Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA resepsionis perempuan berkimono krem menyapa setiap pelanggan yang masuk Clinique Suisse, Kamis siang, 28 November lalu. Berada di lantai 6 Wisma Keiai, Jalan Sudirman, Jakarta Pusat, klinik kecantikan dan kesehatan itu menawarkan berbagai pelayanan kesehatan dan kecantikan, seperti penyamakan kulit, sedot lemak, dan detoksifikasi. Di dalamnya ada sejumlah ruangan yang dileng-kapi tempat tidur.
General Manager Clinique Suisse Ste-phanie Elysia mengatakan, sejak tahun lalu, kliniknya menyediakan pelayanan digital subtraction angiography (DSA) dan intra-arterial heparin flushing (IAHF). “Metode dokter Terawan,” ujar Stephanie melalui telepon sehari sebelum Tempo bertandang ke klinik tersebut. Dokter Terawan Agus Putranto, kini Menteri Kesehatan, memperkenalkan metode IAHF atau “cuci otak” dengan cairan heparin pada 2004. Metode ini dipersoalkan koleganya di Ikatan Dokter Indonesia.
Saat menjadi Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto pada 2015-2019, letnan jenderal purnawirawan itu terkena sanksi dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran karena dituding mengiklankan diri secara berlebihan dengan klaim tindakan untuk pengobatan dan pencegahan. Terawan pun dianggap menarik biaya tinggi dari terapi yang belum teruji itu. Pasal 3 ayat 17 Kode Etik Kedokteran Indonesia menyebutkan dokter seyogianya tak menarik honorarium dalam jumlah yang tak pantas dan bertentangan dengan rasa perikemanusiaan. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian sementara dari keanggotaan IDI selama satu tahun dan pencabutan rekomendasi izin praktik.
Menurut Stephanie, kliniknya -mulai melayani terapi DSA dan IAHF setelah kerja sama dengan RSPAD dimulai pada November tahun lalu. Dia tak memperso-alkan berbagai kontroversi tentang me--tode Terawan tersebut. Terapi itu, kata Stephanie, bisa mencegah penyakit. “Sudah ada kajiannya. Why not?” ujarnya. Menolak menyebutkan identitas pemilik Clinique Suisse, Stephanie menyatakan Terawan memiliki kedekatan dengan bosnya. Akta pendirian Clinique Suisse menunjuk-kan perusahaan itu dimiliki warga Singapura dan beberapa penduduk Indonesia.
Meskipun melayani DSA dan IAHF, Clinique Suisse tidak menggarap tindakan medis. Stephanie berujar, klinik itu hanya menyediakan jasa wisata medis. Misalnya mengatur jadwal pasien untuk menjalani DSA dan “cuci otak” di RSPAD serta meng-urus penginapan dan wisata di Indonesia. Sedangkan untuk urusan DSA dan IAHF, tim dokter RSPAD-lah yang melayani. Stephanie mengatakan kliniknya lebih berfungsi memberikan kenyamanan bagi orang asing untuk berobat. “Mungkin mereka agak takut ke negara asing untuk tindakan medis,” ucapnya.
Tak hanya melayani pasien dari Indonesia, Clinique Suisse juga melirik pasien asal Vietnam. Sebab, kata Stephanie, perekonomian Vietnam terus berkembang. Saat acara penandatanganan kerja sama itu, klinik tersebut menargetkan bisa mendatangkan seribu pasien dari Vietnam untuk menjalani terapi. Bahkan Clinique Suisse juga menjalin kerja sama dengan pemerintah Vietnam. Duta Besar Vietnam untuk Indonesia, Pham Vinh Quang, hadir dalam acara tersebut.
Hingga Jumat, 29 November lalu, Kedutaan Besar Vietnam belum memberikan jawaban terhadap permintaan wawancara yang dilayangkan Tempo dan Tirto. Dokter Staf Ahli Kepala RSPAD, Taruna Ikrar, membenarkan kabar bahwa Clinique Suisse bekerja sama dengan rumah sakitnya untuk pelayanan DSA dan IAHF. “Vietnam salah satu negara yang ada hubungan kerja sama hospital to hospital untuk DSA dan IAHF melalui Clinique Suisse,” ujar Taruna.
Pasien dari Vietnam, kata Stephanie, harus membayar lebih mahal daripada pasien lokal. Dia enggan menyebutkan fulus yang harus dirogoh pasien asing. Dalam brosur yang tersedia di ruang central venous catheters RSPAD, biaya yang dikeluarkan untuk satu pasien mulai Rp 59,1 juta hingga Rp 61,7 juta. Jumlah itu merupakan akumulasi biaya sejumlah tahap pengobatan yang dijalani pasien, dari pemeriksaan sampai perawatan pasca--tindakan.
Klinik itu hanya menyediakan jasa wisata medis. Misalnya mengatur jadwal pasien untuk menjalani DSA dan “cuci otak” di RSPAD serta mengurus penginapan dan wisata di Indonesia. Sedangkan untuk urusan DSA dan IAHF, tim dokter RSPAD-lah yang melayani.
Menurut Stephanie, pasien dari Vietnam harus menunggu sekitar satu pekan sebelum menjalani pengobatan di RSPAD dan mesti menginap dua-tiga hari selama terapi berlangsung. Stephanie mengklaim, pasien asal Vietnam mengalami perubahan di tubuhnya. “Ada yang melihat lebih jelas, tapi semua itu tergantung tubuh pasien,” katanya.
Namun, satu tahun setelah kerja sama dengan RSPAD berjalan, jumlah pasien asal negara itu belum mencapai seribu orang. Terawan berkata sebaliknya, yakni target seribu pasien telah tercapai. Dalam wawancara khusus dengan Tempo, Rabu, 20 November lalu, Terawan mengklaim metode terapinya ikut menyukseskan program pemerintah untuk menaikkan turis wisata medis.
Terawan juga mengklaim ada 3.000 pasien dari Malaysia yang kini antre untuk menjalani “cuci otak” di RSPAD. “Tanpa aku ngomong ke mereka, sudah terjadi efek karambol,” ujar Terawan, mengacu pada permainan menyentil cakram plastik kecil di meja kayu dengan empat lubang. Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Zainal Abidin Bakar, mengaku tidak mengetahui informasi tersebut. “Saya tidak punya informasi itu,” ucapnya, Kamis, 28 November lalu.
Taruna Ikrar mengatakan pernah mendampingi Terawan saat melakukan terapi “cuci otak” terhadap salah satu warga Malaysia pada Agustus lalu. Ketika itu, menurut ahli neurosains ini, pasien asal negeri jiran yang mengeluh di bagian mata tersebut langsung berkata ada perubahan setelah diterapi. “Penglihatannya lebih cerah,” ujar profesor dari The National Health University, California, tersebut.
Di samping dari Vietnam dan Malaysia, kata Taruna, beberapa warga negara lain tertarik menjadi pasien terapi “cuci otak” di RSPAD, di antaranya dari Jerman, Turki, Hong Kong, Singapura, dan Filipina. Menurut Taruna, metode Terawan ini menjadi daya tarik bagi pasien dari negara asing karena sudah ada beberapa pemimpin negara yang diterapi. Namun Taruna menolak menyebutkan identitas mereka.
Ihwal biaya yang tinggi, Terawan menyangkal hanya memikirkan bisnis. Dia menyatakan hanya menjalankan tugas medis. Dokter, kata Terawan, harus bertindak dan berpikir untuk kepentingan sosial. Terawan justru menilai mereka yang mempersoalkan biaya itu terusik karena terapi “cuci otak” mampu menda-tangkan duit besar. Menurut Taruna Ikrar, hasil dari biaya terapi “cuci otak” merupakan pendapatan terbesar bagi RSPAD setiap bulan. “Bisa menutupi jalannya kegiatan di saat adanya utang BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan,” ujarnya.
HUSSEIN ABRI DONGORAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo