Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dari pembuatan dan revisi undang-undang penting, Indonesia menuju eskalasi nasiosida.
Tatanan menjadi rusak oleh kebijakan dan manuver politik elite di periode kedua pemerintahan Jokowi.
Dari lingkungan sampai politik, Indonesia seperti mundur ke masa lampau.
The strongest man is never strong enough to maintain his mastery at all times unless he transforms his strength into right and obedience into duty. ~ Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract (1762)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM tiga tahun terakhir, bertubi-tubi kegetiran menimpa bangsa kita. Seperti berpacu dengan pandemi, terjadi eskalasi pengikisan bangsa—eskalasi nasiosida. Bangsa terkikis oleh tiap kebijakan pemerintahan, tiap undang-undang, tiap proyek tak lurus, dan tiap manuver politik tak patut dari lingkaran pusat kekuasaan atas dasar kepentingan segelintir orang bertopang kuasa mentah (raw power), tanpa transparansi, akuntabilitas, dan keadaban publik. Semua itu menggerus sumber-sumber kehidupan, kehormatan, dan akar-akar bangunan politik luhur bangsa kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laku korupsi dana dan kekuasaan serba serakah dalam aneka modus dan skala itu menjadi biang utama pengikisan bangsa kita. Ia membusukkan cita-cita luhur politik Kebangkitan Nasional, Pergerakan Kebangsaan, dan Revolusi Kemerdekaan kita. Ia membusukkan Pancasila, Konstitusi, dan segenap sendi bangunan politik kita. Dalam sumasi, ia bekerja mencampakkan Tanah Air, Kemerdekaan, dan Republik—sangkan paran dan simpul-simpul keutamaan yang melekat pada sejarah dan eksistensi bangsa kita. Dibesarkan dalam tatingan semangat kemerdekaan berpuluh juta kompatriot, terbentang cakrawala nubuat Ernest Renan: “The nations are not something eternal. They have had their beginnings, they shall have their end.”
Eskalasi nasiosida tiga tahun terakhir bermula dari pemberlakuan nyaris serempak empat undang-undang berbala bagi mayoritas bangsa kita. Itu bersamaan dengan periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo dan pencampakan sentak atas Nawa Cita—representasi mutakhir terbijak-terbajik dari kumulasi cita-cita kemerdekaan kita. Keempat legislasi itu adalah Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Undang-Undang Cipta Kerja.
Sejumlah pasal bermasalah empat undang-undang itu masih aktif, terutama Undang-Undang Cipta Kerja dinyatakan Mahkamah Konstitusi “inkonstitusional bersyarat”. Itu semua terus mencekik kehidupan serta menggerus hajat hidup dan kehormatan kita sebagai bangsa dan warga negara. Dalam bulan-bulan terakhir, eskalasi pengikisan bangsa itu menohok dari laporan-laporan investigasi media ataupun dari rangkaian tulisan sosok-sosok cendekiawan di dalamnya.
Kita bisa melihat dua masalah besar yang menuntut perhatian kita semua: penghancuran hutan atau lingkungan hidup serta peleburan paksa lembaga-lembaga penelitian.
Investigasi Tempo edisi 11-17 Oktober 2021, “Main-main Lumbung Pangan”, di Sumatera dan Kalimantan menunjukkan proyek lumbung pangan menghancurkan hutan di Kalimantan Tengah, sumber hidup penduduk perdesaan selama puluhan tahun. Tanah hutan yang tergusur untuk proyek food estate itu ternyata tak cocok untuk perkebunan singkong pilihan proyek besar tersebut. Soalnya, kajian lingkungan hidup strategis baru dilaksanakan empat bulan setelah hutan digusur, termasuk 18.111 hektare habitat orang utan dan 2.000 hektare permukiman. Seorang pengamat lingkungan menyebut proyek food estate ini ugal-ugalan.
Masalah kedua adalah peleburan ceroboh lembaga-lembaga penelitian yang sudah mapan—Lembaga Eijkman, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Tenaga Nuklir Nasional, serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional—ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Lewat suatu kritik mendasar yang menyentuh, “Matinya Masyarakat Ilmiah”, di Kompas edisi 7 Januari 2022, Sulistyowati Irianto menulis fenomena puncak kebijakan antisains pemerintah Jokowi. Lewat BRIN, tulis guru besar Universitas Indonesia ini, akumulasi puluhan tahun warisan bakti dan sejarah berharga tiap lembaga penelitian di bawah kepeloporan cemerlang Lembaga Eijkman dikolongkan. Para penelitinya dijadikan birokrat, ditundukkan pada kepentingan politik dan bisnis, dijauhkan dari “riset dasar, tulang punggung berbagai penelitian terapan yang bisa menghasilkan produk sains dan teknologi”. Prestasi kerja mereka “lebih diukur secara administratif, bukan substansi ilmiah”, dasar pijakan rasional dan kredibel penentu arah perkembangan masyarakat dan peradaban.
Jelas yang ia getirkan adalah masuknya kepentingan-kepentingan non-ilmiah, bahkan anti-ilmiah, ke dalam universitas. Sulistyowati menandaskan “kerusakan laten akibat tercerabutnya kebebasan akademik, ruh para ilmuwan, dan matinya budaya ilmiah, akan terus menjalar. Masyarakat ilmiah akan semakin menyusut dengan hilangnya budaya mencintai ilmu dan pencarian kebenaran. Ini tanda kemunduran suatu bangsa”.
Laporan utama Tempo edisi 17-23 Januari 2022 tentang “Kisruh BRIN” memperbesar bobot keprihatinan Sulistyowati. Tempo mengungkap pengurangan drastis dana riset peneliti ataupun kekisruhan dalam penyusunan program strategis BRIN. Juga alokasi dana BRIN senilai Rp 6,1 triliun tahun ini yang diprioritaskan pada pembangunan infrastruktur dengan alasan tunggal Kepala BRIN bahwa “itu yang penting dan mahal”.
Pengungkapan terpenting Tempo adalah klaim bahwa gagasan Megawati Soekarnoputri ihwal riset dan inovasi terinspirasi dari Sukarno. Taruhlah kita berikan “the benefit of the doubt” bagi kemungkinan kesejalanan kiprah suatu ideologi dengan disiplin bangunan ilmu pengetahuan: betulkah Bung Karno menghendaki pengkhidmat ilmu pengetahuan di Tanah Air menjadi manusia yang jiwa-raga dan kiprahnya terkungkung penjara birokrasi sumpek di bawah kekuasaan otoriter yang bertahun-tahun menjadi kacung para oligark?
Ke manakah para pendiri BRIN itu membuang impian Bung Karno tentang ideal “manusia-manusia merdeka” Indonesia yang bercita-cita setinggi langit dan terbang bagai rajawali? Sebegitu parahkah ingatan para pengklaim ideologi Bung Karno sehingga lupa pada sari pati ajarannya dalam “Mentjapai Indonesia Merdeka”? “Urusan politik, urusan diplomasi, urusan onderwijs, urusan bekerdja, urusan seni, urusan cultuur, urusan apa sahadja dan terutama sekali urusan ekonomi haruslah berada di bawah ketjakrawartian Rakjat itu.”
“Ketjakrawartian rakjat” itu yang tak diindahkan oleh kekuasaan sewenang-wenang sebagaimana terbaca dalam “Pelawan Tiran dari Tanah Wadas” dalam laporan utama Tempo edisi 28 Februari-6 Maret 2022 bertajuk “Wadas Melawan”. Dianto Bachriadi, ahli hukum dari Bandung, menulis bahwa yang ditolak rakyat Wadas bukan rencana pembangunan bendungan Bener di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, melainkan proyek ekstensinya berupa penambangan batu andesit untuk membangun fondasi bendungan.
Di sini, penguasa memaksakan kehendak dengan “teror dan intimidasi” terhadap sebagian besar masyarakat Wadas yang telah bertahun-tahun melawan rencana penambangan batu andesit di tanah atau di lingkungan hidup mereka karena itu akan menimbulkan tanah longsor dan melenyapkan sumber air.
Itu semua adalah penanda eskalasi nasiosida di Tanah Air setelah sepuluh tahun berada “dalam moncong oligarki” (F. Budi Hardiman, 2013). Dan itu masih berproses ke titik-titik puncaknya. Keultra-pongahan legislasi dan/atau ketergesaan kehendak serta langkah-langkah ke arah pemaksaan megaproyek Ibu Kota Negara berbanding lurus dengan tak terhitung permasalahan berat serta suspected motives di dalamnya.
Begitu pula sesemburan upaya menunda pemilihan umum—suara-suara khianat terhadap ethos konstitusi atau jati cita Reformasi yang mengukuhkan pembatasan durasi kekuasaan. Balik ke Rousseau, patut dicamkan bahwa seribu undang-undang atau seratus amendemen yang dilahirkan dari might tak akan pernah membuat setiap yang salah di dalamnya menjadi right.
Di atas semua itu, elok jika mereka yang berada di tampuk rezim yang kini seperti terhela oleh “kekuasaan mutlak yang korup secara mutlak” menyadari bahwa mereka hidup di tengah-tengah—dan akan terus berhadapan dengan—suatu bangsa yang pantang terkikis, bangsa yang senantiasa bersiaga terhadap nubuat Renan.
Bangsa ini lahir dari rentang panjang sejarah proto-nasion yang terpuji, dengan paham kebangsaan yang tercerahkan, dengan para Bapak Pendiri yang berkarakter. Mereka adalah sosok-sosok teladan yang bersenyawa dengan segenap lapisan Rakyat—mereka yang dulu bangkit bersama cahaya iman dalam tempaan kawah Revolusi demi mencanangkan Kemerdekaan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo