Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kristal-kristal Pecah: Dari Sartono Ke Imam Samudra

Buku disertasi Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, dan catatan harian Imam Samudra, menjadi dua teks penting di balik penciptaan karya Jompet Kuswidananto berjudul On Paradise, yang disajikan di Museum of Contemporary Arts Grand-Hornu, Belgia.

14 Januari 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEGITU masuk ke ruangan luas temaram di salah satu bagian museum, kita melihat pemandangan yang tak biasa. Lampu kristal antik berserakan. Tak terhitung jumlahnya. Kristal Eropa yang berantakan di lantai itu banyak yang terputus. Seolah-olah lampu-lampu aristokratik dan mahal tersebut habis jatuh, runtuh. Ada yang masih tergantung tapi terasa hanya sebagai sisa-sisa dari sebuah kekacauan.

Sayup-sayup terdengar suara senandung yang perih dari pojok. Senandung itu datang dari sebuah video yang ditembakkan di dinding. Video itu menampilkan gambar semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Suasananya kelabu. Bila kita dengar, benar-benar aneh nyanyian itu. Isinya menyerukan suatu panggilan jihad. Liriknya menyatakan bahwa Israel dan Amerika adalah musuh selamanya. Mati di surga melawan mereka adalah sebuah keutamaan. Menghanyutkan sekaligus menakutkan.

Di samping video itu ada sebuah instalasi berupa "menara lampu antik". Suatu lampu antik putih sangat mewah berdiri kokoh tinggi sekali dengan susunan bersaf-saf. Di sekelilingnya ada sejumlah tambur. Tambur-tambur itu pada setiap waktu tertentu secara otomatis berbunyi sendiri. Dag, dag, dag....

Mulanya ketiga karya yang disajikan dalam rangka Festival Europalia Indonesia di Belgia ini terasa terpisah. Apa hubungannya panggilan jihad dengan pecahan lampu kristal? Apa hubungannya seruan memerangi Israel dan Amerika dengan hancurnya kristal-kristal mewah? Juga apa hubungannya senandung kafir dengan menara kristal dan suara drum yang berbunyi sendiri?

Baru setelah menyimak dua "kitab" besar yang diletakkan di meja dekat instalasi serakan kristal, kita tahu hubungannya. Kitab buatan Jompet Kuswidananto itu dikesankan kuno. Kitab tersebut diberi judul Sunda Straits Miracles 1850-1888. Halamannya memakai kertas daur ulang. Untuk membuka halaman-halaman kitab, kita diwajibkan menggunakan kaus tangan. Seolah-olah kertas-kertas itu begitu sangat rapuh.

Kitab itu sendiri berisi gambar-gambar sablon yang menampilkan rekaman gejala-gejala alam aneh yang terjadi di Banten pada 1850-1888. Di Banten pada tahun-tahun itu, seperti diinformasikan gambar, terjadi peristiwa tatkala penduduk bangun pagi, di pintu muncul huruf-huruf tak terbaca yang ditulis dengan darah kambing. Selain itu, nisan-nisan di pekuburan terbakar sendiri dan tiba-tiba banyak anjing di makam-makam. Ribuan belalang entah dari mana muncul menimbulkan suara bising, juga ribuan burung aneh menyerbu pohon beringin tua di Serang. Lalu binatang-binatang ganjil melompat-lompat di perkebunan Banten. Siang mendadak gelap dan ada percikan api di langit. Pada malam hari, tampak sejumlah meteor melesat di langit.

Segera bagi yang pernah membaca buku disertasi Sartono Kartodirdjo, The Peasant’s Revolt of Banten in 1888 (Pemberontakan Petani Banten 1888), akan mafhum itu adalah "isyarat-isyarat eskatologis" yang dicandrakan warga Banten menjelang terjadinya pemberontakan. Disertasi Sartono menguraikan, menjelang kerusuhan tersebut, terjadi kekeringan, gagal panen, dan wabah ternak berkepanjangan di Banten. Warga melihat gejala-gejala alam aneh. Warga cemas dan percaya bahwa itu adalah tanda-tanda hari kiamat. Dan tanda terbesar adalah meletusnya Krakatau pada 1883.

Tanda-tanda itu memicu para kiai berkumpul. Mereka menganggap itu isyarat dari Tuhan agar kaum tani bersatu memerangi para kafir, yaitu orang Belanda. Salah satu tokoh ulama Banten, Haji Abdul Karim, sebelum berangkat ke Mekah, misalnya, dalam riset Sartono, mengumumkan kepada masyarakat bahwa begitu ia pulang ke Banten nanti, Imam Mahdi akan muncul. "Benar, gambar-gambar itu inspirasinya dari buku Sartono," kata Jompet Kuswidananto.

Dari buku Sartono, kita tahu, masyarakat Banten saat itu demikian melarat akibat kerja wajib dan pajak tanah kolonial. Para kiai desa di Banten yang karismatis lalu membentuk jaringan mempersiapkan sebuah gerakan perang Sabil atau Gerakan Ratu Adil. Gerakan itu dimatangkan selama empat tahun. Propaganda dan ajakan melawan kolonial disosialisasi secara sembunyi-sembunyi melalui pertemuan dan acara warga, seperti perkawinan dan sunatan. Momentum meledaknya pemberontakan ini adalah kepulangan Haji Marjuki dari Mekah pada 1887. Pada 1888, di segala penjuru Banten terjadi kerusuhan melawan Belanda dipimpin para ulama.

Haji Wasyid, Iskak, dan Tubagus Ismail di distrik Cilegon dan Kramat Watu, misalnya, memimpin para petani menyerang kekuasaan Belanda. Haji Asik, Haji Muhidin, dan Haji Abubakar menyerang distrik Serang, Ciruas, dan Ondarandir. Akan halnya Haji Marjuki dan Haji Asnawi melumpuhkan kekuasaan Belanda di Cikandi. Sedangkan Haji Sapiudin dan Haji Kasiman menduduki Anyer.

Salah satu gambar di kitab itu adalah gambar sebuah rumah kolonial yang runtuh. Lampu-lampu yang dimiliki rumah itu tampak jatuh. Melihat gambar-gambar tersebut, langsung instalasi kristal yang pecah mendapat konteksnya. Kita tahu lampu-lampu antik mewah berserakan yang menjadi pameran utama Jompet adalah alegori atas runtuhnya rumah-rumah pelaku imperialis akibat serbuan 1888.

Yang menarik, dalam kitab tersebut juga dipampangkan puisi-puisi seseorang menjelang hukuman mati. Larik puisi sekali lagi tentang panggilan jihad. Tangismu wahai bayi-bayi tanpa kepala Palestina karena bom Amerika memanggil-manggilku kemari.... Jiwaku tak lagi terkekang, kini bebas jihad, siap membunuh atau mati melawan kafir. Setelah puisi itu, ada sebuah gambar bangunan bertulisan "Sari Club". Di ilustrasi berikutnya, Sari Club digambarkan hancur. Menyaksikan dua gambar itu-meski tidak ada informasi apa pun-kita langsung menduga ini berkenaan dengan aksi pengeboman Imam Samudra di Bali. Ternyata memang betul demikian yang dimaksud Jompet. Yang mengejutkan, menurut Jompet, Imam Samudra mengaku sebagai salah satu keturunan para kiai yang terlibat dalam huru-hara 1888. "Dalam catatan hariannya, Imam Samudra mengaku cucu Kiai Wasyid," ucap Jompet.

Jompet memperlihatkan pasase pernyataan Imam Samudra yang berkaitan dengan itu kepada Tempo:

Dari garis ibu, alhamdulillah aku masih kecipratan turunan darah mujahid sekaligus ulama. Ulama sekaligus mujahid yang kumaksud adalah Ki (Kiai) Wasyid, salah seorang tokoh perlawanan masyarakat muslim Banten melawan penjajah Belanda.

Pada Senin, Juli 1888, terjadi peristiwa bersejarah yang amat terkenal di Banten. Masyarakat setempat menyebutnya peristiwa "Geger Cilegon". Jihad fi sabilillah melawan penjajah ini dipimpin langsung oleh Ki Wasyid. Beliau kemudian ditangkap Belanda. Jika dirunut, aku termasuk urutan cicit ketiga dari Ki Wasyid Rahimahullah.

Kami memilih On Paradise karya Jompet Kuswidananto sebagai karya terbaik seni rupa 2017 karena refleksi dan kritiknya yang dalam akan jihad kekerasan. Eksekusi visualnya sangat tak terduga. Ide menyajikan gunungan lampu kristal porak-poranda belum pernah ada dalam seni rupa kita. Jompet membawa lebih dari 100 lampu antik Eropa itu dari Yogyakarta. "Lampu kristal yang hancur bisa berarti sikap anti-kolonialisme, anti-borjuasi yang ada dari zaman ke zaman," katanya.

Jompet tidak pernah belajar seni rupa secara formal. Ia memperoleh pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada pada 1995-1999. Ia menandai karier tunggalnya sebagai seniman dengan proyek Java’s Machine: Phantasmagoria, yang mulai ditampilkan pada 2008. Ini karya instalasi multimedia yang menggabungkan berbagai elemen obyek, kinetik, dan bunyi menampilkan simbol prajurit keraton yang kuasanya telah dilucuti dan identitasnya berwajah ganda, antara pribumi dan jajahan. Tema karya Jompet tidak jauh dari akar etnisnya: Jawa. Selanjutnya, tema karyanya tak jauh berkisar di situ. Yang khas dari Jompet adalah ia suka mengolah kinetik. Tambur-tambur prajurit yang berbunyi sendiri adalah pencapaiannya.

On Paradise melampaui pencapaian kinetik sebelumnya. Masih ada tambur yang berbunyi sendiri dalam karya ini. Tapi konsep yang ditawarkan lebih berani. Tentang fanatisme. Tentang fundamentalisme. Namun semua ini disajikan tidak dengan vulgar. Ketiga karya di On Paradise ini diikat satu sama lain melalui narasi gambar dalam kitab. "Anak Imam Samudra, Umar Jundul Haq, juga kombatan ISIS yang tewas di Suriah pada 2015," ujar Jompet.

Gambar-gambar itu sendiri menarik. Terasa nuansa apokaliptiknya. Tatkala gambar menampilkan imaji neraka, yang dibayangkan masyarakat Banten adalah gambar yang secara "artistik" menyajikan imaji orang dibakar, dililit ular, dicemplungkan ke air mendidih, dan dijerat akar-akar. "Buku ini terinspirasi oleh Augsburg Book of Miraculous Signs yang terbit di Eropa pada abad ke-16," kata Jompet. Yang menarik, lagu di video pun terinspirasi dari lagu nasyid yang diciptakan oleh Imam Samudra. "Lagu itu dinyanyikan Imam di penjara dan direkam sendiri." Jompet juga menciptakan sebuah lagu utopia tentang jihad yang disenandungkan Richardus Ardita, NadyaHatta, dan Arsita Iswardhani.

Pemberontakan petani Banten dan bom Bali jelas sesuatu yang berbeda motivasinya meskipun sama-sama sebuah gerakan melawan "kafir"-pemberontakan Banten 1888 lebih pada perlawanan terhadap kolonialisme yang konkret mengisap warga. Pemberontakan Banten lebih pada gerakan tarekat. Para kiai yang terlibat adalah anggota tarekat Kadiriyah. Gerakan Mesianistik ini sendiri dapat cepat dipadamkan Belanda.

Grand-Hornu adalah bekas tempat pertambangan besar di Belgia yang sudah ditutup dan dijadikan galeri besar. Di tempat ini pernah terjadi pemogokan dan kerusuhan buruh yang direkam oleh kamera sutradara terkenal Belgia, Henri Storck, pada 1933 dan menjadi salah satu film dokumenter kiri terkenal. Area Grand-Hornu sangat luas. Kuburan pendiri pertambangan dengan patung salib Yesus besar ada di dekat bekas lubang terowongan batu bara. Cerobong asap besar dan rumah-rumah seragam batu bata merah bekas tempat buruh juga dipertahankan.

Karya Jompet yang bertolak dari catatan harian Imam Samudra di Grand-Hornu dalam rangka Festival Europalia Indonesia ini tentu bukan mengglorifikasi jihad. Tapi terasa sebuah kontemplasi yang justru mempertanyakan jihad dan kekerasan. Karyanya ini sebuah fiksi sejarah yang sublim dan sekaligus problematik karena "melacak" jauh versi jihad Imam Samudra yang brutal ke pemberontakan petani Banten 1888.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus