Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Aturan Sebelas Menteri Menuai Kritik

PEMERINTAH menerbitkan surat keputusan bersama sebelas menteri terkait dengan penanganan radikalisme di kalangan aparatur sipil negara (ASN).

30 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Spanduk peringatan nilai-nilai radikalisme di Malioboro, Yogyakarta, 2018. ANTARA/Andreas Fitri Atmoko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam aturan tersebut, ada sebelas kriteria pelanggaran ASN yang bisa diadukan melalui portal Aduanasn.id.

Penerbitan surat ini ditentang sejumlah lembaga. Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Choirul Anam, khawatir aturan itu akan menjerat aparat sipil yang kritis terhadap pemerintah. “Surat keputusan bersama itu rawan disalahgunakan,” ucap Anam di Jakarta, Senin, 25 November lalu. Dia juga mempersoalkan pasal yang menyamakan Pancasila, konstitusi, dan pemerintah.

Pendiri Lokataru Foundation, Haris Azhar, menilai aturan tersebut sebagai bentuk justifikasi untuk mengatakan seorang pegawai pemerintah yang kritis memiliki paham radikal. Dia khawatir kritik terhadap pemerintah bisa dianggap sebagai perbuatan radikal. Dari sisi mekanisme, surat ini juga menafikan peran lembaga pengawas pemerintah seperti Ombudsman RI, inspektorat kementerian, dan Komisi Aparatur Sipil Negara. Apalagi, menurut Haris, tak ada ruang bagi terlapor untuk memberikan klarifikasi.

Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya Fadli Zon menilai keputusan ini mencerminkan ketakutan pemerintah terhadap umat Islam. Dia menilai kriteria untuk menyebut seorang pegawai pemerintah masuk kategori radikal juga tak jelas. Adapun Sekretaris Kabinet Pramono Anung membantah jika pemerintah disebut antikritik dengan keluarnya peraturan ini.

Alasan keluarnya aturan ini, kata Pramono, adalah kebencian menjadi konsumsi sehari-hari di ruang publik. “Harus dibedakan antara kritik dan ujaran kebencian,” ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut.

 

Sebelas Jenis Pelanggaran

SURAT keputusan bersama sebelas menteri diperkirakan berdampak negatif pada demo­krasi. Berikut ini pelanggar­an yang bisa dituduhkan terhadap aparat sipil negara.

 

1. Berpendapat di media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah.

2. Berpendapat di media sosial yang memuat ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras, dan golongan.

3. Menyebarluaskan ujaran kebencian dalam poin 1 dan 2 melalui media sosial, seperti melakukan share, broadcast, upload, retweet, dan repost.

4. Membuat berita yang menyesatkan.

5. Menyebarluaskan berita yang menyesatkan secara langsung atau melalui media sosial.

6. Mengadakan kegiatan yang mengarah pada perbuatan meng­hina, menghasut, mem­pro­vokasi, dan membenci Pan­casila, UUD 1945, Bhinneka Tung­gal Ika, NKRI, dan pemerintah.

7. Mengikuti atau menghadiri ke­­giatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.

8.Menanggapi atau mendukung pendapat yang terkait de­­ngan poin 1 dan 2 dengan mem­beri­kan like, dislike, love, re­tweet, atau comment di media sosial.

9. Menggunakan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.

10. Melecehkan simbol-simbol negara baik secara langsung maupun melalui media sosial.

11. Perbuatan dalam poin 1-10 dilakukan secara sadar oleh aparat sipil.

 


 

NU dan PKB Dukung Presiden Dipilih MPR

PARTAI Kebangkitan Bangsa dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendukung rencana pemilihan presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Jazilul Fawaid, berupaya agar usul itu diterima delapan fraksi dan perwakilan Dewan Perwakilan Daerah. “Kalau semua fraksi menerima, PKB berhasil meyakinkan apa yang menjadi rekomendasi PBNU,” katanya, Kamis, 28 November lalu.

Usul itu berembus ketika Ketua MPR Bambang Soesatyo bersafari ke PBNU pada Rabu, 27 November lalu. Bambang mendapat masukan ihwal pemilihan presiden dari Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj. Said menilai pemilihan presiden oleh MPR lebih bermanfaat ketimbang pemilihan langsung oleh rakyat. “Pilpres langsung itu high cost, terutama cost sosial. Ada konflik yang sangat mengancam dan mengkhawatirkan,” ucap Said.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menyebut usul pemilihan presiden oleh MPR sebagai langkah mundur ke zaman Orde Baru. Dia menilai tak ada alasan mendesak kembali ke sistem pemilihan lawas.

 


 

Dok. TEMPO/Aditya Herlambang Putra

 

Grasi Jokowi untuk Annas

PRESIDEN Joko Widodo memberikan grasi kepada bekas Gubernur Riau, Annas Maamun, 79 tahun, terpidana kasus korupsi alih fungsi lahan di Provinsi Riau. Jokowi beralasan, grasi diberikan berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Jokowi mengklaim mempertimbangkan sisi kemanusiaan terkait dengan usia Annas.

“Dari kacamata kemanusiaan itu diberikan,” kata Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat, Rabu, 27 November lalu. Jokowi menampik anggapan bahwa pemberian grasi ini menunjukkan pemerintah tak berkomitmen memberantas korupsi. Menurut dia, pemerintah tidak selalu mengabulkan grasi yang diminta koruptor.

Dengan pemberian grasi, hukuman Annas berkurang dari tujuh tahun menjadi enam tahun penjara. Dia akan bebas pada 3 Oktober 2020. Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, kecewa terhadap langkah Jokowi. “Sedari awal Presiden sama sekali tidak memiliki komitmen antikorupsi yang jelas.”

 


 

Dana Desa Mengalir ke KKB

KEPALA Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal Paulus Waterpauw mengatakan ada indikasi dana desa di Papua digunakan untuk membantu kelompok kriminal bersenjata (KKB). Akibatnya, para kepala desa atau pemimpin kampung tidak lagi membangun daerahnya dengan menggunakan dana desa.

“Indikasi itu kami temukan di lapangan,” ujarnya, Selasa, 26 November lalu. Paulus tidak menjelaskan letak desa yang menyalurkan dana desa ke KKB. Ia mengingatkan, jika hal itu tidak segera diubah, kepolisian akan bertindak tegas.

Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Kepolisian RI Komisaris Besar Asep Adi Saputra mengatakan kepolisian sedang melakukan penyelidikan bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Papua ihwal dugaan penyelewengan dana desa. “Kami masih menunggu penyelidikan,” tuturnya. 

 


 

Sejumlah siswa mengikuti ujian nasional berbasis komputer di Sekolah Menengah Atas Negeri 8 Jakarta, April 2018. TEMPO/Muhammad Hidayat

 

Ujian Nasional Akan Dihapus

KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan sedang menggodok rencana penghapusan ujian nasional. “Sedang kami kaji, ditunggu saja kabarnya,” ujar Menteri Pendidikan Nadiem Makarim, Kamis, 28 November lalu.

Sekretaris Badan Standar Nasional Pendidikan Arifin Junaidi mengatakan saat ini ada dua pilihan yang berkembang, yakni menghapus atau melanjutkan ujian nasional. Ada kemungkinan ujian nasional dijalani siswa kelas II sekolah menengah pertama atau kelas XI sekolah menengah atas. “Saat ini belum ada yang final,” katanya.

Pakar pendidikan dari Center for Education Regulation and Development Analysis, Indra Charismiadji, mendukung wacana penghapusan ujian nasional. “Selama ini ujian nasional gagal menjadi tolok ukur untuk melihat kualitas siswa,” ucapnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus