi memburuk, bunker yang muat 20 orang ada di sebuah gedung dekat penginapan.

Dua minggu lewat ketika seorang teman dari Afrika mulai bosan. "Terlalu monoton, tak ada hiburan dan 'pergolakan' di sini," katanya. Memang, seharian di Kibbutz Mizra, yang ada hanya sunyi. Rumah kotak yang seragam dan ratusan jumlahnya itu selalu tertutup. Tak ada lalu-lalang di jalan-jalan kecil. Padahal hampir seribu orang bermukim di situ.

Malam di Mizra lebih sepi lagi. Ke mana mereka setelah makan siang yang ramai itu? Tak jelas apakah karena musim sedang dingin sehingga mereka lebih senang "ngendon" di rumah. Menikmati keteraturan, kedamaian, dan ketenteraman yang entah sampai kapan. Nathan Tirosh dari Galillee College mungkin benar: kibbutz adalah surga bagi anak kecil dan mereka yang uzur.

Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus