Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Reuni Tak Sampai Sang Pembunuh

Ia mahir bahasa Arab dan menolak upacara bendera. Selebihnya, M. Salik Firdaus adalah pemuda biasa.

14 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAWA adem pegunungan tak mampu meredam ketegangan yang merayap di Desa Cidulang, Kecamatan Cikijing, Kabupaten Majalengka, Jawa Berat. Penduduk desa kecil itu lebih suka menutup rapat-rapat pintu rumah jika ada orang asing datang. Penyebabnya adalah sebuah nama yang mendadak terkenal belakangan ini: Muhammad Salik Firdaus.

Inilah pemuda warga Desa Cidulang yang disangka menjadi salah satu pelaku bom bunuh diri di Bali, awal bulan lalu. Polisi memastikan hasil tes DNA terhadap jasad Salik cocok dengan DNA keluarganya. Penduduk gempar dan hawa ketakutan segera menyebar sesaat setelah polisi menggeruduk markas Dr Azahari di Batu, Jawa Timur. ”Kami takut kejadian di Batu terulang di sini. Apalagi warga kami ada yang dituduh sebagai pengebom Bali,” kata Upar, 52 tahun, seorang ketua RT di Cidulang.

Salik, 25 tahun, diduga meledakkan Café Nyoman di kawasan Jimbaran, Bali. Tersangka lain adalah Misno alias Wisnu, yang beraksi di Café Manega. Sedangkan pelaku bom di Cafe R.Aja’s belum jelas identitasnya—jasadnya belum ada yang mengenali.

Mereka yang mengenal masa lalu Salik umumnya tak percaya dia mampu melakukan aksi telengas macam itu. Salik kecil dikenal sebagai anak yang baik dan ramah kepada semua orang. ”Ia juga menaruh hormat pada orang yang lebih tua,” kata Upar. Anak bungsu dari enam bersaudara pasangan H. Sudinta-Ny Enung itu lahir pada 2 Juni 1981 dan biasa disapa akrab sebagai Alik.

Selebihnya, tak ada hal yang menonjol pada pemuda bertubuh kerempeng tersebut. Di sekolah, prestasinya biasa-biasa saja. ”Yang menonjol hanya kemampuannya berbahasa Arab,” ujar Ahmad Burhanudin, mantan guru Salik di Madrasah Tsanawiyah Cikijing. Tak mengherankan, koleksi buku-bukunya pun kebanyakan dalam bahasa Arab. Bahkan Suryadinata, 71 tahun, mantan kepala sekolah madrasah itu, kerap meminjam buku-buku koleksi Salik.

Tak menonjol dalam pelajaran, Salik menyimpan kebiasaan unik di sekolah. Menurut Burhanudin, Salik tak pernah ikut upacara bendera setiap Senin. Ia juga enggan ikut Pramuka. Burhanudin menduga Salik enggan upacara karena tak ingin hormat pada bendera. Hanya inilah tampaknya jejak sikap radikal yang ditunjukkan pemuda berambut ikal tersebut.

Prestasi biasa-biasa saja ditunjukkan Salik ketika nyantri di Pondok Pesantren Darusy Syahadah, Simo, Boyolali. Salik masuk ke pondok pada jenjang Kuliyyatul Mu’alimin Al-Islamiyah (KMI), atau pendidikan kader mualim setingkat SLTA, pada 1999.

Menurut Ustad Zainal Abidin, Kepala Bagian Dakwah dan Humas, pencapaian Salik tak ada yang menonjol. Zainal pernah mengajar Salik saat kelas satu. Bahkan, tahun 2002, ketika masih duduk di kelas dua, Salik minggat dari pondok tanpa alasan jelas. ”Beberapa barang miliknya masih ada di sini,” kata dia.

Tampaknya, periode itu adalah momentum penting bagi Salik. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada fase ini. Menurut Diding—seorang teman Salik yang meminta nama aslinya disamarkan—Salik memiliki pendirian yang tegas soal syariat Islam. Menurut dia, Salik benar-benar ingin menegakkan dan menjalankan syariat Islam secara benar. ”Keinginannya sangat keras. Apa pun bisa ia lakukan demi mencapai keinginannya itu.”

Beberapa tahun setelah kabur dari pondok, Salik diketahui pulang ke Cidulang. Namun, kali ini dia tak sendirian. Menurut Upar, saat itu bersamanya ikut seorang wanita bercadar yang kemudian diketahui sebagai istri Salik. ”Dari Bapak Sudinta, saya tahu perempuan itu istri Salik yang dinikahi di Jawa Tengah.” Upar menyaksikan, kala itu cara berpakaian Salik pun berubah. Celana panjang yang dipakai Salik tak pernah menutupi mata kaki.

Salik bersama istrinya, Sofiah Isnadewi, tidak tinggal di rumah orang tuanya. Mereka mengontrak sebuah rumah di Jalan Mayasari. Menurut Suryadinata, Salik sempat menemuinya untuk dicarikan kontrakan. Tetapi, belum sempat dia menemukan rumah yang cocok, Salik sudah menetap di Mayasari.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Salik menjadi guru agama di Al-Muktakin, Ciperna, Cirebon. Dia lalu berpindah mengajar di sekolah agama As-Salam, Maja, Majalengka. Tetapi itu tak lama karena ia segera banting setir menjadi pedagang pakaian di Pasar Cikijing. Di sini ia kembali bertemu dengan Diding.

Menurut Diding, saat itu Salik berjualan celana jins yang diambil dari sebuah industri rumah tangga di Sukarasa, Cikijing. Kadang mereka berdua membawa pakaian itu untuk dijual ke Surabaya dan Bali. Diding mengaku acap kali Salik mengajaknya nyantri lagi di Jawa Tengah demi memperdalam syariat Islam. ”Tetapi saya tidak mau dan lebih memilih mondok di Sukabumi hingga sekarang,” kata Diding.

Periode yang tak jelas kembali terulang ketika Salik dikabarkan berangkat ke Boyolali sekitar tiga bulan lalu. Salah seorang kerabatnya mengatakan Salik berpamitan untuk berdagang di sana sekaligus kangen-kangenan dengan almamaternya, Darusy Syahadah. Tetapi reuni itu tak pernah terjadi. Menurut Zainal Abidin, Salik tak pernah kembali lagi ke pondoknya. Kabar tentang pemuda Cidulang itu pun bagai lenyap ditelan bumi.

Sampai kemudian, terbetiklah warta menggetarkan itu: Salik mengantar nyawanya dalam aksi bom bunuh diri di Bali. Hal ini membikin heran eks pengasuhnya di Darusy Syahadah. ”Entah siapa yang mampu mengubah wataknya hingga berani berjibaku seperti itu,” ujar Zaenal.

Sebuah sumber di Kepolisian Wilayah Surakarta membisikkan, Salik masuk komplotan terorisme setelah direkrut seniornya di pondok, yang bernama Jabir alias Gempur Budi Angkoro. Menurut polisi, Jabir pernah terlihat bersama Noor Din M. Top di Wonogiri, Oktober tahun lalu. Namun polisi gagal menangkap mereka.

Pernyataan polisi itu ditolak kerabat Salik. H. Nanu, 40 tahun, sepupu Salik, meminta polisi membuktikan saudaranya adalah sang pembawa bom. ”Hingga kini kami belum pernah melihat langsung mayat Salik. Jadi, tolong buktikan,” kata Nanu. Pernyataan ini didukung Ence Guforn, 33 tahun, kakak kandung Salik. ”Seluruh keluarga tidak percaya Salik adalah pengebom,” ujar dia, Kamis pekan lalu.

Salik, menurut polisi, telah menjatuhkan pilihan sebagai pengantin—istilah kalangan teroris untuk pelaku aksi bunuh diri. Dia meninggalkan seorang istri, Sofiah Isnadewi, dan seorang anak, Mohammad Batarudin, 1,5 tahun.

Tak hanya itu, tewasnya Salik dengan cap teroris juga meninggalkan rasa jeri di hati para pamong praja desa. Kuwu (pejabat kepala desa) Cidulang, Oman Surisman, tak mengakui Salik sebagai warganya. Menurut dia, ayah Salik, H. Sudinta, setelah pensiun dari dinas kepolisian dengan pangkat Aiptu, memboyong keluarganya ke Desa Cikijing. ”Itu terjadi tahun 1984-1985. Di sana mereka membuka toko emas,” tuturnya.

Sebaliknya, Kuwu Desa Cikijing, Drs Sihabudin, juga tak mengakui keluarga Sudinta sebagai warganya. Menurut dia, Sudinta sudah pindah lagi ke Cidulang setelah toko emasnya ditutup. Bupati Majalengka, Tutty Hayati Anwar, menggarisbawahi kekisruhan itu. Ia tegas menolak Salik adalah warga Kecamatan Cikijing. Katanya, selama bertahun-tahun Salik tidak pernah tercatat sebagai warga Desa Cidulang maupun Cikijing. ”Hanya secara de facto ia warga Majalengka,” tuturnya.

Tampaknya, Cikijing tak pernah ingin dikenang sebagai wilayah yang memiliki warga seorang teroris.

Tulus Wijanarko, Ivansyah (Majalengka), Imron Rosyid (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus