Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIANG seusai asar, Rabu pekan lalu. Seorang pria turun dari bus di persimpangan Genuk, Semarang Timur, Jawa Tengah. Kedatangannya disambut dua pria. Tanpa mereka sadari, tiga agen polisi dari Detasemen Antiteror 88 yang menguntitnya sejak dari Malang, Jawa Timur, menodongkan pistol. Mereka melawan. Baku tembak tak terhindarkan.
Polisi berhasil meringkus seorang penjemput dan tamunya, sementara satu penjeput lainnya berhasil kabur. Polisi merampas dua bungkusan, diduga berisi bom, dari masing-masing tersangka. Belakangan diketahui sang penjemput bernama Anif Solchanudin, dan tamunya bernama Achmad Cholili.
Dalam pemeriksaan polisi, dari mulut kedua orang itu meluncurlah informasi penting. Achmad membenarkan bahwa di dalam rumah kontrakan di Perumahan Flamboyan Indah, Kota Batu, Jawa Timur sedang bersembunyi Doktor ”Bom” Azahari. Di rumah itu juga tinggal Arman, alias Budi Darmawan, yang menjadi asisten sang perakit bom. Dari rumah itulah pertama kalinya Achmad dikuntit ketiga agen. Adapun Anif mengaku di kamarnya Noor Din M. Top dalam dua malam terakhir menginap. Di Semarang, polisi juga memeriksa rumah Dwi Widiyarto. Dwi dicurigai sebagai salah seorang penjemput Achmad yang berhasil kabur saat baku tembak di persimpangan Genuk.
Siapakah empat sekawan yang bersama Azahari pada hari-hari terakhirnya. Berikut profil mereka.
Arman, 24 tahun
Identitas Arman samar-samar. Saat penyerbuan di Perumahan Flamboyan Indah, Batu, Jawa Timur, dia tewas bersama Azahari. Menurut kesaksian warga sekitar, Arman selama ini mengaku bernama Budi Darmawan. ”Saya yakin dia yang selama ini mengaku bernama Budi,” kata Anil Warman, warga perumahan itu, saat melihat foto mayat Arman.
Menurut Solfan Effendi, yang rumahnya berhadapan dengan rumah kontrakan itu, penampilan Budi selalu sopan dan baik kepada keluarganya sehingga tak mengundang curiga. Perawakan Budi kurus, kulit gelap, dengan tinggi sekitar 170 sentimeter. Kepada Solfan, Budi mengaku sedang mengerjakan skripsi. ”Pikiran saya mungkin mereka cari tempat yang tenang,” katanya.
Identitas Budi Darmawan yang ditemukan di lokasi menunjukkan sebagai mahasiswa Fakultas Elektro Universitas Muhammadiyah Malang, asal Bandung. Tetapi Hari Sunaryo, juru bicara universitas itu, tak menemukan nama Budi Darmawan dalam daftar mahasiswanya. Menurut Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutanto, Arman merupakan anak didik Dr Azahari. Kemampuannya dalam meracik bom hanya selapis di bawah gurunya.
Achmad Cholili, 27 tahun
Gelar sarjana teknik sipil diraih Achmad Cholili dari Universitas Negeri Malang, Jawa Timur, tiga tahun lalu. Sejak sekolah dasar dia menjadi yatim dan dibesarkan oleh Sopia, 55 tahun, ibunya. Menurut Sopia, anaknya santun, taat beribadah, dan pintar. Dia juga suka mengalah, baik terhadap teman maupun saudaranya. ”Dia tak pernah berkelahi dengan saudaranya,” kata penjual pakaian di Pasar Besar Malang itu.
Achmad kepada warga di Perumahan Flamboyan Indah, Batu, mengaku bernama Yahya Antoni. Dia anak keempat dari lima bersaudara. Setelah menamatkan pendidikannya di Madrasah Aliyah Negeri 1 Malang, Achmad melanjutkan pendidikan ke Universitas Negeri Malang—kampus yang dulu bernama IKIP Malang. Setelah lulus, sembari mencari pekerjaan, dia membantu ibunya berjualan di pasar. Dalam setahun terakhir, Achmad mulai jarang pulang.
Sopia merasa bangga ketika Achmad mengabarkan telah membuka gerai telepon seluler di Pasar Kepanjen, Kabupaten Malang, empat bulan lalu. ”Ia bekerja sama dengan seorang temannya,” kata Sopia. Namun Achmad tak pernah menceritakan siapa temannya itu. Terakhir Achmad berkumpul dengan ibunya saat Lebaran lalu. Setelah bersilaturahmi selama tiga hari, dia pamit ke Kepanjen menjaga toko ponselnya.
Sopia, yang tinggal di perkampungan padat penduduk di Jalan Ir H. Juanda I, Blimbing, Malang, terkejut ketika polisi datang ke rumahnya pada Kamis pekan lalu. Awalnya polisi mengaku akan mencocokkan surat tanda nomor kendaraan sepeda motor atas nama Achmad. Sopia menuruti permintaan itu dengan menyerahkan buku pemilik kendaraan bermotor. Kecurigaannya muncul ketika polisi juga menggeledah kamar anaknya dan menyita empat buku agama yang ada di sana.
Belakangan polisi mengaku telah menangkap Achmad dan memberitahukan sepeda motor anaknya itu ada di persembunyian Azahari di Perumahan Flamboyan Indah. Sopia mengaku pasrah dan berharap anaknya menyadari kekeliruannya. ”Berani berbuat harus berani bertanggung jawab,” katanya tegar.
Anif Solchanudin, 24 tahun
Anif Solchanudin menempati salah satu kamar rumah orang tuanya di Jalan Pamularsih IV, Semarang. Anak keempat dari tujuh bersaudara ini mengaku menerima tamu yang diduga Noor Din M. Top. Selama dua hari, Selasa dan Rabu pekan lalu, Noor Din menginap di kamarnya.
Ayah Anif, Suyudi, mengakui anaknya menginapkan tamu pria. Tapi Suyudi mengaku tidak hafal ciri-ciri orang asing tersebut. ”Orangnya tidak pernah keluar dari kamar. Tapi perawakannya kurus dengan rambut ikal,” katanya. Kamar Anif memang agak terpisah dari bangunan utama rumah, sehingga anggota keluarga yang lain kurang mengenali tamu tersebut. Anif dan tamunya meninggalkan kamar sejak Rabu pekan lalu.
Anif menyelesaikan sekolahnya di SMA 7 Semarang, jurusan IPA, empat tahun lalu. Dia dikenal aktif sebagai pengurus masjid yang terletak di depan rumahnya. Menurut ayahnya, Anif tergolong pendiam dan tertutup. Wajar jika dia kaget anaknya dikaitkan dengan terorisme. ”Anif hanya lulus SMA dan tidak pernah merantau atau aktif di organisasi tertentu,” ujar bapak yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh bangunan ini.
Sehari-harinya, Anif bekerja mereparasi dan jual-beli telepon seluler. ”Dia menyewa gerai di Jalan Puspowarno Raya,” kata ayahnya. Riyanto, pemilik bengkel sepeda motor yang bersebelahan dengan gerai Anif, mengatakan, pada Rabu siang Anif meninggalkan gerainya.
Dwi Widiyarto, 33 tahun
Sampai kini Dwi Widiyarto masih buron. Dia pergi dari rumahnya dan tak pernah kembali sejak Rabu pekan lalu. Kakak ipar Dwi, Budi Ispriarso, mengaku masih sempat menghubungi Dwi melalui telepon selulernya pukul 17.00 sore itu. Saat itu rumahnya di Jalan Menjangan, Semarang, sudah didatangi banyak polisi. ”Saya menghubungi Dwi agar pulang. Dia mengaku berada di counter HP-nya. Tapi sejak itu dia tidak pulang,” kata Budi.
Polisi juga menggeledah rumah orang tuanya di Jalan Lamper Tengah, Semarang. Salah satu ruangan di rumah itu dipakai Dwi sebagai tempat reparasi dan menjual telepon seluler. Polisi sempat mengambil foto Dwi, beberapa buku, dan sebilah sangkur. ”Kami tidak menemukan bahan peledak,” kata salah seorang anggota kepolisian.
Wiwid, begitu panggilannya, anak kedua dari lima bersaudara keluarga Pramono. Alumni SMA Negeri 1 Semarang tahun 1991 ini melanjutkan kuliah di Jurusan Matematika IKIP Negeri Semarang. Namun baru empat semester terputus karena alasan ekonomi. Gagal kuliah dia menikahi Supriyaniningsih yang juga kakak kelasnya di SMA. Selain mereparasi telepon genggam, ia juga memberikan kursus matematika kepada siswa SD dan SMP.
Dwi kuliah lagi di IKIP PGRI Semarang dengan jurusan yang sama, tujuh tahun lalu. Namun hanya sampai enam semester, kuliah itu kembali mandek. Menurut ayahnya, Dwi pendiam dan kurang bisa bergaul. Dia juga tidak pernah merantau ke kota lain atau mengikuti salah satu organisasi Islam tertentu. ”Jadi saya kaget kalau dia ternyata terkait dengan jaringan teroris,” kata Pramono, yang sehari-hari bekerja sebagai satpam di sebuah hotel di Semarang.
Agung Rulianto, Sohirin (Semarang), Imron Rosyid dan Anas Syahirul (Solo), Bibin Bintariadi (Batu), Adi Mawardi dan Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo