Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sanksi Nihil Dokter Tentara

Presiden Joko Widodo memilih Terawan Agus Putranto menjadi Menteri Kesehatan meski dia pernah dijatuhi sanksi etik pencabutan izin praktik. Terawan dianggap melanggar sejumlah pasal dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia terkait dengan praktik intra-arterial heparin flushing alias “cuci otak”. Tim yang dibentuk Kementerian Kesehatan pun merekomendasikan penghentian metode tersebut. Namun praktik “cuci otak” terus berjalan sampai sekarang. Sanksi etik berupa pencabutan keanggotaan dan izin praktik pun tak pernah mendera Terawan. Tempo dan Tirto.id berkolaborasi menelusuri lagi kejanggalan metode dan disertasi Terawan.

30 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto setelah mengunjungi kantor pusat BPJS Kesehatan di Jakarta, Oktober 2019. ANTARA /Nova Wahyudi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERAWAN Agus Putranto mengibaratkan hubungan-nya dengan para -pengurus Ikatan Dokter Indonesia seperti anak dalam keluarga. Ketika bertemu dengan para sejawatnya di kantor IDI pada 30 Oktober lalu, Menteri Kesehatan itu berseloroh bahwa anggota keluarga yang nakal biasanya paling disayangi. Terawan meminta para pengurus IDI mau menerimanya meski dia anak yang paling beling alias nakal.

Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia David S. Perdanakusuma, yang hadir dalam pertemuan selama lebih dari satu jam itu, membenarkan adanya dialog tersebut. “Pak Menteri berupaya mencairkan suasana selama pertemuan berlangsung,” kata David saat dihubungi pada Kamis, 28 November lalu. David mengungkapkan, Terawan juga meminta para koleganya mendukung program Kementerian Kesehatan.

Dalam wawancara khusus dengan Tempo pada Rabu, 20 November lalu, Terawan mengaku tak punya persoalan dengan IDI. Namun letnan jenderal purnawirawan itu menyinggung keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), salah satu badan otonom IDI, tentang praktik intra-arterial heparin flushing (IAHF) alias “cuci otak” yang dikerjakannya di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. Terawan menggunakan metode tersebut untuk mengobati penderita stroke. “Pendekatan kekuasaan tak bisa untuk hal yang sifatnya etik,” ujar Terawan.

Sekitar satu setengah tahun sebelum Terawan menjadi menteri, hubungannya dengan IDI memanas. Majelis Etik mencabut keanggotaan dokter spesialis radiologi itu dari IDI selama 12 bulan. Surat Majelis bertarikh 12 Februari 2018 itu menyebutkan Terawan melanggar empat prinsip dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia: mengiklankan diri secara berlebih-an, tak memenuhi panggilan Majelis sebanyak delapan kali, menarik bayaran dari tindakan yang belum terbukti secara medis, dan menjanjikan kesembuhan bagi pasien IAHF. Majelis juga menjatuhkan sanksi pencabutan rekomendasi izin praktik Terawan.

Keputusan Majelis dikirim antara lain ke Markas Besar TNI Angkatan Darat. Ketua MKEK 2015-2018, Prijo Sidipratomo, bercerita bahwa Majelis mengirimkan salinan putusan tersebut karena Kepala Staf TNI Angkatan Darat saat itu, Mulyono, sempat meminta Majelis berkoordinasi dengannya sebelum mengambil keputusan. Tak memenuhi permintaan itu, Prijo langsung memberi tahu Mulyono soal sanksi untuk Terawan. “Beliau cukup kaget dengan keputusan kami,” ujar Prijo, dokter spesialis radiologi.

Mulyono tak menjawab permintaan wawancara yang dikirim melalui surat ke rumahnya di Cibubur, Jakarta Timur. Ia pun tak mengangkat telepon dan tak membalas pesan pendek. Ketika praktik Terawan dipersoalkan pada April 2018, Mul-yono mengatakan IDI seharusnya tak serta-merta menjatuhkan sanksi. “Dokter Terawan itu kan institusi. IDI enak sekali menjatuhkan hukuman, aku disuruh hadir. Memangnya siapa?” katanya di Istana Negara. Mulyono juga membantah berkomunikasi dengan IDI soal nasib Terawan.

Keputusan Majelis juga dikirim ke Pengurus Besar IDI. Wakil Ketua Umum MKEK Pukovisa Prawiroharjo menjelaskan, keputusan diserahkan ke pengurus pusat agar diteruskan ke IDI DKI Jakarta dan IDI Jakarta Pusat serta Dinas Kesehatan DKI. Dalam tata tertib IDI, sanksi etik biasanya dieksekusi pengurus cabang sambil berkoordinasi dengan pengurus wilayah. “Tapi surat kami tak ditindaklanjuti,” kata Pukovisa.

Ketua IDI DKI Jakarta Slamet Budiarto mengaku tak pernah menerima pemberi-tahuan tentang sanksi untuk Terawan. Dia pun menyatakan belum pernah diajak berdiskusi oleh pengurus IDI Jakarta Pusat yang berwenang mengeksekusi sanksi. Kepala Dinas Kesehatan DKI Widyastuti menyatakan hal serupa. “Kami menunggu surat IDI saja,” katanya.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto melakukan kunjungan kerja ke Rumah Sakit Umum Daerah Dok II Jayapura, Papua, 27 November 2019. Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Alih-alih memerintahkan pengurus cabang mengeksekusi sanksi, Ketua Umum IDI 2015-2018, Ilham Oetama Marsis, justru membuat forum yang mengundang Terawan di Hotel Borobudur, Jakarta, pada pekan pertama April 2018. Marsis mengatakan pertemuan itu dibuat karena Terawan belum mendapat kesempatan membela diri. Ditemani empat perwira tinggi TNI AD, Terawan menjawab semua tudingan selama hampir setengah jam. Pada waktu itu, menurut Marsis, Terawan tak membantah metode IAHF berbiaya mahal dan belum teruji secara klinis.

Pertemuan di Hotel Borobudur itu berakhir dengan konferensi pers. IDI berjanji meneliti bukti-bukti prosedur “cuci otak” yang bakal diserahkan Terawan sebelum mengambil keputusan. Membawa hasil pertemuan ke pengurus pusat, Marsis merekomendasikan eksekusi sanksi etik terhadap Terawan ditunda hingga Muktamar IDI di Samarinda, Kalimantan Timur, pada 23-28 September 2018. Marsis mengatakan penundaan itu dilakukan untuk mengulur waktu sambil menunggu sikap Kementerian Kesehatan tentang “cuci otak”.

Sepekan sebelum muktamar, Marsis justru melayangkan surat ke Terawan. Isi surat itu menerangkan bahwa sanksi etik yang diketuk Majelis Kehormatan Etik delapan bulan sebelumnya mulai berlaku pada tanggal yang tertera dalam surat itu, yakni 16 Oktober 2018. Menurut Marsis, ia menulis surat itu untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya di hadapan peserta muktamar.

Sanksi terhadap Terawan dibahas dalam sejumlah kesempatan di muktamar. Pukovisa Prawiroharjo, dokter spesialis saraf sekaligus Sekretaris MKEK 2015-2018, yang hadir dalam muktamar, mengatakan Marsis menyinggung polemik Terawan dalam pidato pembukaan. Pukovisa bercerita, Marsis meminta maaf karena masalah Terawan menjadi kemelut di dalam organisasi. Ketika Majelis Etik bersidang, pesertanya juga menyatakan sanksi Majelis pada Februari 2018 segera diberlakukan.

Seusai rapat akbar IDI di Samarinda, eksekusi sanksi Terawan masih berkabut. Pukovisa mengatakan Majelis Etik da-lam rapat bersama pengurus IDI pada Juni 2019 mempertanyakan sanksi terhadap Terawan yang tak pernah dieksekusi. Waktu itu, pimpinan pengurus pusat berjanji meminta pengurus wilayah dan cabang menjalankan rekomendasi yang diterbitkan Majelis. “Dari database yang ka--mi kumpulkan, Pak Terawan masih aktif sebagai anggota Ikatan,” kata -Pukovisa.

Tak tersentuh sanksi, Terawan malah diusulkan menjadi guru besar tidak tetap di Universitas Sebelas Maret (UNS) Sura-karta. “Prosesnya masih panjang, tapi kami berharap beliau bisa mengajar di kampus ini jika sudah dikukuhkan,” ujar Rektor UNS Jamal Wiwoho, Kamis, 28 November lalu.

 

KONTROVERSI metode intra-arterial heparin flushing yang dikerjakan Terawan merembet hingga ke Dewan Perwakilan Rakyat. Pada April 2018, Komisi Kesehatan DPR menggelar rapat dengar pendapat mengenai terapi “cuci otak”. Setelah mendengarkan penjelasan sejumlah pihak, termasuk IDI dan Kementerian Kesehatan, Senayan mendesak pemerintah mengkaji keamanan metode IAHF.

Menteri Kesehatan 2014-2019, Nila Djuwita Moeloek, kemudian membentuk tim Satuan Tugas Penyelesaian Permasalahan Pelayanan Kesehatan dengan Metode Intra-Arterial Heparin Flushing sebagai Terapi. Diketuai Sukman Tulus Putra, dokter spesialis anak, tim Satgas bertugas mene-liti metode IAHF dari sisi ilmiah, hukum, teknik medis, dan etika kedokteran.

Tim Satgas bekerja mengumpulkan literatur ilmiah yang berhubungan dengan IAHF. Dua anggota Satgas yang ditemui Tempo secara terpisah membenarkan info bahwa tim tak menemukan satu pun lite-ratur yang menunjukkan terapi IAHF mampu mengobati stroke. Literatur tentang metode itu hanya ditemukan di dua jurnal Indonesia dan disertasi Terawan di Universitas Hasanuddin. Penulis dua jurnal itu pun Terawan sendiri.

Mengkonfirmasi sejumlah temuannya, tim Satgas mengundang Terawan ke kantor Kementerian Kesehatan, sekitar Juni 2018. Ditemani seorang perwira berseragam militer, Terawan dalam pertemuan itu meminta bimbingan tim Satgas untuk memahami metode penelitian. Ia juga mengakui telah menjalankan terapi IAHF terhadap 4.000 pasien sebelum mengambil program doktoral di Universitas Hasanuddin.

Bekerja selama dua bulan, tim Satgas akhirnya merekomendasikan dua hal: IAHF dihentikan dan dilakukan peneliti-an untuk memperoleh bukti keamanan serta efektivitas terapi itu dalam meng-obati stroke. Rekomendasi itu diserahkan kepada Nila Moeloek. Menurut anggota Satgas, Nila menyatakan hasil kerja mereka sangat komprehensif.

Sekitar tiga bulan kemudian atau 16 Oktober 2018, Nila bersurat ke Kepala Staf TNI Angkatan Darat. Dalam layang bernomor YR.06.03/Menkes/622/2018, ia menerangkan telah mempertimbangkan rekomendasi Satgas dan memutuskan metode IAHF dapat dilakukan dalam rangka pe--nelitian berbasis pelayanan—poin rekomendasi yang tak tertulis dalam laporan akhir tim Satgas. Nila juga menyebutkan RSPAD wajib mengajukan proposal penelitian dan melaporkan secara berkala hasil penelitian tersebut.

Namun dua pejabat Kementerian mengatakan, hingga Nila digantikan Tera-wan, proposal dan hasil penelitian tak pernah mereka terima. Pejabat yang mengetahui pengambilan keputusan itu menjelaskan, Nila ingin menjaga hubungan lembaganya dengan TNI Angkatan Darat sehingga mengajukan surat yang lebih lunak ketimbang usul Satgas. Jika “cuci otak” hendak dipertahankan, kata pejabat itu, Terawan harus mengerjakan riset step by step.

Nila tak sepakat suratnya ke Kepala Staf TNI AD disebut bertolak belakang dengan rekomendasi Satgas. Menurut dia, Kementerian berupaya bertindak santun dalam menyikapi polemik metode “cuci otak”. “Saya menghormati teman sejawat dan memilih tidak memutuskan dan mengumumkan masalah itu di depan publik,” ujar Nila di rumahnya di Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa, 26 November lalu.

Terawan justru mengatakan Nila tak melarang metode IAHF. “Saya diminta research by services, artinya servis boleh jalan terus,” katanya. Terawan mengklaim telah menghasilkan sejumlah publikasi ilmiah yang berhubungan dengan metode IAHF.

Meski sudah dilarang, prosedur IAHF di RSPAD Gatot Soebroto terus berjalan. Fino Saputra, bukan nama sebenarnya, mengaku baru menjalani prosedur “cuci otak” di RSPAD pada akhir September lalu. Pria yang terkena stroke itu mengaku sempat melihat Terawan mengawasi anak buahnya menjalankan metode IAHF di ruang operasi. “Dia membimbing anak buahnya,” ujar Fino, yang harus merogoh kocek lebih dari Rp 60 juta untuk sekali “cuci otak”. Terawan mengakui sesekali masih mengawasi praktik IAHF di RSPAD.

Tempo mencoba mendaftar sebagai pasien terapi IAHF. Resepsionis di RSPAD menyebutkan pasien harus antre hingga tiga hari sebelum masuk ruang operasi. Ada tiga tahap dalam terapi, dari -konsultasi, pemindaian pencitraan resonansi magnetik (MRI), hingga prosedur IAHF yang menginjeksikan heparin ke pembuluh darah. Kisaran biaya untuk terapi itu mulai Rp 59 juta hingga Rp 61 juta. Kepala Hubungan Masyarakat RSPAD Mayor Siregar membenarkan kabar bahwa rumah sakit tersebut masih melayani “cuci otak”.

Meyakini Terawan melanggar kode etik, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo, akhir September lalu. Isinya meminta Jokowi tak memilih Terawan karena dia diputuskan melanggar kode etik. Meski metode Terawan penuh kontroversi, Presiden Jokowi tetap memilih dia sebagai Menteri Kesehatan. Jokowi menilai Terawan memiliki manajemen yang baik saat di RSPAD. “Menterinya harus memiliki pengalaman manajemen yang baik. Saya melihat dokter Terawan dalam me-ngelola RSPAD memiliki kemampuan itu.”

RAYMUNDUS RIKANG, DEVY ERNIS, HUSSEIN ABRI DONGORAN, VINDRY FLORENTIN, AHMAD RAFIQ (SURAKARTA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus