Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Iblis Romantis dan Sepatu Merah

Novel Intan Paramaditha menampilkan prosa dengan alur beragam, dengan banyak alur alternatif yang berlangsung simultan. Berbagai cara ungkap naratif berpadu sebagai pencapaian baru.

14 Januari 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALUR novel Intan Paramaditha, Gentayangan, dapat dibayangkan seperti jalur rel kereta api. Mula-mula hanya satu, baik lurus maupun berbelok-belok. Tapi kemudian yang menarik dan penting dalam Gentayangan adalah percabangannya.

Alur prosa ini, dari halaman 1 sampai 20, memang satu jalur. Tapi, di halaman 20, pembaca diberi pilihan: Jika kau ingin membatalkan perjalananmu dan kembali ke rumahmu di New York (di mana pun itu), buka halaman selanjutnya/Jika kau ingin melaporkan kehilanganmu ke kantor polisi, buka halaman 29/Jika kau ingin meneruskan perjalananmu ke Berlin, buka halaman 33.

Jika pembaca memilih meneruskan ke halaman 21, di halaman 45 akan diminta memilih lagi seperti tadi: Jika kau ingin tahu siapa yang mengirim tikus-tikus pembunuh, buka halaman 67/Jika menurutmu rasa ingin tahu berlebihan tak banyak berguna, buka halaman 82.

Nah, kalau memilih membuka halaman 67, pembaca akan sampai ke halaman 86, yang ternyata merupakan sambungan alur juga bagi yang tadi memilih halaman 33. Artinya, jalur rel (baca: cerita) yang tadi bercabang tiga, hanya dua yang menyatu-untuk nantinya berpisah-kembali di halaman 86 sampai 89, karena bagi yang memilih halaman 29 ceritanya sudah tamat di halaman 38.

Toh, tetap tiga jalur rel tiba di halaman 86, yakni dari halaman 82, 83, dan 85, karena salah satu dari kedua jalur yang belum tamat memang telah memecah diri lagi, sebelum lebur jadi satu di halaman 86 itu-untuk nanti bercabang-cabang lagi dan seterusnya, jika perlu disuruh balik lagi demi sebuah sisipan cerita lain di halaman yang sebelumnya sudah dilompati. Bagi yang memilih halaman 29, masih akan ada setidaknya dua (atau lebih) pilihan lagi sebelum tamat di halaman 463; bagi yang memilih halaman 33 bisa sudah tamat di halaman 218 karena jalurnya memang berbeda.

Tentu saja permainan alur ini tak baru, tapi mengadopsi format pilih sendiri petualanganmu dalam bacaan remaja, yang dipergunakan sebagai "sarana pendidikan" untuk meningkatkan kecerdasan. Namun, jika tujuannya bacaan remaja itu dipersembahkan demi permainan sahaja, dalam prosa berjudul lengkap Gentayangan: pilih sendiri petualangan sepatu merahmu ini, permainan alur barulah satu di antara sekian banyak permainan susastra (baca: seni bercerita) yang telah dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mendukung konsep gentayangan.

Permainan alur pilih sendiri petualanganmu itu sendiri jika dalam bacaan-bacaan remaja yang tebalnya biasanya kurang dari 100 halaman hanya menyangkut tiga sampai lima pilihan dengan percabangan terbatas, dalam Gentayangan ini berlipat ketergandaan ataupun keberagamannya, yang jika dihitung secara matematis membuat buku bertebal 490 halaman ini mungkin saja sebetulnya memadatkan buku 4.900 halaman, ketika setiap pilihan berarti penggandaan alur, masih ditambah percabangan demi percabangan, yang setiap variabelnya berpeluang saling dipertukarkan, selama berada dalam urutan halaman. Apalagi salah satu pilihannya, di halaman 443, akhir cerita bisa ditulis pembaca sendiri. Di akhir buku tersedia catatan bagi 15 alur, tapi jika pembaca tadi titisan S.H. Mintardja, siapa yang tahu berapa banyak alur bisa dibuat lagi?

SELAIN menampilkan permainan alur, prosa ini memanfaatkan posisi sudut pandang narator yang bercerita bukan tentang orang ketiga ("Ia") ataupun orang pertama ("Aku"), tapi orang kedua ("Kau"). Juga bukan gejala baru, tapi dengan cara berbahasa yang dapat tersamarkan seperti berdialog dengan pembaca, bukan hanya Kau hadir sebagai peran utama, tapi juga narator yang nyaris tidak menyebutkan diri ikut hadir dengan kuat. Pembaca sangat mungkin bertanya-tanya: siapakah kiranya Aku yang Bercerita? Bayangan pribadi Aku yang Bercerita ini, antara hadir dan tak hadir, termasuk sentuhan mengesankan Gentayangan.

Kau bukan satu-satunya peran atau tokoh. Bersama Iblis Kekasih dan sepatu merah yang dihadiahkannya, ia seperti membentuk tiga titik yang selalu siap dihubungkan pada setiap alur, dengan bintang-bintang tamu berbeda atau bintang-bintang yang sama dalam alur yang berbeda-beda dalam latar yang berpindah-pindah: New York, Amsterdam, Berlin, Los Angeles, San Francisco, Jakarta. Jika Adam menelan apel dari Iblis demi ilmu pengetahuan dan Faust menyerahkan jiwa kepada Mephisto demi hal yang sama, Kau bersedia mengenakan sepatu merah dari Iblis Kekasih dengan segala risiko, supaya bisa bertualang dan mengenal dunia, sejenis pengetahuan juga.

Namun Iblis Kekasih ini-yang dalam penggambaran terburuk tak pernah menyeramkan-sebetulnya kekasih yang sudah putus, sehingga bagi Kau selalu terdapat kekasih lain, atau orang lain yang mendapat perhatiannya, dan terdapat pula alur yang tetap bahagia ketika petualangan berakhir, tanpa sepatu merah, ataupun Iblis Kekasih. Iblis ini cukup sering dilawan, dan sudah jelas terdapat suatu benang merah yang menyatukan Kau di luar sepatu merah itu: usaha mengenal dan membangun pribadi mandiri, yang selalu terdukung oleh cara berpikir Kau yang emansipatoris.

Yang perlu dianggap menyeruak dari prosa ini adalah cara penyampaiannya. Selain menampilkan permainan alur, sudut pandang, penokohan, dan pengadonan sejumlah dongeng, berbagai bentuk tulisan, seperti surat, brosur, petunjuk praktis, propaganda, status Facebook, skenario film, dan tentu esai, bahkan formulir riset, memberi penyegaran sebagai imbangan stereotipe susastra yang masih mengelabui di luar buku ini.

Cara berbahasanya yang jernih sepintas lalu seperti standar fiksi masa kini, yang mencerdas-cerdaskan diri dengan mengumbar aforisma kontemporer, tapi yang kali ini cerdas beneran. Rasa mual seperti ketika menjumpai bahasa normatif dan klise, termasuk klise bahasa genit "tulisan bagus", sama sekali tidak terjadi. Sesekali akan terjumpai ungkapan susastra klasikal (… sisa-sisamu beterbangan bersama butiran salju), tapi dengan santainya sekali waktu menyabet bahasa jalanan (Terus kalo orang sini nggak gaul, itu salah gue? Salah temen-temen gue?), ataupun sinisme ironis yang sungguh merupakan kekuatannya (gestur istri soleha). Harus juga disebutkan, dari berbagai pengungkapan hubungan romantis, hubungan cinta lesbian terungkap indah dan elegan.

Dari jejak-jejak sosial-historis yang tercatat dalam prosa ini, terasa prosa ini lahir dari wacana (mantan) remaja kelas menengah Jakarta yang kritis. Pandangan seperti berikut ini dapat dilihat sebagai penanda selamatnya sebuah (atau sebagian?) generasi dari kuasa kebodohan:

Pengetahuan tentang pemberontakan PKI di rezim Orde Baru adalah proyek multi media. Bertahun-tahun kemudian, meski kau tahu bahwa seluruh narasi itu-berikut narasi yang tak pernah mengemuka: pembantaian jutaan orang yang dituduh komunis oleh militer-adalah alat legitimasi kuasa Orde Baru, gambar-gambar yang muncul di kepala setiap kali kau dengar kata komunis selalu saja palu arit, darah, dan tubuh yang rusak.

Adalah keliru jika mengira prosa ini sebagai proyek pelurusan sejarah. Namun kata gentayangan itu tercerabut dari padan setan gentayangan. Mungkin tidak terlalu keliru jika kehadiran iblis romantis yang suka pacaran itu secara tidak langsung terhubungkan dengan fakta-fakta keiblisan dalam sejarah yang belum lama berlalu: 1965, 1998…, dan apakah akan ada lagi pada masa yang akan datang?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus