Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Eksotika Kengerian Film Horor

Seno Gumira Ajidarma

Seno Gumira Ajidarma

Penulis cerita pendek dan kritik seni

Biasa dilecehkan sebagai takhayul, subversi film horor Indonesia terhadap wacana dominan berperan penting.

9 Februari 2025 | 00.00 WIB

Ilustrasi: Tempol/Kuswoyo
Perbesar
Ilustrasi: Tempol/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Seni hiburan menjadi ironi ketika dibutuhkan orang-orang susah.

  • Bermacam kesusahan terkumpul membentuk masyarakat yang sakit.

  • Setelah legenda urban dalam film horor mencapai akumulasi, bandul pendulum kembali ke desa.

SENI hiburan menjadi ironi ketika dibutuhkan orang-orang susah. Bermacam kesusahan terkumpul membentuk masyarakat yang sakit. Itulah yang membuat seni hiburan berfungsi sebagai terapi bagi orang banyak, tempat setiap orang mencari obatnya sendiri-sendiri tanpa resep dokter karena seni menjadi faktor kesetimbangan dalam kehidupan budaya dari hari ke hari. Bagi mereka yang merasa frustrasi, suntuk, dan hampa, kebudayaan menyediakan hiburan, entah sebagai pelipur lara entah inspirasi hidup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Maka wacana apakah kiranya yang akan terungkap ketika film-film horor yang menerima beban pelecehan arogan sebagai penyubur takhayul dan penanda kebodohan dalam kenyataannya menjadi kebutuhan hiburan fenomenal?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

“Fenomenal” di sini tidak dimaksudkan bahwa genre film horor di Indonesia ini paling banyak dibuat, tapi peningkatan jumlahnya yang melonjak. Menurut Lembaga Sensor Film, empat tahun terakhir, dari hanya 10 judul pada 2021 dalam situasi pandemi, ternyata jumlah film horor melejit menjadi 87 judul pada 2024.

Film drama, yang jumlahnya 141 judul pada 2024, tentu lebih banyak, tapi dengan kompas moral yang serba mengamini norma dominan. Ia lebih-kurang mengundang perbincangan sebagaimana film horor, yang berwahana dunia lain, dengan peluang menjadi subversif dalam berbagai aspeknya.

Produsen membaca tren pasar dan bahkan berusaha membangun pasar itu. Tapi, dengan segala efek kengerian yang mesti diterima, apa yang dicari penonton film horor tidak selalu mengikuti lajur penggiringan tersebut.

Manusia tidak sekadar menonton film, tapi menontonnya dalam konteks sosial spesifik, ibarat menonton di telepon seluler berbeda dengan di bioskop. Perbedaan hubungan-hubungan sosial di tempat menonton ini menciptakan perbedaan hubungan dengan film yang ditonton.

Menonton film di bioskop di dalam mal, dibanding berbagai kegiatan di sana, bisa menjadi hal paling kurang penting—misalnya menunggu istri berbelanja sambil menonton film apa saja. Bukan sekadar selera dan pilihan, konteks sosial juga memproduksi kompetensi dan disposisi. Pemahaman atas mengapa dan bagaimana penonton memanfaatkan film menjadi penting untuk melampaui analisis tekstual film itu.

Masih sering dipertanyakan alasan seseorang rela membayar untuk terkejut-kejut dalam gelap hanya untuk melihat wajah menjijikkan yang mengeluarkan air liur yang tanpa bisa dicegah menyakiti orang.

Dalam berbagai diskusi sejak dua dekade lalu, sering terdengar argumen bahwa korban dalam film horor yang selalu perempuan dan hanya mampu membalas sebagai hantu untuk dikalahkan dukun pria telah menarik massa perempuan dari waktu ke waktu. Berbeda dengan pria penonton, yang dalam kelonggaran sensor bagi film horor dicurigai menikmati posisi ikut memperkosa, perempuan penonton akan berempati kepada korban, walau sudah jadi hantu.

Meskipun argumen bernuansa politik gender ini spekulatif, pembuktian berdasarkan analisis tekstualnya sering bisa diterima. Argumen politis ini bahkan menguat ketika, di tengah sangat jarangnya film horor tersensor, satu judul yang hantunya adalah korban pemerkosaan etnis pada Mei 1998 tidak diloloskan. Lapis-lapis penindasannya, baik dalam fakta maupun terhadap fiksi, menjadi horor tanpa hantu dengan kengerian di luar film yang nyata.

Film horor dari sudut pandang penonton, yang tidak dalam posisi berekspresi seni tetapi berekspresi dengan konsumsi, memang bisa lain. Gejalanya dalam wacana horor dunia ditandai oleh empati kepada Frankenstein (Mary Shelley, 1818) dan Dracula (Bram Stoker, 1897).

Makhluk dalam Frankenstein, yang juga menjadi embrio fiksi sains, tampak nestapa sebagai “manusia-gagal” bikinan manusia, sementara Dracula hanyalah pencinta mengenaskan penggigit leher dalam dendamnya yang berkepanjangan. Keduanya, sebagai bacaan yang tiada habisnya diadaptasi menjadi film, dianggap menyerap, mengembangkan, dan merayakan eksotika kegelapan seni Gothic yang mengandung horor dari Abad Pertengahan.

Dari film horor Indonesia, apakah terdapat Gothic lain yang terus-menerus digunakan para penonton dalam produksi maknanya sebagai manusia? Politik kepenontonan dari “zaman Suzanna” mungkin tetap dan mungkin juga berubah. Tapi, memasuki era Reformasi, berlangsung relokasi para hantu dari desa ke Jakarta, tempat mereka menghantui rumah mewah Pondok Indah atau terowongan Casablanca.

Dengan istilah legenda urban, legitimasi “Nyi Roro Kidul memang ada” dari masa sebelumnya dipersoalkan dalam perdebatan filosofis kaum milenial di tenda-tenda wisata, meskipun terpaksa “menerima kenyataan” betapa hantu-hantu mengganggu liburan mereka dan hanya bisa diatasi dengan “kembali kepada agama”.

Hal ini tampak simplistis, tapi menjadi cerdas atau tidak bergantung pada penonton, yang tetap memiliki pilihan menentukan peran mereka di dalamnya, apakah mendengarkan suara-suara terpinggirkan dari penonton-tak-terlacak, mengulang pengalaman sendiri, menjelajahi kemungkinan perlawanan, dan bagi perempuan potensi kenyamanan femininnya dikenali.

Menarik diperhatikan kemungkinan adanya penonton yang merahasiakan kesukaannya terhadap genre horor merasa lebih baik menonton sendiri atau bersama satu-dua teman yang sama-sama menyukainya. Bukan jumlahnya yang penting, melainkan menyadari adanya jenis penonton berposisi anomali, yang hanya akan ditemukan dari penelitian silang.

Seleksi film horor yang disaksikan tentu perlu diketahui: film horor orisinal yang tidak formulaik atau imitatif dengan hubungan antarperan yang berkembang, imajinatif, dan bernalar sebagai provokasi pemikiran. Akan terlacak betapa usaha menakut-nakuti secara berlebihan, unjuk kekerasan yang tidak beralasan, dan efek pembangkit rasa jijik penonton tidaklah disukai.

Tidak jarang penonton lebih suka ada yang disisakan untuk dibayangkan sendiri, sebagaimana halnya setiap seni unggul yang cukup menyarankan dan mengarahkan, bukan menjelaskan segala-galanya.

Penggambaran ini menunjukkan bahwa suatu film menjadi baik atau buruk bukan karena genrenya sebagai horor, melainkan pengertian “film baik” dengan meningkatnya keberagaman wacana. Ia bukan lagi film yang dipuji semua pihak, melainkan yang berpeluang menjadi gangguan terhadap kemapanan budaya.

Film horor, yang secara reguler menjadi obyek kritik estetik ataupun sasaran kepanikan moral pemohon penyensoran, memberi peluang itu. Inilah yang membuat keberpihakan penonton, yang menjadikan film horor bersuara bagi mereka, menjadi sesuatu yang bukan tanpa makna.

Sebagai film itu sendiri, alternatif apakah kiranya yang ditawarkan film horor Indonesia dalam semesta horor nan serba Gothic? Setelah legenda urban mencapai akumulasi, bandul pendulum kembali ke desa untuk menjemput mitos-mitos lama di mana pun tempatnya. Dari pelosok, mereka tetap berbicara kepada khalayak urban, yang terhadap asal-usulnya sendiri pun meraba-raba.

Judul bernada pengentalan etnik seperti Panggonan Wingit (Jawa: tempat serem), Pamali (Sunda: tabu), atau Kuyang (Banjar: perempuan hantu terbang dengan usus bergelantungan) menengarai kecenderungan film-film horor mengandalkan pesona eksotik, bahwa yang menarik itu justru karena tidak dikenal sepenuhnya. Dengan segala bentuk kengerian, misteri dalam film horor menjadi rumah penampungan jiwa bagi manusia urban terasing yang terbata-bata menggapai akar budaya leluhurnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak artikel ini terbit di bawah judul Film Horor: Eksotika Kengerian

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus