Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH piala kecil tersimpan di lemari komposer gamelan Rahayu Supanggah di kediamannya di Solo, Jawa Tengah. Panggah-demikian sapaannya-diganjar sebagai pemenang Best Original Score Helpmann Awards kategori Industry untuk tahun 2017. Helpmann Awards merupakan penghargaan tahunan dari sebuah lembaga di Australia untuk karya industri pertunjukan yang ditampilkan di sana sepanjang tahun.
Bersama Iain Grandage, konduktor Melbourne Symphony Orchestra, Panggah dinobatkan sebagai pemenang berkat karya kolaborasi mengiringi langsung film bisu Setan Jawa yang diputar di festival seni budaya Asia-Pacific Triennial of Performing Arts (Asia TOPA) di Melbourne, Australia, Februari tahun lalu.
Kolaborasi Panggah dan Grandage, yang memadukan kreasi gamelan dan orkestra, mengalahkan nomine lain di kategori tersebut, seperti karya Ancient Rain oleh Paul Kelly dan Camille O’Sullivan bersama Feargal Murray; The Book of Mormon oleh Trey Parker, Matt Stone, dan Robert Lopez; serta duo Rully Shabara dan Wukir Suryadi dari Senyawa. Seharusnya Panggah datang langsung ke Australia untuk menerima penghargaan bergengsi itu. Namun, lantaran kesehatan pria 68 tahun itu makin turun sejak dua bulan lalu, ia pun urung pergi. "Akhirnya piala ini dikirim ke rumah," kata Panggah, yang belum pulih benar saat ditemui Tempo di rumahnya, Ahad pekan lalu.
Tempo menyaksikan langsung performansi Panggah dalam world premiere Setan Jawa di Melbourne tahun lalu. Sebelumnya, Panggah mengiringi pemutaran film tersebut di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada September 2016, yang kala itu murni gamelan tanpa orkestra. Inilah keunggulan karya Panggah. Komposisi besutannya tetap dahsyat, baik saat dimainkan oleh pemusiknya sendiri maupun ketika berkolaborasi dengan kelompok musik lain di tempat mana pun film Setan Jawa sedang diputar. Ini pula salah satu alasan yang membuat Tempo akhirnya menobatkan Rahayu Supanggah sebagai tokoh seni pertunjukan pilihan Tempo 2017.
Setan Jawa adalah film bisu, tanpa dialog, tanpa musik latar. Film itu terbagi dalam tujuh bagian. Untuk mengisi tiap adegan, Rahayu Supanggah diminta Garin mengiringi langsung film tersebut. Dari bagian satu ke bagian lain, Panggah membuat komposisi yang kaya, tidak membosankan, dan penuh lapis-lapis. Hampir di tiap bagian Panggah menyelipkan kejutan, tapi dari bagian satu ke bagian lain nyambung, mengalir, dan tidak terputus-putus.
Di satu bagian, misalnya, menonjolkan kuntulan-rebana Banyuwangian-di bagian lain kor vokal putri. Panggah banyak menggunakan vokal kor putri (Peni Candra Rini, Deny Wulandari, dan Dita Intawati) serta putra (Darsono dan Wahyu Sastro Sukarno). Berbagai karakter kor dipakai, dari karakter uran-uran vokal Banyuwangian sampai vokal Tulungagungan. Tatkala mengekspresikan setan-setan yang kalap, Panggah menggunakan vokal raksasa pewayangan Bali, yang disuarakan I Ketut Saba. Ia juga menggunakan mantra-mantra.
Dalam membuat komposisinya, meski dasarnya bertolak dari khazanah musikal gamelan Solo-Yogyakarta, Panggah mencampuradukkan berbagai khazanah gamelan, dari Jawa Timuran, Banyumasan, Bali, sampai Jawa Barat. Dia juga memasukkan unsur bebunyian Asia lain, seperti klintingan dan mangkuk Tibet.
Wawasan Panggah yang kaya akan materi bunyi-bunyian gamelan di pelosok Nusantara adalah kunci yang membuat komposisi Panggah terasa kompleks, segar, dan dalam. Itu juga kunci yang membuat Panggah sangat luwes dan berani terbuka mengkolaborasikan komposisinya dengan musik apa pun. Bahkan, apabila ada grup musik rock ataupun jazz di festival-festival mancanegara yang bersedia berkolaborasi dengannya mengiringi langsung Setan Jawa, ia pun tak gentar. Sendi-sendi dasar dan otot-otot komposisinya kuat untuk berjumpa dan bersinergi dengan musik apa pun.
Panggah menganggap kolaborasi harus penuh unsur saling menerima dan memberi. Tatkala berkolaborasi dengan Melbourne Symphony Orchestra, sementara orkestra menjadi bagian utama, gamelan berperan sebagai background atau lanskap. Demikian juga sebaliknya. "Kami mencari nada yang kira-kira bisa nyerempet," ujar Panggah. Ia sadar musik Barat yang diatonis lebih bisa serasi dengan laras pelog. Sementara itu, perasaan-perasaan mengambang di film lebih cocok diwakili laras slendro, yang sukar diikuti musik Barat. "Di gamelan, ada nada-nada yang nggandul (menggandul) atau nungkak (mendahului), sedangkan musik orkestra punya presisi yang selalu tepat. Ini yang harus diakali," ujar Panggah.
Saat tampil di Melbourne, keseluruhan musikus Melbourne Symphony Orchestra yang dikomandani konduktor Iain Grandage adalah 20 musikus orkestra. Sama dengan jumlah musikus gamelan yang dibawa Panggah. Ternyata kolaborasi ini mampu saling menguatkan serta memperkuat ketegangan dan keselarasan. Panggah dan Iain Grandage mampu mengawinkan musik yang biasanya tak menyatu itu. Walhasil, komposisi Panggah-Iain Grandage bisa menjadi pertunjukan sendiri yang layak dinikmati.
Ini bukan kolaborasi pertama Garin dengan Panggah. Panggah pernah juga diminta mengerjakan musik untuk film Opera Jawa. "Sudah lebih dari 10 tahun kami bekerja bersama," tuturnya. Bedanya, saat Opera Jawa, Panggah membuat komposisi musik dulu baru kemudian diedit dan dijahit Garin. Kali ini, Panggah mendapat kebebasan lebih luas. "Garin hanya memberikan arahan secara garis besar," ujar penerima penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010 itu.
Ia pun meminta Garin menyelesaikan syuting film lebih dulu. Panggah menunggui dan menyaksikan semua proses pengambilan gambar dari awal hingga selesai. Semua gerak ia amati secara detail, lalu ia terjemahkan dalam komposisi musik gamelan. Setelah film selesai, Panggah dan asistennya, Setyawan Jayantoro, menyaksikan kembali film itu secara utuh di Melbourne. Dari situ, ia makin mematangkan komposisi dengan partitur gamelannya. Butuh waktu lama juga untuk membongkar-pasang partitur yang akan mengiringi film sepanjang 70 menit tersebut. "Kira-kira enam bulan baru selesai," ujar peraih penghargaan Komposer Musik Terbaik dalam SACEM Festival Film di Nantes, Prancis, pada 2006 ini.
Komposisi itu lalu diuji coba dan dimainkan orkestra Gamelan Garasi Seni Benowo pimpinan Supanggah di Solo, Jawa Tengah. Karena harus diselaraskan dengan adegan film, pasukan Panggah pun berlatih dengan partitur yang disertai storyboard urutan foto setiap adegan. Komposisi dan partitur inilah yang menjadi platform utama, sekalipun dalam proses nantinya berbagai instrumen musik akan ditambahkan untuk memperkaya. Misalnya saat Panggah hendak menambahkan unsur musik gaya Banyuwangi demi memperkuat karakter film. Untuk adegan di pasar tempat orang ramai menjajakan jampi-jampi, Panggah memasukkan musik kuntulan Rebana dari Banyuwangi. Tambahan itu tidak merusak partitur utama yang telah dibuat. "Musik Banyuwangi itu memiliki warna yang magis dan sakral," katanya.
Setan Jawa menceritakan alam magic realism ala Garin Nugroho tentang dunia klenik Jawa di era kolonial. Cerita terdiri atas tujuh babak tentang Setio (Heru Purwanto), seorang pemuda miskin yang jatuh cinta kepada gadis ningrat bernama Asih (Asmara Abigail). Lamaran Setio ditolak lantaran ia miskin. Ia kemudian menggadaikan hidupnya dengan meminta bantuan Setan Pesugihan (Luluk Ari Prasetyo) agar mendapat kekayaan dalam waktu singkat. Tentu saja perjanjian dengan iblis itu punya konsekuensi panjang dan suram. Sejak menit awal sampai terakhir, adegan film bisu hitam-putih ini terus-menerus memberi ketegangan dan kejutan visual.
Musik Rahayu Supanggah mampu menghidupkan suspense dalam film itu. Suara vokal bersama timpani bergemuruh saat tangan Setio berdarah. Saat kamera menyorot ibu-ibu yang berjalan sedikit membungkuk (konon karena membopong tuyul tak kelihatan), para musikus gamelan melantunkan tembang Ana Kidung Rumeksa ing Wengi, yang dalam khazanah Jawa dianggap sebagai jopa-japu ampuh ajaran Sunan Kalijaga mengusir jin. Ana kidung rumeksa ing wengi, teguh hayu luputa ing lara, luputa bilahi kabeh, jim setan datan purun, paneluhan tan ana wani….
Gamelan Ana Kidung Rumeksa Ing Wengi sendiri dipilih Panggah sebagi pengiring adegan pembuka film tatkala Setan Jawa diputar di Jakarta. Akan halnya di Melbourne, unsur orkestra diberi kesempatan lebih dulu pada prolog film. Walhasil, pertunjukan Panggah pun punya warna berbeda ketika dipentaskan di lokasi berbeda.
Menurut Panggah, konsep musik yang dimainkan secara langsung saat pemutaran film itu sangat diapresiasi penonton di berbagai negara tempat Setan Jawa dipentaskan. Padahal, bagi pengrawit, konsep sejenis sudah jamak dilakukan. "Ini kan nyaris sama saat pengrawit mengiringi pementasan wayang kulit," ujarnya. Dalam pertunjukan wayang kulit, musik gamelan bukan sekadar pengiring tempelan, tapi juga menyatu dengan dialog-dialog dan adegan tokoh wayang.
Meracik musik gamelan untuk pengiring film juga bukan hal baru bagi Panggah. Hal yang sama dia lakukan sekitar tiga dekade lalu saat mengambil program doktoral di Universite de Paris. Di Paris, Prancis, banyak seniman yang membuat proyek pembuatan film eksperimental. Dan Panggah sering terlibat sebagai penata musik. "Perkembangan film di sana luar biasa," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo