Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

Alasan Fosil Manusia Jawa Belum Pulang ke Indonesia

Upaya memulangkan fosil Pithecanthropus erectus belum berhasil. Museum Belanda mempertanyakan keabsahan permintaan repatriasi.

23 Februari 2025 | 08.30 WIB

Proses unboxing replika fosil Homo Wajakensis yang dikirim dari Belanda di kantor Bappeda Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Antara/HO - Joko Pramono
Perbesar
Proses unboxing replika fosil Homo Wajakensis yang dikirim dari Belanda di kantor Bappeda Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Antara/HO - Joko Pramono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Museum Naturalis Belanda masih enggan memulangkan fosil Pithecanthropus erectus.

  • Direktur Museum Naturalis menilai fosil Manusia Jawa bukan obyek budaya yang harus direpatriasi.

  • Ahli paleontologi Eugène Dubois mengoleksi sekitar 40 ribu fosil dari Jawa.

SUDAH lama pemerintah Indonesia meminta Belanda memulangkan fosil manusia purba Pithecanthropus erectus, fosil asal Desa Trinil, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, yang ditemukan paleontolog Belanda, Eugène Dubois, sekitar 1890. Puluhan tahun berlalu, tapi fosil paling tersohor di dunia yang dijuluki Manusia Jawa itu tak kunjung kembali ke kampung halamannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

“Permintaan repatriasi dari Indonesia ini masih diproses,” kata Chantal Tjin, juru bicara Komite Koleksi Kolonial, melalui surat elektronik kepada Tempo, Rabu, 15 Januari 2025. “Untuk menerbitkan anjuran yang saksama, Komite bertumpu pada masukan dari berbagai pihak dan pakar.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Komite Koleksi Kolonial dibentuk oleh pemerintah Belanda pada 2022 untuk memberi masukan tentang rencana pengembalian obyek cagar budaya Indonesia yang diboyong ke Belanda pada masa penjajahan. Pada pertengahan tahun tersebut, pemerintah Indonesia, yang diwakili Komite Repatriasi Koleksi Asal Indonesia di Belanda, meminta sejumlah obyek warisan budaya sejak era kolonial yang tersimpan di Belanda itu dikembalikan.

Yang paling memicu kontroversi adalah permintaan pengembalian koleksi Eugène Dubois, yang memboyong banyak artefak, termasuk fosil Pithecanthropus erectus, pada akhir abad ke-19. Penelitian Dubois terhadap fosil tersebut, yang berupa tengkorak, gigi, dan tulang paha, menghasilkan teori bahwa Manusia Jawa adalah missing link dalam evolusi karena bentuknya yang bukan kera ataupun manusia, melainkan perpaduan keduanya. Fosil itu kini diperkirakan berusia 1,3-0,9 juta tahun. Saat itu Dubois menyebutnya Pithecanthropus erectus—yang berarti manusia kera yang berdiri—tapi belakangan para ilmuwan mengelompokkannya dalam jenis Homo erectus.

Museum Naturalis, tempat fosil itu disimpan, termasuk pihak yang tidak antusias menyambut rencana repatriasi benda purba ini. Pada 2022, museum yang berlokasi di Kota Leiden ini didera kritik setelah menyatakan bahwa koleksi fosil mereka tidak bisa disamakan dengan obyek seni yang dijarah karena, antara lain, fosil diambil di alam bebas dan dikumpulkan demi ilmu pengetahuan. Saat itu, di ruangan tempat fosil tersebut ditampilkan, tak ada keterangan soal kolonialisme.

Setelah itu, terjadi beberapa perubahan. Pada Juli 2023, Museum Naturalis mencanangkan kerja samanya dengan Komisi Repatriasi Indonesia untuk menjajaki kemungkinan pengembalian tiga obyek utama Pithecanthropus erectus. Dalam kunjungan Tempo ke museum itu pada Senin, 20 Januari 2025, pada poster di pintu masuk ruangan Manusia Jawa tertulis keterangan “Dalam ruangan ini Anda melihat fosil-fosil yang digali di Indonesia pada abad ke-19 semasa zaman kolonial”. Lewat kode respons cepat di poster tersebut, pengunjung bisa membaca keterangan tentang latar belakang kolonial koleksi Dubois. Topik ini, yang absen pada awal 2023, juga disebut dalam film pendek tentang Dubois dan penemuan fosil Manusia Jawa di ruang pameran.

“Naskah film ini memang telah disesuaikan setelah adanya permintaan repatriasi dari Indonesia,” ucap Bart Braun, juru bicara Museum Naturalis. “Topik tentang pekerja paksa kini lebih mendapat perhatian.”

Fosil asli Pithecanthropus erectus di pameran 'Dubois' di Museum Nasional Sejarah Alam 'Naturalis' di Leiden, Belanda. Wikimedia Commons/Peter Maas

Direktur Museum Naturalis Edwin van Huis tampak masih enggan melepaskan koleksi yang dia sebut “obyek alami terpenting di Belanda” itu. “Coba kita jajaki dengan saksama: apa kerangka hukum pengembalian obyek jarahan? Dan apakah itu juga berlaku untuk koleksi Dubois?” tuturnya kepada harian de Volkskrant pada pengujung 2024.

Van Huis merujuk pada dasar repatriasi obyek budaya yang mengatakan bahwa “sisa-sisa manusia harus dikembalikan tanpa syarat”. Dia menilai Pithecanthropus erectus bukan fosil manusia. “Dia adalah monyet yang berjalan tegak, bukan leluhur langsung manusia.”

Ketika Tempo meminta wawancara dengan Edwin van Huis, Kepala Komunikasi Naturalis Karin Huntjens menekankan bahwa museumnya telah memberi sudut pandang lewat artikel di de Volkskrant. “Kami tidak akan memberi wawancara lebih lanjut tentang hal ini,” tulisnya melalui surat elektronik pada Selasa, 14 Januari 2025.

Manusia Jawa adalah bagian dari sekitar 40 ribu fosil koleksi Eugène Dubois yang dia dapatkan di Jawa lewat pekerja paksa. Dubois sedang mencari fosil di Sumatera ketika dia menerima kiriman tengkorak yang tidak sengaja ditemukan oleh B.D. van Rietschoten saat sedang mencari marmer di sekitar Wajak, Tulungagung, Jawa Timur, pada 1888. Dubois lalu pergi ke Jawa dan mulai melaksanakan penggalian di sekitar Wajak dan menemukan sejumlah fosil lain yang di kemudian hari dikenal sebagai Homo wajakensis atau Manusia Wajak. Setelah itu, Dubois meneruskan penjelajahannya ke lokasi-lokasi lain sepanjang Sungai Bengawan Solo, termasuk Desa Trinil tempat fosil Manusia Jawa ditemukan.

Manusia Wajak, yang diperkirakan berusia 40 ribu tahun, kalah populer dibanding Manusia Jawa. “Manusia Jawa adalah fosil Homo erectus pertama yang ditemukan dan sampai sekarang masih dijadikan rujukan dalam bidang ini,” tutur Fenneke Sysling, dosen Institut Sejarah Universiteit Leiden.

“Setahu saya, tengkorak ini (Manusia Wajak) tidak pernah dipamerkan,” ucap Karin Huntjens. Huntjens juga menginformasikan bahwa pada 2022 Museum Naturalis membuat replika fosil tengkorak Manusia Wajak untuk Bupati Tulungagung.

Walaupun Manusia Wajak tidak disebut secara rinci, fosil ini adalah bagian dari koleksi Dubois yang diminta kembali oleh Komite Repatriasi Indonesia. Pada 1951, Menteri Hukum Muhammad Yamin menyebut Homo wajakensis sebagai obyek budaya yang harus dipulangkan dari Belanda ke Indonesia. Apabila Belanda memutuskan mengembalikan Manusia Jawa, Fenneke Sysling menjelaskan, tidak ada alasan untuk tidak memulangkan fosil Manusia Wajak.

Hal lain yang digarisbawahi oleh Edwin van Huis adalah pentingnya Manusia Jawa dalam sejarah ilmu pengetahuan dan budaya Belanda. Dengan fosil ini, dia menerangkan, Dubois memperkuat teori evolusi Darwin, yang bertolak belakang dengan kepercayaan Gereja Kristen tentang asal-usul manusia. “Fosil ini menjadi obyek budaya,” ujar Van Huis. “Menurut saya, ada argumen kuat tentang makna tengkorak ini untuk Belanda. Namun kita tidak tahu bagaimana Indonesia mengartikan makna tersebut.”

Sysling masih bisa mengikuti jalan pikiran Van Huis tentang pengertian “sisa-sisa manusia” karena secara harfiah Homo erectus memang bukan manusia. Namun argumen bahwa makna budaya fosil Manusia Jawa bagi Belanda bertumpu pada penelitian Dubois, menurut dia, terasa timpang. “Tanpa fosil yang dia ambil dari Indonesia, Dubois juga tidak akan bisa melaksanakan penelitiannya.”

Jos van Beurden, peneliti koleksi budaya kolonial di Vrije Universiteit, Amsterdam, bersikap lebih tegas. “Walaupun mungkin bukan obyek, bahkan bukan sisa-sisa manusia, tengkorak itu tetap merupakan warisan budaya Indonesia yang tidak dilepaskan secara sukarela,” ucapnya. “Karena itu, Indonesia-lah yang patut mengayominya.”

Komite Koleksi Kolonial harus mengevaluasi penelitian asal-usul Manusia Jawa sebelum memberi masukan kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda. Kementerianlah nanti yang akan mengambil keputusan akhir mengenai permintaan repatriasi itu. “Kami tidak bisa memberi ancar-ancar kapan saran tersebut akan diterbitkan,” kata Chantal Tjin.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Manusia Jawa Belum Juga Pulang

Linawati Sidarto

Linawati Sidarto

Kontributor Tempo di Eropa

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus