Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Layuh Sebelum Berkembang

Metode “cuci otak” yang dilakukan Terawan Agus Putranto tak melulu berhasil. Ada efek plasebo.

30 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gerard Liew di ruang operasi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Januari 2015. Dok Pribadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR lima tahun lalu, Awang Faroek Ishak -kerap mengeluh badannya lemas. Setelah disarankan bebera-pa koleganya, Gubernur Kali-man--tan Timur 2008-2018 itu datang berobat ke dokter Terawan Agus Putranto di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto pada 9 Oktober 2014. Di RSPAD, Awang menjalani metode “cuci otak” atau intra-arterial he-parin flushing (IAHF).

Tiga hari setelah menjalani perawatan di RSPAD, Awang masih bisa menghadiri acara Panglima TNI Award di Markas Besar Tentara Nasional Indonesia di Cilangkap. Tapi, tak lama kemudian, kondisinya menurun. Ia tak bisa berjalan dan mesti menggunakan kursi roda. Padahal, sebelum menjalani terapi, ia masih bisa berjalan. “Katanya, motorik saya terganggu, kaki dan tangan kiri saya,” ujar anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai NasDem ini melalui telepon, Rabu, 27 November lalu.

Menurut Awang, Terawan tak meng-anjurkan dia menjalani terapi IAHF lagi. Terawan, kata Awang, menyarankan dia mengikuti terapi transcranial magnetic stimulation (TMS). Terapi ini biasa digunakan untuk mengatasi gangguan neuro-logis yang meliputi stroke hingga ganggu-an memori. Awang berujar, Terawan menyatakan TMS perlu dijalani selama sepuluh kali.

Sampai saat ini, Awang masih menggu-nakan kursi roda. Keluhannya masih sa-ma, badan lemas. Tapi ia meyakini kemam-puan kognitifnya masih prima. -“Makanya saya menjadi anggota DPR, masih bisa berpikir dan berjuang,” katanya.

Dayang Donna Faroek, putri Awang, mengatakan ayahnya pernah terserang stroke sebelum berobat ke RSPAD. Menurut Donna, terapi “cuci otak” bukanlah satu-satunya faktor yang membuat ayahnya hingga kini masih menggunakan kursi roda. “Sebetulnya terapi dokter Tera-wan bagus, tapi kondisi tiap orang berbe-da-beda. Bapak memang perlu terapi terus, tapi karena kesibukan kadang enggak terapi,” ujar Donna.

Agar bisa mengikuti terapi di RSPAD, kata Donna, pasien mesti antre hingga berminggu-minggu. Tapi -rekomendasi da-ri presiden keenam, Susilo Bambang Yu--dhoyono, membuat Awang tak perlu antre lama. Pasien Terawan berasal dari berbagai kalangan, mulai pejabat hingga peng-usaha, seperti Aburizal Bakrie, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, serta Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud Md.

Terapi IAHF tak melulu berkhasiat. Sa-rah Diana, kemenakan pengusaha asal Singapura, Gerald Liew, mengatakan kondisi pamannya justru berubah total dari sebelumnya bugar. Pada Januari 2015, Ge-rald, yang saat itu sedang berkunjung ke Jakarta untuk urusan bisnis, diajak kawannya berobat ke Terawan. Setelah dilakukan pemeriksaan, kata Sarah, Tera-wan menyebutkan Gerald mengalami penyumbatan di pembuluh darah.

Gerald langsung setuju ketika Terawan menawarinya mengikuti terapi IAHF. Tujuannya adalah mencegah potensi stroke berkembang lebih besar. Selang dua hari, Gerald masuk ruang perawatan. “Dengan biaya sekitar Rp 150 juta,” ujar Sarah.

Namun, setelah perawatan itu, tubuh Gerald malah layuh. Menurut Sarah, yang menemani pamannya, Terawan menyebutkan terjadi pergeseran koil—kawat tipis yang berfungsi mencegah pembuluh darah pecah. Koil yang ditanam di otak Gerald bergeser dan merusak sebagian jaringan. Gerald kembali masuk ruang perawatan. Kali itu, dia menjalani operasi hingga tujuh jam. Tapi hasilnya nihil. Tubuhnya lumpuh total.

Kembali ke Singapura, Gerald menja-lani perawatan intensif di rumah sakit. Perlahan, ia bisa berbicara sedikit-sedikit walau tak maksimal. Sebagian anggota tubuhnya juga mulai bisa bergerak seka-lipun ia mesti duduk di kursi roda. Sarah mengatakan dokter di Singapura yang merawat menyatakan Gerald lumpuh akibat menjalani terapi “cuci otak”.

Menurut Sarah, keluarga Gerald amat sedih dan terpukul. Meski begitu, keluarganya memilih tak menuntut Terawan. “Kami sadar diri siapa beliau dan paman saya adalah warga negara asing,” ujar -Sarah. “Aku masih ingat, setelah operasi, dokter Terawan bilang dia jenderal. Dia bilang dia enggak mencari uang dan ini hanya untuk charity.” Sebagai dokter militer, Terawan masuk Tim Dokter Kepresidenan pada 2009 dan menjabat Kepala RSPAD pada 2015-2019.

Terawan membantah tudingan bahwa metodenya membuat kondisi pasien memburuk. Menurut dia, ada prosedur yang harus dilewati sebelum pasien menjalani “cuci otak”. Pasien harus berkonsultasi dan diperiksa lebih dulu. “Kami jelaskan kondisinya, apa keuntungan dan kerugiannya. Apakah peluangnya naik 5 persen, 70 persen, atau 100 persen, itu dikemukakan,” ujar Menteri Kesehatan ini. Ihwal kondisi Gerald yang memburuk, Terawan membantah itu terjadi karena “cuci otak”. “Justru kami menyelamatkan dia. Itu kan pemasangan koil. Ternyata koilnya lari sendiri. Jadi karena kualitas koilnya sendiri. Itu sebuah accident.”

Awang Faroek Ishak di Istana Merdeka, Jakarta, Mei 2015. Dok TEMPO/Aditia Noviansyah

Keberhasilan “cuci otak” diakui peng-usaha sekaligus pendiri Museum Rekor-Dunia Indonesia, Jaya Suprana. Menjajal terapi ala Terawan dua tahun lalu, Jaya menilai metode “cuci otak” berefek positif. Menurut dia, pengobatan itu dia jalani sebagai upaya preventif dari serangan stroke. Sebelum terapi dimulai, Jaya mesti melewati berbagai pemeriksaan, seperti magnetic resonance imaging, saraf, dan jantung. Tak sampai setengah jam, terapi itu rampung. “Badan enteng dan segar,” ujar Jaya.

Dokter spesialis jantung Hamed Oemar menilai sensasi rasa bugar setelah terapi IAHF adalah semu. Dalam pengobatan alternatif, kata Hamed, pasien tak lepas dari efek plasebo. Ini adalah efek kesembuhan palsu yang dirasakan pasien yang timbul dari keyakinan dan harapan untuk sembuh. Hamed menuturkan, efek plasebo tak hanya terjadi dalam kasus terapi IAHF, tapi juga berlaku pada pengobatan alternatif lain.

“Untuk pengobatan yang tidak berdasarkan bukti medis, hasil yang dirasakan pasien pasti akibat efek plasebo,” ujar spesialis penyakit jantung dan pembuluh darah lulusan Hiroshima University, Jepang, itu. Pengobatan ala Terawan dinilai banyak dokter belum berdasarkan bukti medis .Terawan terkena sanksi dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran karena di-nyatakan mengiklankan diri secara berlebihan dengan klaim tindakan pengobatan dan pencegahan atas metode yang belum teruji secara klinis.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko sudah dua kali mencoba metode IAHF. Dalam percobaan pertama pada 2018, ia merasa badannya menjadi lebih seimbang. “Mungkin karena faktor usia, saya merasa keseimbangan berkurang. Saya berkonsultasi dan dieksekusi dokter Terawan, lalu hasilnya tak apa-apa. Itu bukan ngawur-ngawuran,” ujar Moeldoko, 7 April 2018. Tapi, belakangan, ia tak merasakan perubahan apa pun. “Biasa saja,” kata Moeldoko pada 22 November lalu.

DEVY ERNIS, RAYMUNDUS RIKANG

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Devy Ernis

Devy Ernis

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, kini staf redaksi di Desk Nasional majalah Tempo. Memimpin proyek edisi khusus perempuan berjudul "Momen Eureka! Perempuan Penemu" yang meraih penghargaan Piala Presiden 2019 dan bagian dari tim penulis artikel "Hanya Api Semata Api" yang memenangi Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Alumni Sastra Indonesia Universitas Padjajaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus