Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

Riwayat Fosil Manusia Purba Tertua dari Bumiayu

Fosil di Bumiayu menunjukkan manusia purba Indonesia lebih tua dari perkiraan. Hasil penelitian Eugène Dubois ditinjau kembali.

23 Februari 2025 | 08.30 WIB

Fosil Pithecanthropus Erectus dalam pameran "Indonesia, The Oldest Civilization on Earth?: 130 Years After Pithecanthropus Erectus" di Museum Nasional, Jakarta, 20 Desember 2024. Tempo/Imam Sukamto
Perbesar
Fosil Pithecanthropus Erectus dalam pameran "Indonesia, The Oldest Civilization on Earth?: 130 Years After Pithecanthropus Erectus" di Museum Nasional, Jakarta, 20 Desember 2024. Tempo/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Temuan fosil di Bumiayu menunjukkan manusia purba Indonesia lebih tua dari perkiraan sebelumnya.

  • Kawasan situs Bumiayu di Jawa Tengah juga kaya akan fosil flora dan fauna purba.

  • Indonesia dipandang sebagai “teater dinamika perkembangan manusia”.

SISA-SISA hujan membuat beberapa titik jalan menuju Kawasan Stasiun Lapangan Situs Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, becek dan terendam air pada Senin, 20 Januari 2025. Lokasi itu terletak sekitar 10 kilometer dari jalan raya nasional yang menghubungkan Kota Tegal, Bumiayu, dengan Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Situs ini mendadak menjadi terkenal setelah ditemukannya fosil manusia purba tertua di Indonesia pada 2019. Fosil ini lebih tua dari Pithecanthropus erectus atau Manusia Jawa, fosil terkenal yang ditemukan paleontolog Belanda, Eugène Dubois, di Desa Trinil, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, pada 1890. Fosil temuan Dubois kini dibahas kembali dalam sebuah diskusi dan pameran fosil manusia purba di Museum Nasional Indonesia, Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Di kawasan Situs Bumiayu itu kini berdiri puluhan bangunan di area milik pemerintah daerah Brebes seluas sekitar 8 hektare di Dusun Maribaya, Desa Kalinusu, Kecamatan Bumiayu. Kawasan itu dipilih karena lebih-kurang berada di titik tengah Situs Bumiayu, yang luasnya 67,825 kilometer persegi.

Pembangunan kawasan stasiun penelitian itu masih dalam tahap akhir, antara lain berupa pemasangan instalasi listrik dan air. Hampir semua bangunan berbentuk persegi panjang berukuran sekitar 4 x 2,5 meter yang terbuat dari logam. Di sini nanti sebanyak 20 mahasiswa program magister dan doktoral akan melakukan penelitian selama enam bulan. Stasiun penelitian ini akan mampu menampung sekitar 50 mahasiswa serta beberapa peneliti dan dosen senior.

Proyek ini adalah program Riset dan Inovasi Indonesia Maju yang diadakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). “Program ini akan berlangsung lima-tujuh tahun ke depan. Setelah itu, kegiatan akan dipindahkan ke Bongal, Sumatera Utara, untuk meneliti jejak peradaban Islam pertama di Indonesia,” kata Muhammad Wildan Fadhillah, mahasiswa Program Studi Magister Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan koordinator pelestari Museum Purbakala Bumiayu.

Program ini merupakan program strategis BRIN untuk mengetahui jejak dan asal-usul manusia purba tertua di Indonesia yang bermula dari penemuan fosil oleh Karsono Haryo, pencari fosil dari Komunitas Museum Mini Buton (Bumiayu-Tonjong). Karsono menemukan dua bonggol proksimal tulang paha yang terendam air dan menyembul dari bebatuan di Sungai Bodas, Desa Bumiayu. Fosil itu berada di formasi Kali Glagah. “Fosil manusia purba itu diduga berusia 1,8 juta tahun,” ujar Wildan.

Program ini diadakan untuk memastikan kebenaran dugaan bahwa fosil ini merupakan fosil manusia purba tertua di Indonesia. Bila benar berusia 1,8 juta tahun, fosil itu lebih tua dari fosil Pithecanthropus erectus temuan Dubois yang diperkirakan berusia 1,3-0,9 juta tahun.

Setelah adanya temuan Karsono, Sofwan Noerwidi dan Harry Widianto, peneliti arkeologi BRIN, turun ke kawasan ini pada 2019. Mereka datang bersama peneliti dan ahli di bidang arkeologi, paleoantropologi, geologi, dan paleontologi, seperti Truman Simanjuntak, Gunadi Kasnowihardjo, Alifah, Agus Triharscaryo, Mirza Ansyori, dan Iwan Setiawan Bimas.

Tim Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta dibawah Koordinasi Harry Widianto dalam kegiatan ekskavasi di wilayah Tonjong di Tonjong, Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah. Dok.Balar DIY

Fosil temuan Karsono itu dinamai Bumiayu 310. Panjangnya 7,3 sentimeter dan berdiameter 2,7 sentimeter. Tidak dijumpai sisa anatomi pada fosil ini. Di Situs Bumiayu pula ditemukan fragmen tulang paha (caput femoris) yang diberi identitas sebagai spesimen Bumiayu 303 dan Bumiayu 311. Kondisinya hanya tersisa bagian kepala (caput) tulang paha dengan sedikit bagian leher (column) tanpa bagian tulang memanjangnya. Fosil ini menunjukkan secara kuat ciri-ciri hominid, nenek moyang manusia dan kera.

Dari hasil penelitian lebih lanjut, berdasarkan perbandingan ketebalan diafisis femur (tulang paha bagian tengah), spesimen Bumiayu 310 memiliki ukuran yang lebih tipis dari spesimen Kresna 11 dari Situs Sangiran di Jawa Tengah dengan ketebalan tulang kortikal 6,7 milimeter.

Penelitian Harry dan kawan-kawan menunjukkan bahwa spesimen Bumiayu 310 dipastikan sebagai sisa manusia, yang menunjukkan proses fosilisasi yang sempurna. Spesimen Bumiayu 303 dan 311 berasal dari lingkungan pengendapan yang sama, sementara Bumiayu 310 dari lingkungan pengendapan lain. “Sangat mungkin Bumiayu 310 merupakan Homo erectus tipik yang paling tua,” tuturnya dalam buku laporan penelitian Poros Bumiayu-Prupuk-Semedo: Migrasi Fauna dan Manusia Tertua di Pulau Jawa. Adapun bonggol Bumiayu 303 dan 311 merupakan Homo erectus yang lebih tua dibanding Bumiayu.

Dalam paleontologi dikenal tiga tingkat evolusi Homo erectus, yakni arkaik, tipik, dan progresif. Homo erectus arkaik berusia 1,5-1 juta tahun dengan kapasitas tengkorak kurang-lebih 900 sentimeter kubik. Homo erectus tipik berusia 0,9-0,3 juta tahun dengan kapasitas tengkorak 1.000 sentimeter kubik. Adapun Homo erectus progresif hidup pada 0,2-0,1 juta tahun lalu dengan kapasitas tengkorak sekitar 1.100 sentimeter kubik.

Penelitian tak berhenti pada fosil tersebut. Harry dan kawan-kawan juga menggali fosil-fosil lain di kawasan tersebut dan menemukan berbagai fosil fauna purba. Pembangunan stasiun penelitian di Bumiayu adalah upaya penelitian lanjutan. Harapannya, penelitian ini bisa menggali lebih banyak bukti arkeologis di kawasan tersebut.

Salah satu keunggulan yang dimiliki Situs Bumiayu, menurut Wildan Fadhillah, adalah terdapat fosil fauna yang tidak atau jarang ditemukan di situs-situs lain. Salah satunya gajah purba Sinomastodon bumiayuensis, yang disebut sebagai “Mona Lisa” di dunia paleontologi. Biasanya gajah memiliki gigi yang rata karena memakan tumbuh-tumbuhan, tapi Sinomastodon memiliki gigi yang runcing sehingga terkesan aneh. Di situs ini juga pernah ditemukan fosil kuda sungai kerdil. Fauna lain yang fosilnya pernah ditemukan adalah kura-kura raksasa berdiameter 2 meter, yang kini dipajang di Museum Geologi Bandung.

Temuan bonggol tulang paha dan fragmen tulang paha bagian tengah (yang mungkin berusia lebih muda dari temuan bonggol tulang paha) dari Homo erectus di situs Bumiayu. Bumiayu-Prupuk-Semedo Migrasi Fauna dan Manusia Tertua di Pulau Jawa

Fosil fauna purba itu tersebar di berbagai area sungai, seperti Kali Biuk dan Kali Glagah Atas. Mereka diperkirakan muncul lebih dini di Pulau Jawa, seperti gajah (Sinomastodon), kuda air (Hexaprotodon simplex), rusa, dan kura-kura raksasa (Geochelone). Setelah itu, hadir fauna lain seperti Stegodon dan Hexaprotodon sivalensis yang menggantikan Sinomastodon dan Hexaprotodon simplex. Kemudian muncullah kerbau, banteng, badak, dan buaya pada masa 0,8 juta tahun yang lalu.


**

BERBAGAI temuan arkeologis terbaru ini mendorong diskusi manusia purba di Indonesia. Salah satunya mencuat dalam diskusi publik “Penemuan Pithecanthropus Erectus Dubois dari Trinil: Menguak Misteri Evolusi Manusia” di Museum Nasional Indonesia pada Senin, 17 Februari 2025. Diskusi ini mendampingi pameran “Indonesia, The Oldest Civilization on Earth?: 130 Years After Pithecanthropus Erectus” di museum itu yang berlangsung pada 20 Desember 2024-20 April 2025.

Pameran ini untuk pertama kalinya memamerkan fosil-fosil “premium” dari bumi Nusantara, terutama dari Jawa, seperti tengkorak Sangiran 17 dengan kapasitas otak 900 sentimeter kubik yang disimpan di Museum Geologi Bandung dan tiga fosil lain yang tersimpan di Museum Sangiran. Tulang kering dari Situs Ngandong, Blora, Jawa Tengah, yang ditemukan pada 1932 dan diperkirakan berusia 0,1 juta tahun, juga dipajang.

Ada pula tengkorak FZL 1-2 yang ditemukan di Jawa Timur yang berusia 0,6-0,8 juta tahun dengan kapasitas otak 600-800 sentimeter kubik. Ia menyerupai Homo erectus dari Trinil. Tengkorak Ngawi 1 yang berusia 0,1-0,25 juta tahun juga dipamerkan. Tengkorak-tengkorak ini bersanding dengan sebuah tengkorak koleksi Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang belum diteliti lebih lanjut.

Selama ini masyarakat pada umumnya hanya dapat menyaksikan replika fosil-fosil tersebut. Pameran ini untuk pertama kalinya memberi kesempatan kepada masyarakat untuk menyaksikan fosil aslinya. Selain memamerkan fosil manusia purba, pameran itu menampilkan fosil hewan-hewan purba, seperti potongan rahang harimau, tanduk kerbau, bagian tempurung kura-kura raksasa, dan gading Stegodon, juga beberapa peralatan batu manusia purba.

Pameran ini sekaligus bertujuan memperingati penemuan fosil Pithecanthropus erectus oleh Eugène Dubois di masa penjajahan Belanda. Fosil Pithecanthropus erectus, yang dikenal sebagai Manusia Jawa, bersama Homo wajakensis hingga kini masih tersimpan di Museum Naturalis, Belanda.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut pameran ini sebagai ajang pembuktian bagi dunia bahwa Indonesia menjadi tempat terbanyak temuan fosil purba dibanding negara-negara lain. “Setidaknya 65 persen temuan fosil manusia dan hewan purba di dunia ada di Indonesia,” ujarnya dalam pembukaan pameran. Ia menyebutkan hampir dari 700 lukisan purba berusia puluhan ribu tahun juga ditemukan di taman arkeologi di Sulawesi.

Harry Widianto menilai peran Eugène Dubois tak lepas dari pendahulunya, Charles R. Darwin, penyusun teori evolusi. Darwin berkomunikasi dengan Alfred Russel Wallace, yang sedang berada di Ternate pada saat itu. Dari penelitian Wallace, tergambarkan keanekaragaman hayati flora dan fauna yang kaya di kawasan Hindia Belanda. Ada indikasi migrasi hewan-hewan ini dari barat ke timur yang berhenti di Sulawesi karena Sulawesi berdiri sendiri dengan keunikan keanekaragaman hayatinya. Sementara itu, wilayah timur mempunyai korelasi keanekaragaman hayati hingga ke daerah Australia. Ketika Darwin melakukan penelitian, muncullah penelitian Thomas H. Huxley tentang kemiripan anatomi manusia dengan simpanse. “Teori Darwin meledak di Eropa dan membuat geger. Ditambah lagi dengan hasil penelitian Huxley. Di situlah muncul missing link. Tapi tidak ada itu manusia muncul dari kera. Manusia ya manusia, kera ya kera,” tutur Harry.

Pengunjung melihat diorama manusia prasejarah dalam pameran “Indonesia, The Oldest Civilization on Earth?: 130 Years After Pithecanthropus Erectus” di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, 20 Desember 2024. Antara/Muhammad Adimaja

Missing link adalah konsep tentang “mata rantai yang hilang” dalam evolusi dari kera ke manusia. Dubois terobsesi oleh konsep ini dan datang ke Nusantara dengan data dari Wallace. Dengan kapal SS Princess Amalia, pada 1887 ia tiba dan mengeksplorasi gua-gua di Payakumbuh, Sumatera Barat, dan hanya menemukan fosil Homo sapiens.

Ketika mendengar berita mengenai temuan fosil Manusia Wajak di Jawa pada 1891, datanglah ia ke sana dan ikut mengeksplorasi daerah Ngawi. Di sanalah ia menemukan fosil yang sangat arkaik: tempurung tengkorak berkapasitas otak 900 sentimeter kubik. Tempurung ini panjang di depan tapi pendek di belakang dan ada tonjolan di kening. Dia juga menemukan tulang paha yang mencirikan manusia yang berdiri tegak dan tangan yang bebas. “Barulah dia mengumumkan bahwa ia menemukan mata rantai yang hilang dari teori Darwin, Pithecanthropus erectus,” kata Harry.

Sayangnya, temuan Dubois tak dipercayai para ilmuwan. “Dia sampai merasa frustrasi hingga menyimpan lagi temuannya di bawah tanah sampai lebih dari 20 tahun,” ujar Harry. Baru setelah ditemukan fosil sejenis di Cina, Sinanthropus pekinensis pada 1920-an, Dubois mulai percaya diri. Ia kembali menunjukkan temuannya.

Dalam diskusi di Museum Nasional, Harry menghubungkan temuan Dubois dengan perjalanan manusia purba dari Afrika pada 1,5 juta tahun lalu dan bergerak saat zaman es, yang dikenal sebagai teori “Keluar dari Afrika”. Selama itu, Harry memaparkan, mereka berevolusi, dari yang arkaik, tipik, hingga progresif sampai akhirnya menjadi Homo erectus yang ada di Jawa, yang punah 150 ribu tahun lalu dan digantikan oleh Homo sapiens atau manusia modern.

Harry menjelaskan, Homo erectus adalah hominin berciri bipedal, berdiri dengan kaki. Yang tertua ada di Afrika dan diperkirakan berusia 7 juta tahun, yakni Australopithecus afarensis. Mereka menurunkan Homo habilis di Afrika, lalu Homo erectus pada 1,5 juta tahun lalu. Homo erectus, Harry menerangkan, adalah hominin yang mampu keluar dari Afrika. Perjalanan pertama sampai ke Eropa, Cina, dan Asia Tenggara, termasuk Jawa, dikategorikan sebagai “Keluar dari Afrika” babak pertama. Di Afrika sendiri Homo erectus berevolusi dan keluar lagi hingga mencapai Amerika dan Australia dan akhirnya pada 150 tahun ribu tahun lalu berevolusi menjadi Homo sapiens. “Afrika itu mesin yang paling efektif untuk menghasilkan manusia modern,” tuturnya.

Sementara itu, Sofwan Noerwidi mengulik ratusan fosil gigi dan rahang manusia purba dan mendapat banyak informasi tentang identitas mereka, dari aspek biologis, penyakit, komposisi demografi, hingga kebudayaan. Dari pola aus atau kerusakan gigi untuk mengunyah, perbandingan morfologi, juga proporsi metrik dan geometrik serta morfometrik, dia bisa membedakan jenis manusia purba berdasarkan zamannya. “Mulai dari Meganthropus, Wajak, Homo erectus Sangiran, sampai Homo sapiens bisa dibedakan dengan jelas. Melihat gradasi reduksi dari yang kuno hingga modern,” ujarnya.

Empat fosil tengkorak asli Homo erectus dalam pameran “Indonesia, The Oldest Civilization on Earth?: 130 Years After Pithecanthropus Erectus” di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, 20 Desember 2024. Tempo/Imam Sukamto

Sofwan menduga pada zaman es, ketika muncul jembatan darat antarbenua, terjadi migrasi besar-besaran sehingga memungkinkan adanya saling pengaruh di antara mereka. Hal ini terlihat dari perbandingan morfologi gigi antara manusia purba di Asia daratan dan kepulauan. Ia juga melihatnya dari bentuk rahang beberapa manusia purba yang memberikan informasi lebih lanjut.

Sofwan menuturkan, peristiwa geologi telah membuat hominin dipaksa berdiri dan berjalan tegak. Implikasinya, tangan menjadi bebas untuk mengambil kayu dan batu untuk menciptakan alat. Hal itu juga mengubah karakter mereka dari pengamat menjadi pemburu sehingga panas matahari yang sebelumnya diterima punggung kemudian hanya diterima bagian kepala. Pithecanthropus erectus, dia menjelaskan, bukan lagi hasil evolusi, melainkan revolusi. “Berdiri tegak itu ada konsekuensinya, tidak hanya secara biologis, tapi juga kultural.”

Teori “Keluar dari Afrika” juga dikuatkan oleh paparan Herawati Sudoyo, mantan peneliti di lembaga Biologi Molekul Eijkman dan peneliti di Mochtar Riady Institute for Nanotechnology. Dia mempertajamnya dengan ilmu kedokteran bahwa manusia purba dari Afrika ditemukan melalui genetika mitokondria ibu yang diturunkan ke anak. “Ini dari melacak perjalanan perempuan yang melakukan migrasi. Nah, untuk laki-laki dilacak dari DNA (asam deoksiribonukleat) kromosom Y,” kata Herawati dalam diskusi di Museum Nasional Indonesia.

Dari penelitian DNA hasil kolaborasi para peneliti di 10 negara Asia diketahui bahwa DNA manusia Indonesia sangat beragam dan berasal dari banyak nenek moyang. Manusia Indonesia, Herawati mengungkapkan, juga memiliki DNA arkaik, yang terutama terlihat pada manusia di Nusa Tenggara Timur hingga Papua. Data genom dari Indonesia, menurut dia, memperlihatkan pentingnya Indonesia sebagai “teater dinamika perkembangan manusia”.â—Ź

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah Manusia Purba dari Bumiayu 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus