Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Folklor, takhayul dan permainan

Pembeberan tentang berbagai jenis takhayul dan permainan rakyat yang dianut di beberapa daerah di indonesia. lahir dari aspek kehidupan dan kepercayaan rakyat. dipetik dari buku james dananjaya.(sel)

16 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPERCAYAAN rakyat, atau yang sering disebut takhayul, adalah hal yang oleh orang berpendidikan dianggap sederhana, bahkan "pandir", tidak berdasarkan logika, secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan seterusnya. Kata "takhayul", misalnya, mengandung arti merendahkan. Karena itu, para ahli folklor modern lebih senang mempergunakan istilah "kepercayaan rakyat" - folk belief. Takhayul, dari bahasa Arab, memang berarti "hanya khayalan belaka" - sesuatu yang hanya di angan-angan, yang sebenarnya tidak ada. Sedangkan istilah superstition, berasal dari kata Latin superstitio, punya arti yang tak jauh berbeda: "terlalu takut kepada dewa-dewa", yang pada gilirannya berarti makhluk-makhluk gaib. Hal pertama yang patut dicatat: hampir tidak ada orang, bagaimanapun modernnya, yang bebas dari takhayul - atau apalah namanya - kecuali bila takhayul itu telah digeser kedudukannya oleh keyakinan kepada dunia gaib yang resmi agama, tentunya (Red.). Toh, banyak sekali (mayoritas?) orang agama yang tetap saja memelihara takhayul sebagai "tambahan". Takhayul itu umumnya diwariskan melalui media tutur kata. Tutur kata ini dijelaskan dengan syarat-syarat, yang terdiri dari tanda-tanda atau sebab-sebab, dan yang diperkirakan akan ada akibatnya. Contoh: "Jika terdengar suara katak (tanda, atau sebab), maka akan turun hujan (akibat)". Itu takhayul orang AS. Atau, menurut takhayul orang Sunda, jika kita memandikan kucing (sebab), segera akan turun hujan (akibat). Takhayul yang pertama itu berdasarkan hukum sebab akibat menurut hubungan asosiasi. Sedangkan takhayul kedua mengemukakan perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja dan menyebabkan suatu "akibat". Hukum sebab akibat di sini berhubungan dengan sesuatu yang umum disebut ilmu gaib atau magic. Dasar pemikiran takhayul jenis ini adalah kepercayaan kepada kekuatan sakti. Adapun hubungan yang menyebabkan suatu asosiasi misalnya ini: persamaan waktu, persamaan wujud, totalitas dan bagian, dan persamaan bunyi sebutan. Misalnya kepercayaan orang Jawa Timur, yang mengatakan bahwa jika malam hari terdengar suara burung culik tuwu, berarti ada maling di sekitar rumah kita. Ini hubungan- persamaan waktu. Contoh lain adalah larangan bagi parawanita untuk makan pisang dempet, karena nanti akan melahirkan anak dempet (persamaan wujud). Ada lagi kepercayaan, hanya dengan mempergunakan sehelai rambut seseorang, seorang dukun dapat mencelakai orang itu (totalitas dan bagian). Sedangkan contoh untuk takhayul dari persamaan bunyi sebutan adalah kepercayaan orang Tegal, misalnya, yang melarang seorang pengusaha menanam pohon anggur - takut nantinya ia akan menganggur. Tapi contoh-contoh itu hanya untuk struktur takhayul yang terdiri dari dua bagian (sebab dan akibat). Selain itu, ada juga yang mempunyai tiga bagian: tanda atau sebab, perubahan dari satu keadaan ke keadaan yang lain (konversi), dan akibat. Misalnya kepercayaan dari Jawa Timur: "Jika engkau menjatuhkan dandang nasimu yang sedang kau pergunakan untuk memasak, sehinggaisinya tumpah berantakan (tanda), engkau akan menjadi gila (akibat), tapi tidak bila engkau mengitari dandang itu dalam keadaan telanjang sambil menari-nari (konversi)." Kadang-kadang pula konversinya berada di tengah-tengah. Misalnya: "Jika engkau melihat bintang jatuh (tanda), engkau harus menepuk-nepuk kantungmu sambil berkata, 'Penuh-penuh!' (konversi) danengkau akan mendapat uang nanti (akibat)." Jadi, konversi mempunyai fungsi yang sama dengan magic atau ilmu gaib, karena merupakan tindakan untuk mengubah atau mencapai sesuatu secara gaib. Berhubung takhayul semacam ungkapan tradisional, ia termasuk dalam folklor - meski berbeda dari ungkapan tradisional lain, seperti bahasa rakyat, peribahasa, teka-teki, sajak, nyanyian rakyat, dan cerita rakyat. * * * Ada satu klasifikasi takhayul yang dibuat oleh Wayland D. Hand, redaktur bab "Superstitious" dari buku The Frank C. Brown Collection of North Carolina Folklore - jilid VI dan VI 1. Ia membagi takhayul ke dalam empat golongan besar: takhayul di sekitar lingkaran hidup manusia, takhayul mengenai alam gaib, takhayul mengenai terciptanya alam semesta dan dunia, dan takhayul lain-lain. Contoh takhayul di sekitar lingkaran kehidupan tampak nyata pada peristiwa kelahiran. Misal: di Jawa, kepada wanita yang sedang mengandung dianjurkan melihat benda-benda atau manusia yang bagus-bagus jika melihat yang buruk-buruk, anak yang akan dilahirkan akan jelek bentuknya. Juga, akibat ibu yang hamil kaget melihat orang sumbing, anak yang dilahirkan mempunyai bibir yang sumbing pula. Dan selama si anak masih bayi, pada orang Betawi ada larangan untuk membawanya ke luar rumah pada waktu magrib karena takut diganggu roh-roh jahat. Roh-roh jahat spesialis bayi itu antara lain setan polong -- yaitu hantu jadi-jadian yang sebenarnya manusia biasa yang punya kemampuan mengubah diri. Hantu ini gemar menghisap darah wanita yang sedang melahirkan dan darah anak bayinya. Jadi, yang tergolong dalam takhayul mengenai lingkaran hidup adalah semua kepercayaan rakyat di sekitar kelahiran - sampai seorang anak menjadi dewasa. Takhayul mengenai obat-obatan, dalam pada itu, berhubungan dengan sarana-sarana penyembuhan di kalangan rakyat yang mengandung ilmu gaib. Misalnya, pada kelompok masyarakat Banten tertentu, meminum air rendaman kertas yang bertuliskan huruf Arab alif. (Ini sebenarnya karena alif merupakan huruf pertama kata Allah Red.). Atau pada orang Betawi keturunan Cina: jika leher seorang kerabat terkena penyakit bengok (goitre), bagian yang bengkak itu dielus dengan huruf Cina hu, yang berarti harimau, dengan mempergunakan tinta Cina. Bengkak itu "akan kempis" dan penyakit "segera sembuh". Ada pula takhayul yang berhubungan dengan rumah dan pekerjaan rumah tangga. Umpamanya, ada kepercayaan orang Jawa Timur bahwa letak suatu rumah sangat penting bagi kebahagiaan penghuninya. Rumah di kawasan yang disebut sunduk sate tepat menghadapi jalan raya yang mengarah tegak lurus ke arah mukanya - akan membawa aib bagi penghuninya. Contoh takhayul yang berhubungan dengan pekerjaan rumah tangga juga bisa dijumpai di Jawa Timur: larangan berbicara pada waktu membubuti bulu ayam, karena bulu dapat tumbuh lagi secara gaib. Pada orang Betawi keturunan Cina ada pula kepercayaan bahwa pada hari raya Imlek orang dilarang menyapu rumah, karena rezeki yang datang pada hari baik itu akan turut tersapu. Takhayul tentang hubungan sosial tampak umpamanya pada orang Jawa Timur juga: tamu yang tidak mau segera pulang. Tamu macam ini dapat dipaksa pergi dengan jalan membawa (secara tersembunyi) sebuah alat ulek - untuk mengulek cabai atau bumbu masak lain - ke hadapannya. Contoh lain: jika kita hendak membuat dua orang yang sedang bertengkar benar-benar berkelahi, kita cukup membakar sehelai tikar bekas di ruang sebelah. Kepercayaan ini juga dari Jawa Timur. Contoh takhayul tentang perjalanan dan perhubungan adalah ini: jika seorang Dayak Ot Danum, dari Kalimantan Tengah, yang melakukan perjalanan di hutan, bertemu dengan seekor ular yang memotong jalannya, ia akan segera membatalkan perjalanan itu, karena jika diteruskan akan terjadi kecelakaan. Sebaliknya ada kepercayaan orang Manado, Sulawesi Utara: bila dalam perjalanan seseorang berjumpa dengan seorang bule (albino), ia akan selamat dan berhasil. Contoh mengenai perhubungan (komunikasi) pada masyarakat Betawi keturunan Cina ialah ini: bila pada waktu sedang makan mulut bagian dalam atau bibir tergigit, alamat ada orang lain sedang membicarakan kita. Contoh.dari Jawa Timur: bila mata berkedut, atau kejang-kejang, alamat akan ada berita kurang baik dari kerabat atau kawan dekat. Beberapa contoh takhayul yang berhubungan dengan cinta, pacaran, dan pernikahan dapat dilihat pada masyarakat Betawi keturunan Cina pula. Ada kepercayaan di kalangan mereka bahwa cinta dapat ditimbulkan dengan cara gaib dan dapat dilakukan dengan pertolongan du kun . Itulah sebabnya, jika ada orang tergila-gila kepada Anda, jangan sekali-kali Anda menolaknya secara kasar - karena ia dapat memaksa si penolak lengket padanya dengan ilmu pelet. Contoh takhayul mengenai perkawinan terlihat pada kepercayaan di antara masyarakat Bali Trunyan. Perkawinan yang dilakukan antara seorang lelaki dan putri saudara misan laki-lakinya (saudara sepupu derajat pertama) adalah baik, kata mereka, dan akan menghasilkan keturunan yang sehat. Perkawinan semacam ini disamakan dengan ungkapan tradisional kladi ngutup panak, yang berarti keladi mengeram anak keladi - bagai anak keladi yang tumbuh di bawah keladi besar dan kelak menghasilkan umbi yang besar. Yang termasuk dalam golongan takhayul kematian dan pemakaman misalnya kepercayaan orang Betawi keturunan Cina, yang tidak senang jika kerabatnya kebetulan meninggal pada hari Sabtu. Menurut mereka, si mendiang akan membawa salah satu orang kerabatnya yang lain untuk turut meninggal. Takhayul ini sebenarnya berdasarkan asosiasi persamaan bunyi, yaitu kata Sabtu yang mirip dengan "satu". Jadi, jika ada yang mati hari Sabtu, akan ada "satu" lagi. Mengapa bukan sebaliknya - jika orang mati hari Sabtu, yang mati akan hanya satu itu saja yah, jangan tanya kepada kami. Pada masyarakat Bali Trunyan ada pula kepercayaan orang yang mati waktu bujangan tidak memerlukan upacara kematian tahap kedua, yang disebut ngaben, karena rohnya masih suci dan dapat langsung ke surga. * * * Ada buku mengenai alam gaib orang Jawa, yaitu dari H.A. van Hien. Judulnya panjang: De Javaansche Geesten Wereld en de Betrekking die tuschen de Geesten en de Zinnelijk Wereld bestaat verduidelijk door Petangan's of telling en bij de Javanen in Gebruik. Artinya: alam roh orang Jawa dan hubungan yang ada di antara dunia roh dan dunia fisik, dijelaskan melalui petangan atau ramalan. Terbit tahun 1896. Dalam buku tiga jilid itu dilukiskan berbagai macam roh dan hantu menurut kepercayaan Jawa, praktek-praktek ilmu gaib, ramalan, alamat (pertanda), animisme, fetikisme, dan "agama" kejawen yang sinkretis. Buku lain, yang lebih baru, adalah dari Clifford Geertz: The Religion of Java. Di situ Geertz membagi makhluk-makhluk gaib bikinan Jawa Tengah menjadi empat golongan besar. Yakni: memedi (makhluk yang menakutkan), lelembut (yang dapat memasuki tubuh manusia), thuyu/ (yang dapat diperbudak), dhemit (makhluk gaib setempat), dan dhanyang (penjaga keselamatan seseorang). Yang tergolong dalam memedi antara lain jrangkong (yang hanya berbentuk kerangka manusia), wedhon (berupa jenazah berbalut dengan kain kafan), banaspati (hantu yang berjalan di kedua tangannya sambil mulutnya menyemburkan api, dan kepalanya terletak pada tempat alat kelaminnya), jim (jin) (hantu beragama Islam, sembahyang lima kali, berjubah, dan mengaji Quran), pisacis (hantu anak yang sewaktu meninggal tidak mempunyai orangtua, sehingga mencari manusia yang sudah berumah tangga untuk menumpang di rumahnya), uwil (hantu bekas laskar Bugis), setan gundhul (hantu yang rambutnya tidak ada kecuali kuncungnya). Makhluk gaib lainnya yang masih tergolong memedi adalah sundel bolong. Ini seorang wanita jelita, tapi mempunyai lubang - pada punggungnya - yang disembunyikan di bawah rambutnya yang panjang sampai ke pantat. Biasanya ia merayu lelaki yang gemar berkeluyuran malam hari, dan setelah berkencan, si lelaki celaka itu akan ia pencet biji zakarnya atau dikebiri alat kelaminnya. Satu macam lagi memedi adalah gendruwo. Ia dapat mengubah diri menjadi orang yang kita kenal. Menurut penduduk Desa Pare di Jawa Tengah, kepada Clifford Geertz, ada seorang wanita yang terkecoh oleh gendruwo yang bersalin rupa menjadi suaminya, sehingga ia bersedia digauli hantu itu. Akibat hubungan itu lahirlah seorang anak yang berbentuk menyeramkan, berkulit hitam, dan hanya hidup sampai usia enam belas tahun. Gendruwo sering pula mengganggu manusia dengan beralih rupa menjadi binatang. Penduduk Kota Malang di Jawa Timur pada masa revolusi pernah diteror oleh kabar yang mengatakan bahwa di beberapa tempat di kota itu ada orang-orang yang dikunjungi beberapa kucing ajaib, yang dapat berjalan tegak pada kedua kaki bagaikan manusia, dan di lehernya terlilit sehelai selendang wol. Kucing-kucing ini mula-mula berukuran normal, tetapi kemudian tumbuh menjadi kucing raksasa. Menurut penjelasan orang-orang tua di Malang, mereka itu gendruwo. Ada orang Jawa yang percaya bahwa asal gendruwo adalah "roh mani (sperma)" orang laki-laki yang melakukan masturbasi. Itulah sebabnya, katanya, gendruwo senang berada di tempat-tempat gelap, seperti gang-gang buntu dan kamar kecil umum. Makhluk gaib yang tergolong lelembut antara lain hantu-hantu yang suka merasuki orang sehingga membuatnya sakit, gila, atau meninggal. Hantu-hantu macam inilah penyebab kesurupan - dan lewat badan orang itu, dapat menyampaikan kemauannya kepada orang di sekitarnya. Menurut kepercayaan orang Pare, ada dua cara lelembut merasuki kurbannya. Pertama, melalui kaki. Itulah sebabnya orang yang berwudu harus mencuci kedua kakinya. Orang Jawa Islam, jika hendak bertamu ke rumah orang yang baru melahirkan, akan memanaskan kedua kakinya di muka perapian. Ini juga cara melepaskan lelembut - jika sudah berada di sana. Tetapi, mengapa rumah orang yang baru punya bayi? Sebab, bayi paling mudah dirasuki lelembut. Cara lain lelembut merasuki kurbannya adalah melalui kepala. Itulah sebabnya ubun-ubun anak bayi harus dilindungi dengan boreh - yang terbuat dari campuran bawang merah, merica, dan santan. Karena boreh panas, lelembut tidak berani masuk. Berdasarkan kepercayaan ini juga, boreh juga ditempelkan pada jidat orang dewasa yang dirasa kurang waras jiwanya. (Dan, paralel dengan mencuci kaki tadi, barangkali juga dipercayai bahwa itulah sebabnya mengapa orang yang berwudu membasahi ubun-ubun, Red.). * * * Para lelembut penduduk Pare, berdasarkan agama mereka, rupanya dapat dibedakan menjadi dua golongan: yang santri dan yang abangan. Berdasarkan perbedaan agama itu, ditambah perbedaan tempat asal, dan jangka waktu lelembut mendiami badan kasar kurbannya, kerasukan di Pare dapat dibagi menjadi beberapa jenis - seperti kesurupan, kampir-kampiran, kampel-kampelan, setanan, kejiman, dan kemongmong. Kesurupan, seperti digambarkan akar katanya, surup, yang bisa berarti "memasuki sesuatu" dan bisa juga "magrib", umumnya memang terjadi pada waktu magrib. Itulah waktu para lelembut gentayangan. Bila orang pada waktu itu berpapasan dengan salah satu lelembut, di jalan atau di hutan, ada kalanya ia akan dirasukinya - dan pingsan. Waktu-waktu lain yang juga dianggap masa lelembut gentayangan adalah tengah hari dan tengah malam. Walaupun pingsan dianggap salah satu tanda beradanya seseorang dalam keadaan kesurupan, tidak semua pingsan berarti kesurupan - kecuali bila berlangsung lebih dari sepuluh menit. Seorang yang kesurupan akan memerlukan dukun. Oleh dukun, roh yang menduduki badan sang kurban akan diwawancarai: Siapa namamu? Di mana tempat kediamanmu? Mengapa kok merasuki orang ini? Apa sih keinginanmu? Biasanya sang lelembut, melalui mulut kurban, akan menjawab, "Nama saya Kiai Bendok. Tempat kediaman saya jembatan di muka pasar. Saya datang kemari ingin makan minum!" Dari jawabnya itu dapat diketahui, lelembutini dari kalangan santri, karena mempergunakan gelar keulamaan. Tapi lelembut yang datang dapat juga dari go!ongan abangan, yang akan mengakui bahwa namanya Sapu Jagat atau dari golongan priayi, dengan nama Raden Baku Sentot. Setelah mendengar jawaban itu, si dukun akan berkata, "Saya akan memberikan makanan dan minuman yang kau ingini, tapi setelah selesai engkau harus segera pulang." Setelah makan kemenyan dan meminum arak (bagi yang tidak santri), maka si lelembut, melalui mulut kurbannya, akan mengatakan bahwa ia telah kenyang, dan segera berangkat. Tidak lama setelah itu, si kurban akan menggoyangkan tubuhnya tiga kali, atau seluruh tubuhnya akan gemetar hebat, kemudian menjadi lemah dan pingsan. Setelah siuman, ia tidak akan ingat apa yang ia alami. Jenis kerasukan kedua ialah kampir-kampiran. Perbedaannya dengan kesurupan: pada kampir-kampiran, lelembut yang merasuki seseorang datang dari tempat jauh - Samudra Hindia, misalnya. Jenis kerasukan ketiga, kampel-kampelan, tidak terlalu berat - hanya kerasukan enteng saja. Yang keempat, setanan, adalah bentuk di antara kampir-kampiran dan kampel-kampelan. Si kurban, walaupun kerasukannya tidak terlalu berat - masih dapat berfungsi dalam kehidupan sehari-hari memerlukan bantuan dukun untuk membebaskannya dari kekuasaan lelembut-nya. Caranya adalah memberi lelembut itu sajen: kembang, kemenyan, dan beberapa lembar daun-daunan tertentu. Adapun kejiman sama dengan setanan. Perbedaannya: lelembut yang merasuki kurban bukan hantu orang Jawa, melainkan jin. Jenis terakhir, kemongmong agak unik. Ia memang diharapkan oleh yang empunya badan. Dengan dirasuki lelembut tertentu, seseorang - walaupun pada mulanya menjadi setengah gila - akan mendapat kesaktian untuk, antara lain, mengobati orang. * * * Sekarang thuyul. Thuyul adalah hantu yang berupa anak kecil, telanjang bulat, dan berkuncung di kepalanya. Kerjanya mencuri uang bagi orang yang memeliharanya. Menurut kepercayaan orang Jawa Timur, hantu yang berkelakuan seperti anak kecil bandel ini dapat diperoleh dengan bertapa atau bersemadi di tempat-tempat angker, seperti candi-candi Hindu dan Budha yang banyak terdapat di Jawa Tengah (Borobudur, Penataran, Bongkeng, dan lain-lain), dan makam Sunan Giri dari Gresik. Pemelihara thuyul sebenarnya telah menjual rohnya kepada makhluk gaib pengusaha tempat-tempat angker itu. Nanti, sewaktu hendak meninggal, ia harus mengalami siksaan hebat - seperti sukar mengembuskan napasnya yang terkahir. Selain itu, harus juga menepati janjinya untuk mengurbankan manusia kepada penguasa tempat angker itu, setiap tahun. Kurban itu dapat berupa kerabat dekat atau kawan. Sebagai kompensasi, ia akan memperoleh kekayaan dari hasil usaha sang thuyul. Memelihara thuyul tidak sukar, Saudara. Cukup dengan menyediakan tempat tidur baginya dan memberinya makanan yang sangat digemari anak kecil - bubur nasi - setiap petang. Orang kaya yang memelihara thuyul, menurut kepercayaan orang Pare, biasanya kikir, gemar berpakaian kumuh, suka mandi di sungai dengan para kuli, gemar makan gaplek campur jagung, walaupun di rumahnya penuh lempengan emas. Thuyul bukan saja terdapat di Jawa Timur, tetapi juga di Jawa Tengah. Adapun makhluk gaib yang disebut dhemit adalah roh sakti yang mendiami tempat-tempat angker, yang di Jawa Tengah disebut pundhen- dapat berupa reruntuhan candi kecil zaman Hindu yang kini hanya memiliki satu dua patung saja, atau sebatang pohon beringin besar, makam tua, mata air yang agak tersembunyi, ataupun benda-benda alam yang mempunyai bentuk aneh. Dhemit sering dicampuradukkan dengan kolega-koleganya seperti dhanyang, lelembut, dan setan.Dhemit dari suatu pundhen biasanya menjadi tempat orang memohon sesuatu dengan cara berkaul - dan bila orang yang bersangkutan lupa untuk membayar kaulnya, ia akan ditagih dengan jalan ini: si dhemit menampakkan dirinya dalam rupa ular hitam yang yang tiba-tiba saja melata di antara kedua kaki orang itu. Permohonan yang diminta kepada dhemit biasanya berhubungan dengan kekayaan, kesehatan, kesembuhan, keselamatan, kehamilan, keinginan agar cinta dibalas, dan sebagainya. Pembayaran kaul biasanya berupa selamatan sederhana - nasi tumpeng dengan lauk anak ayam atau ikan goreng, kue, dan bunga - yang bahan-bahannya biasanya diserahkan kepada penjaga pundhen, yang disebut pekuncen. Sebagai oleh-oleh, pembayar kaul akan diberi sebungkus bunga kering bekas sajen - oleh si penjaga - yang dapat dipergunakan sebagai obat. Makhluk gaib yang disebut dhanyang lain lagi. Ia adalah roh sakti yang punya sifat mirip dhemit. Ia juga dihubungkan dengan tempat angker tertentu seperti pundhen. Tapi ia mempunyai sifat khas, baik hati, tidak suka mencelakai orang. Perbedaannya dengan dhemit: dhanyang merupakan dhemit orang penting dalam sejarah desa. Seorang dhanyang, misalnya, merupakan roh leluhur suatu desa, sehingga penduduk desa itu merasa sebagai keturunan dhanyang itu. Oleh sebab itu, dhanyang dapat dianggap sebagai roh pelindung. Dhanyang sering memiliki zat sakti yang disebut pulung. Pulung ini akan memasuki tubuh calon lurah yang kemudian akan terpilih. Sebab itu, bila lurah suatu desa meninggal, semua calon lurah pengganti akan berkumpul di alun-alun untuk bersemadi, dengan harapan agar pulung yang telah meninggalkan jenazah lurah yang baru wafat akan menghinggapi tubuh salah seorang dari mereka. Bentuk pulung itu seperti rembulan. Agar dapat dihinggapi pulung, para calon bersaing memberi sajen kepada dhanyang desa itu. Menurut kepercayaan orang Jawa Tengah, pulung raja Jawa kini menghinggapi tubuh presiden Republik Indonesia. Pulung seorang lurah, selain akan meninggalkannya bila ia meninggal, juga bila ia sudah menyeleweng dari jalan yang benar. Bila sampai terjadi demikian, kesejahteraan dan kemakmuran akan mundur, desa akan mengalami bencana alam dan penyakit. Daerah kekuasaan suatu dhanyang desa disebut kumaran. Ini berasal dari akar kata kumara atau kemara, yang berarti "suara yang datang tanpa ketahuan dari mana". Suara semacam ini katanya berasal dari seorang dhanyang desa. Wilayah suatu kumaran adalah seluas daerah tempat suara itu dapat terdengar. Daerah empat penjuru suatu kumaran ada kalanya dilindungi oleh dhanyang-dhanyang yang merupakan putra-putra dhanyang desa itu. Dhanyang desa sering menampakkan diri kepada penduduk desa bila akan terjadi bencana. Dhanyang Desa Sumbersari di Jawa Tengah, yang bernama Mbah Nut Wakit, misalnya, akan muncul dalam bentuk seekor harimau putih yang sedang mengorek-ngorek tanah di persimpangan jalan, dan akan lenyap bila telah dilihat orang desa. Ia kemudian tampil lagi di dalam mimpi lurah desa, guna memberi petunjuk tentang tindakan yang harus dilakukan untuk melindungi penduduk desanya dari bencana yang akan datang itu. * * * Fungsi kepercayaan terhadap roh-roh gaib seperti bangsa alus, memedi, gendruwo, lelembut, setan, jin,thuyul, dan dhanyang, menurut Clifford Geertz, adalah untuk memberi suatu perangkat penjelasan, yang telah tersedia, kepada para penganut. Dan untuk menerangkan pengalaman yang aneh-aneh serta sangat membingungkan. Penjelasan itu berupa gambaran simbolis khayalan. Pada pengkhayalan, hal-hal paling menyimpang pun harus disahkan. Didi, yang tiba-tiba pingsan sepulang bermain di hutan pada tengah hari, oleh Pak D.ukun dikatakan telah dirasuki lelembut yang mendiami pohon angker di sana, karena anak itu telah mengencingi tempat kediaman sang lelembut Mbok Margono, yang dahulunya miskin dan tiba-tiba menjadi kaya, tentu akhir-akhir ini telah memelihara thuyul Dan sebagainya . Seperti halnya masyarakat manusia, masyarakat makhluk gaib punya struktur pemerintahan, konon. Para penguasa dunia gaib tentu saja para dewa. Dewa pemimpin, atau raja, di Jawa disebut Sang Hyang Tunggal. Di Bali Ida Sang Hyang Widhi Washa. DiTrunyan(Bali) Ratu Sakti Pancering Jagat. Di Nias, Lowalangi. Di Kalimantan Tengah, di antara orang Dayak Ngaju, disebut Ranjing. Di Tanah Batak disebut Debata (Ompung) Mula Jadi Na Bolon, di antara Bugis dan Makassar disebut Patoto-e, Dewata Seuwa-e atau Turie a'rana. Para dewa yang tergolong menteri dalam kerajaan Ratu Sakti Pancering Jagat dari Desa Trunyan, Bali, antara lain Ratu Sakti Gunung Agung. Beliau ini menteri ekuin - dan bertugas sebagai pencari dana (sponsor?) bagi perayaan Raja Dewa. Ratu Sakti Meduwe Gama Ujung Sari menjabat sebagai menteri undang-undang - maklum, tidak ada parlemen. Ratu Sakti Pujangga Lueh menjabat sebagai pendeta kerajaan serta menteri agama - yang bertugas, antara lain, mengurus pembuatan air suci (thirtha). Ratu Sakti Meduwe Raja, disebut juga Ratu Gede Bagus Penyarikan, adalah sekretaris Raja Dewa. Ratu Ayu Manik Surat Mepura Kangin dan Ratu Ayu Manik Surat Mepura Kaoh, dua dewa kembar, bertugas mengawasi tingkah laku para pesuruh dewa yang sering membuat gaduh itu - yaitu para buta kala. Betara Kaler menjabat sebagai pangab. Ratu Wayan Purus Mandi bertugas sebagai jaksa agung. Dan Ratu Wayan Basang Bedel menjabat sebagai hakim agung. Takhayul lain, mengenai terciptanya alam semesta dan dunia, oleh Wyland D. Hand dirinci menjadi empat subkategori: fenomena kosmis, cuaca binatang dan peternakan penangkapan ikan dan perburuan serta tanam-tanaman dan pertanian. Takhayul mengenai gejala alam atau fenomena kosmis antara lain kepercayaan rakyat mengenai gempa, yang di Nias dianggap sebagai akibat bergoyangnya ular besar yang mendukung bumi. Ular raksasa itu berbuat demikian untuk memeriksa apakah di dunia masih ada manusianya, karena sehabis perang terasa ada darah manusia menetes ke tubuhnya setelah meresap di bumi. Gejala alam lainnya, pelangi, oleh orang Jawa Timur dianggap sebagai jembatan tempat para bidadari turun dari kahyangan ke bumi untuk mandi di sebuah danau tertentu. Gejala gerhana bulan oleh orang Bali dianggap sebagai perbuatan Kala Rahu, raksasa sakti yang tidak bertubuh tapi berkepala, yang sedang berusaha menelan Dewi Chandra. Oleh kepercayaan itu, jika ada gerhana bulan maupun matahari, penduduk pedesaan akan menabuh kentongan kayu atau kaleng atau apa pun. Takhayul mengenai cuaca juga ada di Indonesia. Di Jawa Timur misalnya. Lingkaran cahaya putih di sekeliling bulan pada malam hari merupakan alamat bahwa keesokan harinya hujan akan turun. Di antara penduduk Pulau Jawa ada kepercayaan, musim kering berkepanjangan dapat dihentikan - selain dengan jalan memandikan kucing - juga dengan mengadakan upacara kurban darah yang disebut ujung. Ujung ialah aduan dua pemuda yang bertelanjang dada, yang saling memecut lawan sehingga berdarah-darah sekujur tubuh - dan dianggap mempunyai tenaga gaib untuk menurunkan air. Tapi di Jakarta, di antara masyarakat Betawi keturunan Cina, untuk mencegah hujan pada pesta yang akan dilakukan, ada kebiasaan mencoblos sebutir bawang merah dan sebutir cabai merah dengan tusuk sate, kemudian ditancapkan bersama tusuk itu di pagar rumah. Dan untuk mencegah hujan, di Jawa Timur, di lingkungan keturunan Cina, mereka melarang para calon mempelai mandi sejak kemarin petangnya. Sebenarnya, upacara kesuburan seperti yang ada di Desa Trunyan, yang terkenal dengan nama Saba Gedhe, berdasarkan keyakinan bahwa pergantian musim kering ke musim hujan dapat diperlancar dengan jalan mengadakan upacara kesuburan itu. * * * Takhayul mengenai binatang dan peternakan ada juga di Indonesia. Di Kalimantan Tengah, misalnya, burung-burung tertentu, seperti burung elang, dan binatang tertentu, seperti ular, dianggap dapat memberi berbagai pertanda. Jika tanda-tanda yang mereka berikan tidak dihiraukan, bencana akan menimpa orang yang menerimanya. Di antara orang Jawa ada kepercayaan bahwa burung perkutut termasuk burung yang dapat memberi alamat baik dan buruk kepada yang memeliharanya. Tidak semua burung perkutut mempunyai sifat gaib itu, melainkan hanya burung perkutut tertentu yang mempunyai ciri-ciri tertentu pada tubuhnya. Untuk itu, ada pengetahuan khusus. Bagi orang Indonesia, misalnya orang Jawa, harimau bukan saja dianggap sebagai raja hutan melainkan juga binatang gaib, atau sering juga dianggap jelmaan manusia yang punya "ilmu". Orang-orang yang dapat mengubah diri menjadi harimau dapat diketahui - mereka tidak mempunyai lekukan pada bagian di antara bibir atas dan hidung. "Orang-orang gaib" ini katanya dahulu terdapat di daerah Grobogan. Ternak yang paling mempunyai nilai tinggi dalam kebudayaan Indonesia, sejak dahulu, adalah kerbau. Binatang ini bukan saja penting artinya dalam perekonomian, tapi juga dalam upacara keagamaan. Di banyak daerah, binatang kurban yang paling tinggi adalah kerbau. Mengenai binatang ini, serta artinya dalam kebudayaan beberapa suku di Indonesia, ada buku yang baik karangan J. Kreemer: De Karbouw: Zijn Betekenis voor de Volken van Indonesische Archipel. Tapi yang paling menarik dari binatang piaraan di Indonesia adalah anjing. Walau binatang ini dianggap sebagai kawan manusia, ia sering disepelekan. Di Desa Trunyan, misalnya, anjing umumnya tidak diberi makan khusus, justru ia berfungsi sebagai pembersih desa dari tinja. Walaupun dianggap kesayangan dewa, sehingga merupakan makhluk satu-satunya yang boleh keluar masuk kompleks pura (kuil) waktu warga desa sedang berada dalam keadaan sebel (tidak suci) sebagai akibat kelahiran anak kembar, misalnya anjing, oleh penduduk Desa Trunyan, diperlakukan sangat buruk, kalau tidak mau dikatakan kejam. Perlakuan yang berbeda diberikan kepada binatang tikus - yang juga merupakan kesayangan para dewa, sehingga disebut dengan panggilan kehormatan jero ketut (yang terhormat ketut). Hal itu justru disebabkan binatang tikus adalah hama, sedangkan anjing adalah penolong. Ini sejalan dengan perlakuan yang diberikan penduduk Trunyan terhadap para dewa mereka dan pada para buta kala (hantu-hantu), karena para dewa bukan saja tidak mengganggu, malahan menolong, maka tidak usah ditakuti. Sedangkan para hantu suka mengganggu, sehingga harus selalu diambil hatinya. Ada pula takhayul mengenai penangkapan ikan dan perburuan. Seperti halnya perjudian, permainan bertanding, penyakit, panen, dan cuaca, penghasilan dari penargkapan ikan dan berburu tidak dapat diramalkan dari semula. Karena itu, untuk mengetahui hasil pekerjaan, para pembuat analisa yang masih berpikiran tradisional menciptakan pengetahuan peramalan berdasarkan sejumlah pertanda. Untuk menghindari kegagalan telah dibuat banyak sekali pantangan (tabu) yang wajib dipatuhi para nelayan dan pemburu, bahkan juga seluruh kerabat dekatnya. Di Indonesia gejalanya sama. Di Bali orang akan melakukan suatu pekerjaan penting dengan mencari dahulu hari baiknya (urip dhewasa). Juga di Jawa. Di antara pelaut Riau keturunan Cina ada kepercayaan: sewaktu berada di kapal, waktu makan ikan, dilarang keras membalikkan tubuh ikan bila daging sebelah atas sudah habis. Untuk dapat mengambil daging ikan sebelah bawah cukup diangkat tulang punggungnya jika dibalik, kapal pun akan terbalik dan karam. Takhayul mengenai tanam-tanaman dan pertanian juga ada di Indonesia, tentu saja. Di Desa Trunyan, Bali, tumbuh-tumbuhan yang dianggap mempunyai kekuatan sakti antara lain pohon biu (pisang), gedhang (pepaya), dan labu jepang (labu siam). Kekuatan itu bersifat buruk: dapat mencelakai penanamnya, menyebabkannya sakit dan meninggal. Itulah sebabnya di Desa Trunyan tidak ada orang berani menanamnya. Lebih-lebih pepaya - karena bentuknya yang seperti buah dada leyak, hantu jadi-jadian yang berasal dari seorang dukun. Tanaman labu siam sangat ditakuti bila ditanam di dekat rumah, karena cabang-cabangnya dapat merambat langsung memasuki rumah dan menyebarkan pengaruh buruk. Pohon-pohon yang dianggap angker tetapi tidak mempunyai akibat buruk, di Desa Trunyan, adalah bingin (beringin), nangka, dan pinang. Menurut mereka, di sekitar pohon-pohon itu sering dapat dilihat makhluk-makhluk halus yang menampilkan diri sebagai raksasa ataupun binatang seperti kuda dan babi. Berhubung orang Bali Trunyan masih menganut agama yang banyak mengandung unsur animisme dan dinamisme, untuk menanam setiap jenis tanaman harus dicari dahulu hari baik urip dhewasa) tiap-tiap tanaman karena hari baik masing-masing tidak sama. Hari baik bunga-bungaan adalah Redhite (Minggu), Anggara (Selasa), dan Saniscara (Sabtu). Hari baik bagi sayur-sayuran dan kacang-kacangan adalah Wraspati (Kamis) dan Sukra (Jumat). Untuk pohon buah-buahan: Redhite dan Saniscara. Untuk ubi-ubian: Soma (Senin) dan Wraspati. Menanam tanaman pada hari-hari yang bukan urip dhewasa-nya boleh juga, tapi hasilnya kurang baik. Jenis takhayul lain adalah keyakinan rakyat yang tidak dapat dimasukkan ke dalam golongan yang dibuat Wyland D. Hand. Misalnya takhayul orang Jawa Tengah mengenai maling, seperti yang pernah ditulis Raden Prawoto. Menurut Prawoto, di Jawa Tengah, pada permulaan abad ke-20 dipercayai adanya tiga macam maling: maling krowodan, pencuri yang mencuri apa saja tanpa pilih-pilih, maling ketut, yang hanya mencuri ternak dan sangat terkenal karena tidak mudah takut, dan maling tengahan, pencu ri yang dapat digolongkan di antara kedua jenis. Menurut keyakinan mereka, maling-maling ini mempunyai ilmu gaib - umpamanya yang dapat menyebabkan korbannya jatuh pulas seperti orang mati selama rumahnya dikuras habis-habisan. Ilmu gaib ini disebut sirep. Kepercayaan lainnya yang juga menarik adalah mengenai mimpi, yang sering dapat meramalkan sesuatu yang akan atau telah terjadi pada kehidupan kita atau kerabat dan kawan kita. * * * Mengapa takhayul dapat bertahan terus di masyarakat yang sudah modern dapat dijelaskan dengan berbagai teori. Misalnya, takhayul disebabkan oleh cara berpikir yang salah, kebetulan, predileksi (kegemaran) psikologis umat manusia untuk percaya kepada yang gaib-gaib, ritus peralihan hidup, perjuangan untuk hidup terus (survival), perasaan tidak tentu akan tujuan-tujuan yang sangat didambakan, ketakutan akan hal-hal yang tidak normal, penuh risiko dan kematian. Sir James Frazer mengajukan sympathetic magic, yang untuk pertama kali dimuat di dalam bukunya yang berjudul The Golden Bough. Teori itu berdasarkan asumsi bahwa ada hubungan erat antara benda-benda yang sebenarnya tidak ada hubungan. Ilmu gaib simpatetis ini dapat berupa ilmu gaib homeopatis, yang sering juga disebut imitative magic (ilmu gaib meniru), yang berdasarkan asumsi bahwa obyek-obyek yang mirip akan saling mempengaruhi . Contohnya, di Jawa Timur, adalah yang fungsinya untuk mencelakai musuh. Seseorang akan minta bantuan dukun untuk membuat boneka yang mirip dengan musuh itu, lalu ditusuk-tusuk dengan jarum, disertai mantramantra, dan akibatnya sang korban akan jatuh sakit dan mati. Tapi ilmu gaib simpatetis juga dapat berupa contagionsmagic, yangbersifat menular, yang sering juga disebut magical touch (ilmu gaib sentuhan). Sebab, ilmu ini berdasarkan asumsi bahwa obyek yang pernah bersentuhan akan terus mempunyai hubungan. Keyakinan semacam ini juga adapada orang Betawi keturunan Cina sebelum Perang Dunia II. Di kalangan mereka, ada kepercayaan pantang memberikan pakaian bekas kepada orang yang tidak dikenal: takut akan dipergunakan sebagai bahan untuk mencelakainya secara gaib. Teori lain, Gesunkenes kulturgut, diajukan oleh sarjana Jerman Hans Naumann pada 1920. Ini tidak pernah mendapat dukungan luas di kalangan ilmu pengetahuan. Menurut Naumann, sebagian folklor orang kebanyakan masa kini sebenarnya merupakan bagian kebudayaan yang masih dapat bertahan hidup (survival fragment) dari folklor orang terpelajar, tetapi sudah mengalami pembejatan. Jadi, takhayul sebenarnya berasal dari kepercayaan agama yang telah mengalami pembejatan. Fungsi folklor, termasuk takhayul, yang paling menonjol adalah sebagai penebal emosi keagamaan atau kepercayaan. Itu karena manusia yakin adanya makhluk-makhluk gaib yang menempati alam sekeliling dan yang berasal dari jiwa-jiwa orang mati. Bisa juga karena manusia takut akan berbagai krisis dalam hidupnya. Atau karena manusia yakin akan adanya gejala-gejala yang tidak dapat diterangkan dan dikuasai akalnya. Atau karena manusia percaya akan adanya suatu kekuatan sakti di dalam alam, atau karena manusia dihinggapi emosi kesatuan dalam masyarakatnya, atau karena manusia mendapat suatu bisikan Tuhan, atau karena semua sebab itu. Fungsi yang lain: sebagai sistem proyeksi khayalan suatu kolektif yang berasal dari halusinasi seseorang yang sedang mengalami gangguan jiwa. Yang lain lagi: sebagai alat pendidikan anak atau remaja. Di Indonesia, petuah sering diberikan dalam bentuk takhayul. Contohnya di antara orang Betawi: jika hendak mendidik agar tidak membuang-buang makanan, terutama nasi, anak-anaknya itu akan diperingatkan dengan suatu kepercayaan rakyat. Yakni, jika tidak memakan habis semua butir nasi di piring, kelak mereka akan mendapat suami atau istri yang bopeng. Atau, untuk mendidik anak gadis agar menjadi wanita yang sopan, orang Betawi keturunan Cina akan menceritakan kepadanya bahwa seorang gadis yang gemar duduk di muka pintu rumah akan berat jodohnya. Masih ada fungsi takhayul yang lain, di samping sebagai "penjelasan" yang dapat diterima akal suatu masyarakat terhadap gejala alam yang sangat sukar dimengerti. Yakni: menghibur orang yang sedang mengalami musibah. Orang Betawi keturunan Cina, misalnya, jika harta bendanya dicuri maling, akan menghibur diri dengan takhayul yang mengatakan bahwa kesialannya pun diambil alih pencurinya. "Engga apa, buang sial!" katanya. Contoh lain dari Desa Trunyan, Bali. Orang yang kerabatnya mengalami kecelakaan di danau, dan mati lemas, akan terhibur oleh pendeta (pemangku) yang menyuruhnya bersyukur: kerabatnya sebenarnya tidak mati, melainkan diperlukan tenaganya di keraton Dewi Danu di dalam Danau Batur. * * * Setiap bangsa di dunia ini punya permainan rakyat. Ini juga termasuk folklor karena diperoleh melalui warisan lisan. Terutama perrnainan kanak-kanak, yang disebarkan hampir murni melalui tradisi lisan dan banyak yang tumbuh tanpa bantuan orang dewasa, seperti orangtua atau guru. Permainan rakyat biasanya berdasarkan gerak tubuh, seperti lari dan lompat atau berdasarkan kegiatan sosial sederhana, seperti kejar-kejaran, sembunyi, dan pura-pura berkelahi atau berdasarkan matematika dasar atau kecekatan tangan, seperti menghitung, dan melempar batu ke suatu lubang tertentu atau berdasarkan untung-untungan, seperti main dadu. Dari perbedaan sifatnya, permainan rakyat dapat dibagi menjadi dua golongan besar: yang untuk bermain dan yang untuk bertanding. Perbedaannya: yang pertama lebih bersifat pengisi waktu atau rekreasi yang kedua tidak rekreatif, tapi hampir selalu mempunyai lima sifat khusus yaitu terorganisasi, bersifat perlombaan, harus dimainkan paling sedikit oleh dua orang peserta, mempunyai kriteria yang menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah, dan mempunyai peraturan permainan yang diterima bersama. Selanjutnya permainan bertanding dapat dibagi lagi: yang bersifat keterampilan fisik, yang bersifat siasat, dan yang bersifat untung-untungan. Pada beberapa suku bangsa yang masih tradisional, seperti orang Bali dari Trunyan, permainan rakyat dapat pula digolongkan menjadi permainan rakyat yang bersifat sekuler (keduniawian) dan yang bersifat sakral. Selain itu, di desa ini permainan rakyat dapat pula digolongkan berdasarkan perbedaan umur, jenis kelamin, kedudukan dalam masyarakat, atau lapisan sosial. Penggolongan berdasarkan perbedaan kelamin itu, di Desa Trunyan, erat berhubungan dengan kepercayaan yang menganggap wanita lebih bodoh dalam hitung-menghitung. Karena itu, permainan yang bersifat perjudian merupakan monopoli laki-laki, baik kanak-kanak maupun dewasa. Bahkan wanita tidak berani mendekati gelanggang perjudian karena takut dituduh membawa sial, terutama oleh laki-laki yang sedang kalah. Orang perempuan yang dianggap sial sebenarnya adalah mereka yang sedang haid. Tapi 'kan sukar mengetahui wanita mana yang sedang haid. Di kalangan kanak-kanak Trunyan, menerbangkan layang-layang sambil berlari-lari dengan mempergunakan benang sepanjang empat meter, maluan (mengadu) jangkrik, dan melepaskan semacam anak panah yang disebut cakra dengan mempergunakan alat pelanting adalah permainan khusus laki-laki. Sedangkan berenang di danau, bermain dengan biduk, menerbangkan kumbang hidup dengan mengikat kakinya pada benang panjang, dan bermain diiringi nyanyian diperuntukkan bagi kedua jenis kelamin. Permainan yang bersifat sakral atau ritual adalah permainan remaja laki-laki dalam rangka upacara Saba Gede - memperingati hari kelahiran dewa tertinggi mereka yang bernama Ratu Sakti Pancering Jagat. Mereka berputar pada ayunan dari kayu yang disebut jantra. Tetapi main ayunan ini sebenarnya tidak khas Trunyan - terdapat juga di desa Bali lainnya, yaitu Desa Tenganan di Kabupaten Karangasem . Bahkan juga di antara orang Toraja. Menurut Albert C. Kruyt, permainan berayun di antara orang Toraja mempunyai dua aspek: ritual dan hiburan. Di daerah Sulawesi Tengah, pada penduduk Toraja Timur, berayun-ayun merupakan hiburan semata-mata, permainannya dapat dilakukan sepanjang tahun. Sedangkan di Sulawesi Selatan, misalnya daerah Pada Seko, berayun dilakukan dalam rangka upacara tertentu, yang dihubungkan dengan kepercayaan bahwa ayunan adalah salah satu media untuk berhubungan dengan dewa atau roh di langit. Seperti bermain, bertanding - di Trunyan - juga dapat digolongkan ke dalam yang sekuler dan yang sakral. Bertanding sekuler bersifat keterampilan fisik untuk kanak-kanak misalnya tembing, macingklak, bola sepak, tajen-tajenan, mapadu keliki, pinceran, ter, kelas-kelasan, dan bergulat di pasir. Tembing adalah permainan tanding yang dilakukan dengan melembarkan uang cina kuno dari perunggu ke dalam suatu lubang di tanah, tiga meter dari pemain. Yang berhasil, dianggap menang dan boleh mengambil uang kepeng yang dipertaruhkan. Ini, walaupun merupakan permainan anak lelaki, ada kalanya dimainkan juga oleh anak-anak perempuan berusia empat belas tahun ke bawah. Macingklak adalah sejenis permainan yang di Pulau Jawa terkenal dengan nama bekel. Bedanya, jika permainan bekel mempergunakan bola karet serta biji-biji khusus dari kuningan, macingklak mempergunakan batu-batu kerikil. Cara bermainnya adalah melemparkan sebutir batu ke udara untuk kemudian ditangkap kembali sambil sekaligus meraup beberapa butir batu di lantai tanah. Ini dilakukan sambil bersila atau bersimpuh. Dimainkan anakanak lelaki maupun perempuan yang berusia di bawah empat belas. Bola sepak adalah permainan khusus anak laki-laki, juga di bawah usia empat belas. Bolanya dari kantung kemih babi atau sapi yang ditiup bagai balon. Tajen-tajenan adalah permainan anak lelaki di bawah sepuluh tahun, meniru orangtua mereka menyabung ayam (tajen). Yang diadu di sini ayamayaman - dari daun jarak yang tangkainya ditekuk, dan tekukan itu dipertahankan dengan tusukan sebatang lidi runcing yang sekaligus berfungsi sebagai taji "ajarn jago" itu. Cara mengadunya: mengempaskan dua ayam-ayaman satu sama lain, sehingga sewaktu jatuh ke tanah salah satu akan tertusuk taji lawannya. Yang tertusuk itulah yang kalah. Yang menarik, sebelum memungut "ayam jago" mereka, para pemain cilik akan berteriak, "Saya! Saya!" untuk memanggil wasit pertandingan, persis seperti yang dilakukan para pemain dewasa dalam gelanggang sabungan ayam sesungguhnya. Mapadhu keliki adalah permainan mengadu kekuatan biji tanaman jarak - dengan menekan biji jarak kepunyaan seorang anak ke biji jarak kepunyaan lawan. Yang kalah adalah pemilik jarak yang pecah kulitnya. Ini permainan anak-anak dari kedua jenis kelamin, di bawah sepuluh tahun. Pinceran adalah permainan semacam gasing. Alatnya buah jarak pagar yang bulat dan masih hijau, ditusuk dengan dua batang lidi. Sebatang ditusukkan secara vertikal sampai tembus, sehingga bagian atasnya berupa gagang yang akan digesekkan di antara dua telapak tangan waktu mau diputar. Sedangkan bagian bawah sebagai kaki gasing yang dapat berputar di tanah. Batang lidi yang lain ditusukkan secara horisontal dan berfungsi sebagai taji karena runcing ujungnya. Dengan taji, dua buah gasing yang diputar berdekatan akan dapat saling merusakkan sewaktu bersentuhan. Pinceran yang lebih besar kerusakannya dianggap kalah. Ini juga permainan anak kedua jenis kelamin di bawah sepuluh tahun. Ter adalah permainan menembakkan semacam anak panah ke udara. Anak panahnya dari bambu runcing berbentuk tusuk sate yang diberi ekor, seperti ekor roket, terbuat dari daun lontar kering. Sebagai alat pelanting dipergunakan bambu bagian kulit. Pada ujung bambu diikatkan seutas tali. Pada ujung tali yang bebas, dibuat simpul. Tangan kanan memegang bambu pelanting bagian bawah, tangan kiri memegang anak panah yang telah disangkutkan pada tali, kemudian tali ditarik ke belakang, bambu pelanting melentur ke belakang pula, dan anak panah pun melesat. Pemenang pertandingan ini adalah pemilik ter yang melesat paling tinggi. Ini permainan anak lelaki antara tujuh dan empat belas tahun. Kelas-kelasan adalah permainan yang di Jakarta dikenal dengan istilah engklek, di AS dengan nama hopscotch, di Negeri Belanda hingken. Setiap peserta secara bergilir melemparkan sepotong batu pipih ke dalam salah satu dari beberapa ruangan yang dilukis di tanah, kemudian ia melompat dengan satu kaki dari satu ruangan ke ruangan lain, lalu memungut batu itu atau menendangnya. Permainan yang penyebarannya agak luas di dunia ini di Trunyan merupakan permainan anak-anak kedua jenis kelamin di bawah usia empat belas. Bergulat adalah permainan anak-anak laki-laki, juga di bawah usia empat belas, yang dilakukan setelah berenang-renang di danau dalam keadaan telanjang bulat di pasir. Yang menang yang dapat menindih lawannya di bawah tubuhnya. Permainan tanding sekuler yang bersifat fisik, bagi orang laki-laki dewasa di Trunyan, adalah pencak silat. Ini sebenarnya baru mereka kenal sejak pemilihan umum 1955, yaitu waktu anggota parpol mengadakan kampanye di desa mereka dengan membawa pertunjukan itu. Sejak saat itu, pemuda-pemuda Trunyan pada keranjingan. Mereka mengundang seorang ahli pencak dari Desa Metre, dan seorang lagi dari Desa Songan. Yang pertama mengajarkan pencak aliran Depok, yang kedua mengajarkan aliran Minangkaba (Minangkabau?). Aliran kedua mempergunakan alat besi berbentuk trisula yang disebut cabang, yang di Jakarta juga bernama ti cio. Permainan tanding yang bersifat siasat, untuk kanak-kanak Trunyan, adalah macan-macanan singkung. Sedangkan bagi orang dewasanya permainan kartu yang disebut cekian dan dom. Walau yang terakhir ini permainan orang dewasa, dalam kenyataan ia dimainkan juga oleh anak-anak di atas sembilan tahun dengan diketahui orangtuanya, yang tidak jarang bahkan kelihatan membimbing anaknya waktu sedang belajar bermain judi itu. Ketiga permainan ini hanya khusus dimainkan laki-laki. Macan-macanan singkung adalah semacam catur. Permainan ini telah lama dikenal di Trunyan, sehingga dapat dianggap sebagai tradisi daerah - meski juga dikenal di desa-desa lain di Pulau Bali dan Pulau Jawa, dengan versi berbeda. Untuk ini dibutuhkan gelanggang yang denahnya dilukis di tanah atau batu pipih yang lebar. Denah itu berupa sepuluh kotak berukuran sama, letaknya berdampingan, sehingga menjadi kotak besar empat segi. Di kotak sebelah kiri ada pula kotak lain berupa kubah. Permainan ini dilakukan dua anak di bawah empat belas. Anak pertama menjalankan dua butir batu kerikil besar yang disebut ina, sedangkan anak kedua menjalankan sembilan butir batu kerikil lebih kecil yang disebut panak. Pada mulanya kedua ina dipasang. Kemudian, sambil berjalan, satu per satu biji panak dipasang. Kemenangan salah satu peserta ditentukan oleh keadaan terakhir siapa yang biji-biji permainannya habis lebih dahulu dianggap kalah. Yang dipertaruhkan di situ bukan uang, melainkan pukulan: yang kalah akan dipukul punggungnya dengan tangan terbuka - oleh pemenangnya. Di samping cekian (dengan kartu ceki) dan dom (domino), ada lagi permainan tanding sekuler yang bersifat untung-untungan di Trunyan. Matogtog, yang pertama, adalah permainan yang sudah lama dikenal penduduk, sehingga mereka menganggapnya asli desa mereka - padahal, sebenarnya juga dikenal di desa-desa lain di Bali - Desa Sorokadan misalnya. Mulanya, permainan ini milik orang dewasa, tetapi lebih banyak dimainkan anak-anak usia sembilan sampai empat belas tahun, bahkan oleh yang lebih muda lagi. Bedanya, jika dimainkan orang dewasa (dan anak-anak berusia sembilan sampai empat belas), yang dipertaruhkan adalah uang rupiah sedangkan jika dimainkan anak-anak di bawah usia sembilan, yang dipertaruhkan uang keepeng (uang Cina kuno). Toh matogtog yang dimainkan anak-anak masih dapat digolongkan perjudian, karena uang kepeng di Trunyan sampai kini masih mempunyai nilai tukar. Cara permainannya adalah dengan menggunakan enam belas buah kepeng yang digenggam di tangan kanan. Tangan kanan yang menggenggam (dengan telapak menghadap ke atas) itu ditutupi tangan kiri yang akan menekan tangan kanan sambil menggeser ke muka, sehingga menyebabkan beberapa buah uang kepeng tergeser sampai jatuh ke tanah. Sewaktu kepalan tangan kanan terbuka, tangan itu segera dikepalkan kembali, dan tangan kiri dengan cepat menutupi jumlah mata uang yang jatuh ke tanah, agar para peserta permainan yang hendak turut bertaruh tidak mengetahui jumlah uang yang jatuh itu. Semua itu dilakukan oleh sang bandar sambil bersila, dengan kedua tangannya menempel di tanah. Setelah uang dijatuhkan, para peserta permainan baru diberi kesempatan memasang taruhan mereka di selembar kain tebal - yang bergambarkan lukisan empat segi yang keempat sudutnya dihubungkan dengan dua garis diagonal, sehingga kotak itu menjadi delapan mata angin. Demikianlah semua peserta memasang, dan baru tangan kiri si bandar dibuka. Jika di tanah hanya ada sebuah uang kepeng, itu berarti peserta yang memasang di utara menang karena sebuah kepeng melambangkan utara. Jika dua buah kepeng, yang memasang di barat yang menang. Demikian selanjutnya. Seperti juga cekian, cap deki, dan dom, permainan matogtog sebenarnya cukup rumit. Cap deki adalah permainan yang juga mempergunakan kartu ceki. Seperti cekian, cap deki juga bersifat judi. Hanya, jika pada cekian diperlukan pemikiran yang cukup keras, pada cap deki lebih banyak untung-untungan. Begitu juga main dadu. Permainan ini belum lama di Trunyan - berdasarkan kenyataan bahwa para bandarnya masih bukan orang Trunyan, melainkan yang datang ke sana, khususnya bila sedang ada pesta rakyat. Cara mainnya: memasang taruhan pada salah satu gambar yang melukiskan sejumlah kotak pada salah satu muka batu dadu. Pasangan dianggap menang jika kebetulan cocok dengan jumlah bulatan yang terkandung pada permukaan batu dadu yang kebetulan menghadap ke atas, setelah dikocok dan dilemparkan ke tanah. Permainan judi ini, walaupun permainan laki-laki dewasa, juga dimainkan anak laki-laki di atas tujuh tahun - dengan perbedaan taruhan antara rupiah dan kepeng. * * * Permainan tanding yang bersifat sakral atau ritual, di Trunyan, adalah adu tingkih (kemiri) dan tajen (sabungan ayam). Keduanya dilakukan terutama untuk menghibur para dewa pada suatu upacara keagamaan, atau bagian satu upacara pengurbanan darah . Adu kemiri, misalnya, dilakukan khusus pada upacara memperingati dewa tertinggi Trunyan pada bulan Bali yang keempat (Purnama Kapat). Waktu itu dewa, menurut keyakinan penduduk, sedang hadir di desa mereka dan berkumpul di panggung rendah di kompleks Penaleman bagian jaban (depan), di bawah pohon beringin, dalam rangka upacara mencengkrama. Cara bermainnya ialah mengadu kekuatan dua buah batok kemiri, dengan membenturkan keduanya melalui suatu lemparan keras sewaktu yang satu diletakkan di tanah. Karena sifatnya yang sakral, permainan ini hanya dilakukan para pemimpin majelis desa adat (peduluan) saja. Tajen adalah sabungan ayam di Trunyan. Walaupun bersifat judi, tajen sebenarnya bagian dari upacara keagamaan yang penting. Upacara keagamaan itu dilakukan selalu dalam hubungan dengan upacara pertanian, sehingga dapat kita golongkan juga sebagai agriculture lore (lor pertanian). Tajen diselenggarakan dalam rangka upacara mapag yeh atau mendak tirta. Maksud mapag yeh: agar dewa yang menjaga mata air di perladangan seseorang akan mengusahakan air tetap mengalir keluar dengan lancar. Upacara ini dilakukan di Pura Bedugul, tempat memuja Ibu (Dewi Bumi), setelah upacara untuk Ibu sendiri selesai. Ini sebenarnya merupakan upacara mecaru yang khusus diperuntukkan bagi para buta kala atau hantu-hantu di sekitar daerah perladangan. Maksud upacara pengurbanan darah itu memang untuk mendamaikan para hantu agar tidak mengganggu. para penggarap tanah. Karena para hantu ini sebenarnya pengikut Ibu, maka sebelum memberi kurban darah kepada mereka harus terlebih dahulu diadakan upacara kecil - sebagai pemberitahuan kepada Ibu. Jika upacara ini tidak dilakukan, akan timbul hal-hal yang tidak diingini - seperti perkelahian di antara orang-orang yang bertaruh, sehingga pengurbanan darah ayam dapat berubah menjadi pengurbanan darah manusia. Segi lain tajen adalah perjudian yang berupa taruhan, sehingga permainan bertanding ini tergolong bersifat untung-untungan. Segi perjudian inilah yang menjadi daya tarik besar bagi laki-laki Trunyan untuk hadir penuh gairah pada mecaru ini, sehingga upacara ini sangat populer. Malahan tajen bukan hanya dihadiri penduduk Trunyan, melainkan juga penduduk desa-desa Kabupaten Karangasem, seperti Palek dan Metre, dan desa-desa Bintang Danu, seperti Songan dan Abang. Sabungan ayam di Bali agak berlainan dengan di Jawa - karena taji ayam di Bali dipasangi sangkur miniatur yang tajam sekali, sehingga selalu berakibat fatal bagi si ayam. Perjudian dalam tajen di Trunyan dilakukan dalam rangka pengumpulan dana oleh Sekaha Yeh (perkumpulan yang mengatur pembagian pemakaian air), yaitu dengan jalan menarik pajak dari mereka yang turut bertaruh. Dari setiap orang yang bertaruh ditarik 10% dari jumlah taruhan. Di Trunyan, tajen hanya dimainkan laki-laki yang sudah dewasa dan anak laki laki di atas 13 tahun. Anak-anak tanggung ini pun terbatas pada turut bertaruh saja, tidak turut dalam sabungan. Anak-anak lelaki kecil hanya turut sebagai penonton, sedangkan para wanita hanya meramaikan dengan berjualan minuman dan makanan. * * * Khusus untuk memulai suatu permainan tanding bagi kanak-kanak di Trunyan, yaitu untuk menentukan siapa yang harus "menjadi" (dalam permainan kejar-kejaran: siapa yang harus mengejar), ada semacam undian yang disebut mepang dan masut. Mepang dilakukan jika pemain terdiri lebih dari dua orang. Caranya: semua peserta berkumpul sambil berdiri dan berhadap-hadapan dalam satu lingkaran rapat. Semua mengepalkan tangan kanan masing-masing ke muka. Lalu salah seorang memberikan aba-aba dengan ucapan "Pang!" - dan semua peserta membuka tangan: menghadap ke atas atau ke bawah. Jika ada seseorang yang kebetulan sendirian membuka telapak tangannya ke atas, sedangkan yang lain ke bawah, ia bebas. Bila peserta tinggal dua orang, mepang dihentikan, dan diganti dengan masut. Undian mepang ini di Jawa disebut hompimpa. Cara main masut hampir sama dengan mepang. Bedanya: pada masut yang diajukan bukan hanya tangan terbuka, melainkan juga terkepal atau meluruskan jari telunjuk. Telapak terbuka melambangkan kertas, yang terkepal melambangkan batu, telunjuk melambangkan jarum. Jika kertas lawan batu, kertas menang karena kertas dapat membungkusnya. Jika kertas lawan jarum, jarum akan menang karena jarum dapat menusuknya. Jika batu melawan jarum, batu menang karena batu dapat mematahkannya. Anak yang kalah dalam masut, dalam permainan kejar-kejaran, misalnya, akan menjadi orang pertama yang mengejar lawan-lawannya. Yang menarik pada masut di Trunyan ialah perbedaannya dengan yang berlaku di desa-desa Bali Hindu, seperti Sorokadan. Sama dengan di Jawa, disini empu jari melambangkan gajah, telunjuk melambangkan manusia, jari kelingking melambangkan semut. Gajah menang lawan manusia, manusia menang lawan semut, tapi gajah kalah melawan semut - jika semut memasuki kuping gajah, gajah tidak berdaya, bukan? Masut di Trunyan, anehnya, malah hampir sama dengan yang berlaku di Filipina dan Cina, yang juga mempergunakan lambang-lambang kertas dan jarum. Di Filipina pengganti jarum adalah paku. Selain itu, mereka menambah dua lambang lagi: gunting dan hujan: Jari-jari telunjuk dan tengah yang diluruskan melambangkan gunting. Seluruh jari yang dibuka, tetapi dalam posisi agak bengkok sambil digoyang-goyangkan, melambangkan hujan. Tentang permainan rakyat orang Jawa (dan Indonesia lainnya) ada dua buah tulisan yang dapat dianggap klasik. Yang pertama dari H. Overbeck, berjudul Javaansche Meisjessepelen en Kinderliedjes - Permainan Anak-Anak Perempuan dan Nyanyian Kanak-Kanak Jawa. Yang kedua buku Catharina H. Kool, berjudul Das Kinderspiel ini Indischen Archipel Permainan Kanak-Kanak di Indonesia. Karya Kool ini adalah disertasi gelar doktornya. Buku Overbeck adalah yang paling tebal yang pernah ditulis mengenai permainan kanak-kanak perempuan. Ia mengklasifikasikan permainan kanak-kanak Jawa, yang dapat juga dimainkan anak laki-laki kecil, ke dalam tiga kategori: permainan biasa, permainan Ni Towok (gaib), dan permainan gaib lain. Tapi masih ada karangan menarik dari A.J. Resink Wilkens, berjudul Het Dakonspel - Permainan Dakon. Ini permainan yang paling populer di Jawa, yang dimainkan oleh kedua jenis kelamin dari segala umur, dengan cara dua orang berhadapan di depan suatu alat berupa perahu terbuat dari kayu. Alat itu punya dua lubang besar di kedua ujungnya dan tujuh atau sembilan pasang lubang kecil yang terletak sejajar sepanjang tubuhnya. Biji buah asam Jawa (Tamarindus Indica) atau kulit lokan cowrie dimasukkan ke dalam lubang-lubang itu. Itulah permainannya. Di Jawa Barat dan Jakarta, ini disebut congklak. Menurut Steward Culin, congkak ini tersebar luas di Asia dan Afrika, di tempat-tempat yang dipengaruhi kebudayaan Islam. Di Sri Lanka namanya canka, di Semenanjung Melayu disebut conkak, di Filipina cunkayon, dan di Afrika mankala. Ada beberapa fungsi permainan rakyat. Yang paling menonjol sudah tentu adalah fungsi rekreasinya. Fungsi ini menjadi sangat penting bagi petani pedesaan yang tinggal di pedalaman yang sangat terpencil dan kurang punya hiburan. Fungsi lain adalah sebagai media belajar, yang penting terutama bagi kanak-kanak. Permainan tanding yang bersifat keterampilan fisik, misalnya, berfungsi mengembangkan kecekatan gerak otot. Yang bersifat siasat berfungsi mengembangkan daya pikir. Itulah sebabnya orang tua Trunyan tidak segan-segan membimbing putra-putranya yang menginjak dewasa untuk belajar main judi - yang bersifat siasat, seperti permainan cekian dan dom. Fungsi lain adalah pedagogi, yang mendidik seorang anak, juga orang dewasa, menjadi orang sportif. Akhirnya, bagi masyarakat tertentu, permainan rakyat dapat juga berfungsi untuk mengambil hati serta menghibur roh-roh halus. Ini memang dari dunia sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus