Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Kairo, ibu negeri Mesir, perhelatan itu dilangsungkan: Cairo International Festival for Experimental Theatre, selanjutnya kita sebut CIFET. Telah 17 kali kegiatan ini digelar dengan peserta dari berbagai-bagai antero bumi. Untuk pertama kalinya kami dari Teater Mandiri ”mengisi formulir”, mencoba bersaing merebut kesempatan untuk tampil. Sebelumnya Teater Mandiri lebih banyak berlaku sebagai pemalas yang menunggu undangan.
Berbeda dengan rupa-rupa festival teater yang pernah kami ikuti, CIFET adalah sebuah kompetisi. Tak disebutkan apa hadiah untuk pemenang. Tetapi pesona negeri Pharaoh dengan piramid, sphinx, obelisk, mumi, tulisan hieroglip, Sungai Nil, serta tari perut sudah menjadi magnet yang menggairahkan (lihat, Aroma Indonesia di Jantung Mesir). Tanpa tahu bagaimana melaksanakannya nanti, kami mencoba merebut undangan resmi.
Kesempatan menjenguk negeri itu hampir saja hilang karena sempitnya waktu untuk mencari dana guna membeli tiket. Persiapan artistik tidak bisa maksimal karena belum jelas berapa orang yang dapat kami berangkatkan. Tetapi keadaan yang terjepit selalu membawa keberanian baru dan angin segar. Kami dibantu oleh berbagai kebetulan dan keberuntungan.
Festival sudah mulai ketika kami memastikan berangkat pada 24 September, membawa pertunjukan berjudul ZERO. Mendadak hubungan dengan panitia di Kairo tiba-tiba putus. Mungkin karena mereka menyangka kami tak jadi datang. Kami deg-degan, pontang-panting mengontak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kairo. Kami minta ada yang membantu memastikan bahwa kami sudah masuk ke jadwal festival supaya keberangkatan tidak sia-sia.
Ternyata semuanya sudah disiapkan. Bahkan sebelum berangkat sudah ketahuan kami akan ditempatkan di Hotel Umi Kalsum. Walau masih waswas karena berita itu tidak langsung datang dari panitia, kami meninggalkan Jakarta. Tak seorang pun di antara kami pernah ke Mesir dan paham bahasa Arab.
Tengah malam kami tiba di lapangan terbang internasional Kairo. Muncul rasa lega karena disambut oleh panitia serta beberapa orang staf dari KBRI. Kairo ternyata sebuah kota besar yang lumayan hijau. Sungai Nil membelah kota itu. Kami naik kelas ke hotel bintang lima, Pyramisa, dekat Sungai Nil, tak jauh dari tempat pertunjukan.
Begitu sampai di hotel, muncul persoalan. Salah satu lampu yang menjadi nyawa kami dalam pertunjukan lenyap. Ketika turun dari pesawat, salah seorang dari kami memang bertugas mencangkingnya. Tapi, begitu pindah ke bus, kami tak tahu lagi jejaknya. Sebuah smoke’s gun juga tak kelihatan. Kebahagiaan akan melihat tari perut menyebabkan kami terlalu banyak bercanda, lupa bahwa kami bukan turis melainkan pekerja panggung.
Panitia berjanji akan mengurus esoknya, jadi kami putuskan segera masuk ke kamar hotel. Kairo empat jam lebih lambat dari Jakarta. Esok paginya Egy, pimpinan rombongan, menemui saya untuk menyewa taksi dan mencari sendiri barang itu di bandara. Panitia tampaknya terlalu sibuk dan tak bisa diharapkan membantu. Saya memeriksa situasi keuangan. Karena masih mungkin, Egy lalu menyewa taksi dan ditemani dua penanggung jawab properti.
Ternyata kisahnya menjadi panjang. Di bandara, setelah berjalan kian-kemari, mereka menemukan kedua barang itu sudah diamankan petugas. Rupanya, lampu dan smoke’s gun itu dicurigai sebagai bom. ”Kalau ini terjadi di negeri Barat, kita bakal dapat susah,” kata Egy. Tetapi, dasar masih negeri Timur, dengan sentuhan basa-basi dan persahabatan, semuanya bisa diselesaikan dengan damai. Dalam hari-hari selanjutnya, saya menemukan suasana persahabatan dan kekeluargaan masih mudah ditemukan di negeri ini (lihat Sepotong Wajah Kairo).
Kembali ke soal lampu dan smoke’s gun, kedua barang itu kami dapatkan kembali dengan hanya kehilangan ongkos taksi sekitar 500 ribu. Insiden di bandara itu bagai peringatan awal karena setelah itu kami alami betapa ketatnya pengamanan sepanjang festival. Teror bom dan terbakarnya sebuah gedung pertunjukan di Kairo barangkali penyebabnya. Masuk ke gedung pertunjukan tidaklah mudah. Semua barang diperiksa dan didaftarkan. Keluarnya pun demikian. Rombongan kami mendapat kawalan seorang petugas yang memakai jas tapi menyimpan senjata berat di balik bajunya.
Festival CIFET 17, dari 20 sampai 30 September 2005, dihadiri kelompok teater dari 47 negara. Dari Asia dan Amerika Latin (antara lain Cina, Jepang, Suriah, Yordania, Arab, Brasil, Peru), Amerika Serikat, Belanda, Prancis, Italia, Spanyol, Jerman, Yunani. Kelompok-kelompok teater Eropa Timur mengalir dari Rusia, Polandia, Austria, Rumania Kosovo, Serbia, Kroasia Slovakia, dan lain-lain.
Suasana amat semarak sekaligus unik karena yang difestivalkan adalah karya-karya eksperimental. Festival ini menjadi semacam jendela untuk membuktikan bahwa dunia tak lagi terbelah sebagai Utara dan Selatan, Timur dan Barat, tetapi setara dalam berekspresi, khususnya dalam teater.
Menteri Kebudayaan Mesir, Farouk Husni, dalam buku acara festival menulis singkat namun indah dan tajam: ”Pada suatu kali seseorang bertanya kepada saya, apa yang mendorong saya mendukung festival ini. Jawaban saya adalah saya percaya pada semua yang dapat memberdayakan penemuan-penemuan baru. Dan mendukung sepenuhnya para artis yang mengambil inisiatif untuk mengubah keadaan tanpa menunggu-nunggu perintah dari siapa pun. Itulah landasan yang memberi saya pegangan bertindak selaku penanggung jawab kebudayaan.”
Selanjutnya Menteri tak meragukan lagi, festival ini akan mengerahkan peserta dari berbagai kawasan dunia dengan segala macam eksperimentasi mereka yang membawa pembaruan. Dalam pertemuan berbagai keragaman itu akan bangkit sikap toleransi, hormat-menghormati, sambil tetap mempertahankan kemerdekaan.
Direktur festival, Profesor Fawzi Fahmi Ahmed, menyebutkan dunia teater sebagai tergambar dalam Festival Teater Avignon di Prancis, sudah meninggalkan kata-kata. Kini adalah zaman teater imaji atau teater visual. Ia menunjuk pada sebuah artikel yang termuat di Le Monde, ditulis oleh Oliver Py, Direktur Orleans National Theatre Center.
Menurut Py, absennya sastra dari Festival Avignon tahun ini tak terbayang pada 30 tahun yang lalu. Untuk pertama kalinya teater kata-kata sudah ditinggalkan, beralih pada bentuk baru teater. ”Ini membuat Festival Avignon menjadi festival seni visual, bukan lagi festival teater sastra, teater yang lebih dekat pada seni rupa daripada sastra.”
Mesir, sebagai negara yang penghasilan utamanya dari pariwisata, ternyata amat kaya dengan berbagai festival. Rupanya, ini bagian dari jaring untuk menjerat wisatawan. Kompleks Opera House (sejenis Taman Ismail Marzuki di Jakarta), yang menjadi tempat festival, dihuni banyak gedung pertunjukan. Konon kompleks itu tak pernah sepi dari kegiatan sehingga untuk bisa tampil di sana bukan hal mudah. Salah seorang staf kedutaan mengatakan apresiasi masyarakat terhadap teater amat bagus. Sebuah pertunjukan lokal, misalnya, pernah bertahan main sampai tujuh tahun.
Teater Mandiri mendapat jadwal main pada 27 dan 28 September di Artistic Creativity Centre di dalam areal Opera House. Sebuah gedung antik, dengan peralatan panggung modern. Gedung berkapasitas 200 penonton itu cocok untuk ZERO, yang lebih menggigit kalau ditonton dari jarak dekat. Posisi tempat duduk penonton dapat diubah-ubah. Panggung amat fleksibel, dapat dibentuk menurut kebutuhan. Hanya, karena jadwal padat setiap hari, kami hanya bisa masuk tanggal 26 September setelah Peru selesai memainkan Antigone. Itu pun untuk sekadar mendesain panggung. Baru esok harinya kami bisa benar-benar masuk dan langsung main pada pukul 22.30 waktu setempat—kira-kira pukul 02.30 pagi WIB.
Awal masuk ke gedung pertunjukan, saya ditahan. Saya tidak boleh masuk sampai staf KBRI yang mendampingi kami muncul dan menjelaskan dalam bahasa Arab. Barang-barang kami lantas diperiksa satu per satu. Mula-mula saya merasa kesal, kenapa mesti berhadapan dengan petugas dan birokrasi yang begitu kaku. Sampai-sampai saya membentak saat mengucapkan ”thank you”. Tangan penjaga itu saya guncang keras-keras. Dia hanya tersenyum, mungkin sudah biasa menghadapi orang frustrasi.
Belakangan saya sadar, kekakuan itu justru baik untuk mengamankan pertunjukan. Saya memang sudah telanjur terbiasa dengan suasana bebas-seenak-nya dalam gedung-gedung pertunjukan di Jakarta, yang sejatinya amat berbahaya di masa-masa merebaknya aksi teror bom. Kesadaran itulah yang mempengaruhi saya ketika pada malam pertunjukan, panitia mempersoalkan smoke’s gun yang kami pakai.
Berkali-kali mereka minta kami mencobanya untuk melihat apakah alarm di dalam gedung tidak akan terangsang oleh asap itu. Dengan susah payah penerjemah kami dari KBRI menjelaskan hal itu sudah sering kami pakai di banyak negara tanpa masalah. Tetapi mereka tetap saja khawatir. Bahkan ketika kami berjanji hanya akan menghidupkannya dua kali, mereka tetap tampak tak bahagia.
Izin untuk urusan asap ini akhirnya keluar, tapi dengan syarat kami harus berani bertanggung jawab bila terjadi sesuatu. Saya sendiri kemudian yang takut. Saya tak mau memikul tanggung jawab untuk sesuatu yang bisa saja bukan akibat smoke’s gun. Akhirnya saya menyerah. Toh, ZERO masih mampu bicara tanpa asap. Dengan mengalah, saya menghilangkan beban ketegangan. Kami pun siap memulai pertunjukan.
Tetapi alangkah lamanya petugas memasukkan penonton. Setelah lima penonton didudukkan dengan baik di kursi, barulah petugas membawa lima penonton berikutnya. Hampir setengah jam berlalu untuk mengatur penonton yang berjubel. Egy mengintip di luar gedung melihat penonton antre. Itu untuk pertama kalinya dalam sejarah Teater Mandiri, sebagian penonton tak bisa tertampung. Petugas tak memberi izin penonton yang bersedia menonton sambil berdiri.
Sekitar 20 orang juri dari berbagai negara berikut penerjemahnya duduk di deretan kursi pertama. Saya dengar di antara mereka ada Otori Hidenaga, kritikus teater dari Tokyo, yang tiga kali menjadi kurator Laokoon Festival di Hamburg. Namanya merupakan jaminan kualitas juri. Toh, para pemain tidak grogi. Semua bermain tanpa beban. Yang menarik perhatian adalah kehadiran Duta Besar Bachtiar Ali bersama Nyonya serta beberapa mahasiswa Indonesia. Seorang duta besar yang datang ke perhelatan teater tradisional, sudah biasa. Tapi di pesta teater eksperimental? Itu benar-benar hal baru bagi saya.
Hampir semua pemain sudah mengantuk berat, tapi pertunjukan kami berjalan mulus. Seusai pertunjukan, Duta Besar dan Nyonya memeluk Fien Herman, satu-satunya pemain putri kami, dengan hangat sekali. Duta Besar yang doktor dan asal Aceh itu menyalami saya sambil memberi komentar: ”Ini sebuah pertunjukan bagi orang yang benar-benar terdidik.” Saya tidak tahu apakah itu pujian atau bukan, namun saya menikmati guncangan tangannya. Para mahasiswa pun berbungabunga. Apalagi mereka tahu, dua orang mahasiswa membantu kami di belakang, menggoyang layar.
Lalu datang beberapa orang Irak menjabat tangan kami dengan amat akrab. Salah seorang mahasiswa berbisik pada saya bahwa orang itu entah kenapa menangis selama pertunjukan. Mungkin tontonan kami mengingatkan pada nasib negerinya. Setelah itu, yang paling mengharukan, para petugas yang semula ketus, galak, dan keras kepada kami muncul dan menyalami kami dengan muka berseri-seri. ”Kami harap kalian menang,” katanya dalam bahasa Arab dan diterjemahkan oleh staf kedutaan.
Saya pulang ke hotel dengan perasaan plong. Mungkin kami tidak tampil bagus amat, apalagi tanpa asap yang bisa membuat nuansa lebih magis. Tetapi kami telah memindahkan sebuah gambar yang kami lukis di Tanah Air ke negeri piramid itu. Seakan-akan saya sudah bermain di depan para Cleopatra atau Ramses, di depan sejarah. Ambisi saya untuk mengenalkan Indonesia tidak hanya sebagai timbunan tradisi yang telah lampau dan beku, tetapi sebagai sesuatu yang terus hidup dan aktual dengan manusia Indonesia yang sama dengan semua manusia di mana saja di muka bumi ini, seperti menjadi kenyataan.
Malam berikutnya, pertunjukan dimulai pukul delapan malam. Staf KBRI memasang kamera untuk merekam pertunjukan, tetapi kemudian hal itu dibatalkan karena panitia keberatan. Kebetulan malam itu permainan kami merosot. Beberapa pengembangan yang saya lakukan pada adegan, sebagaimana biasa kami praktekkan, tak berhasil. Terutama karena, di tengah pertunjukan, layar robek sehingga para pemain sibuk menutup gambar supaya tidak terjadi kebocoran. Pada saat itu, sebenarnya kami memerlukan malam ketiga dan saya yakin akan menjadi puncak pertunjukan. Tetapi, sebagaimana juga peserta yang lain, kami hanya punya peluang dua kali.
Sehari sesudah itu, pagi-pagi buta, telepon masuk ke kamar Sulasmoro, salah satu anggota kami. Berita via telepon itu menyebutkan kami dinominasikan, karenanya diminta hadir pada penutupan festival. Di lobi hotel, sebelum sarapan pagi, beberapa peserta dari Arab Saudi mendekati kami dan mengucapkan selamat. Saya masih tetap merasa itu sebagai lelucon saja. Baru dalam perjalanan ke Alexandria, staf KBRI yang ditugasi memantau kesibukan festival membenarkan kami termasuk yang menang. Namun upacara penutupan, sebagaimana juga upacara pembukaan festival, dibatalkan. Kami yakin semua itu demi keamanan.
Tengah malam, masuk ke tanggal 2 Oktober, kami kembali berada di bandara internasional Kairo, untuk pulang ke Jakarta. Staf KBRI yang mengurus segala sesuatunya dengan panitia muncul membawa amplop besar berisi sertifikat dan sebuah piala berwujud patung keemasan untuk kami sebagai The Best Ensemble Work. Para pemain menatap patung keemasan itu sambil menelan air ludah, memadamkan mimpinya yang membara: sebelumnya mereka menyangka akan mendapat hadiah uang. Maklumlah, mereka ditunggu keluarganya di rumah dengan harapan pulang membawa rezeki. Ternyata hanya selembar kertas dan patung.
Saya sendiri bukan tak gembira. Sebagaimana kata istri saya, minimal kami mampu bersaing di antara kelompok dari 47 negara. Itu sudah merupakan sebuah catatan. Meskipun kecil. Hanya, hati saya sudah tertindih oleh berita duka dari Tanah Air yang saya terima via SMS. Bom meledak lagi di Jimbaran, Bali, beberapa orang sudah meninggal. Berarti perang masih terus berlangsung. Tak ada orang yang sudi surut ke zero. Entah berapa lama hal itu akan terus terjadi.
Kembali ke Tanah Air, ada wartawan yang bertanya kepada saya pelajaran apa yang bisa ditarik dari perjalanan ke Kairo. Saya hanya bisa bilang bahwa kesempatan untuk memperkenalkan potensi Indonesia di mancanegara tidak cukup hanya ditunggu, tetapi direbut. Selain dari itu, saya amat terkejut bahwa di Indonesia masih banyak dermawan yang bersedia membantu sebuah misi eksperimental. Ini amat mengharukan karena seni kontemporer ternyata tidak yatim-piatu. Asal saja kita bersedia menyingsingkan lengan baju, mengurangi kesombongan, dan sudi turun ke lapangan tanpa merasa turun harkat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo