Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ganyang Malaysia, Selamatkan Siti Nurhaliza

Ada yang serius, ada yang main-main. Setelah 40 tahun, gerakan ganyang Malaysia terdengar lagi.

14 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEKAT malam membalut lapangan becek yang baru terguyur hujan sore hari. Kaki telanjang berkecipakan. Seorang guru padepokan bersama 60 murid terengah-engah. Mereka baru saja menghangatkan tubuh berlari tiga kali mengitari tanah seukuran tempat bermain bola kaki di Cemani, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Sang guru padepokan, Joko Sutrisno, berdiri di depan semua murid. Selasa pekan lalu, ia memberikan gemblengan tidak biasa. Bukan sekadar menularkan berbilang jurus bela diri, lelaki beranak tiga kelahiran Ngawen, Klaten, 53 tahun lalu itu mengucap doktrin. Ia bilang, Malaysia berusaha mencaplok Ambalat yang ia yakini bagi0an dari tanah air Indonesia.

"Sanggupkah kalian menjadi relawan?" kata Joko garang. Serempak para murid menjawab, "Sanggup!" Darah Joko kian menggelegak. Ia memberikan aba-aba olah kanuragan. Mula-mula pasang kuda-kuda, lalu sepuluh jurus diajarkan.

Malam kian larut. Tiba saatnya Joko menguji siapa saja yang lolos jadi relawan. Satu demi satu, murid menyerang sang guru. Jika mampu bertahan, apalagi mendekatinya, dia dinyatakan lolos. Tapi, jika baru beringsut sejengkal saja langsung roboh, sang murid perlu digembleng lagi. Malam itu Joko belum mengumumkan hasil seleksinya. "Ini baru sebagian latihan. Kita akan bekerja sama dengan TNI," katanya kepada Tempo.

Joko adalah satu dari sekelumit kisah gerakan ganyang Malaysia yang sejak pekan lalu merebak. Sepetak ruang tamu rumahnya, ujung gang di Serengan, Solo, ia permak menjadi Posko Bela Negara Lawan Malaysia. Untuk mencapainya, jangankan mobil, sepeda motor pun perlu parkir di mulut gang. Dua meja panjang tersusun membentuk huruf L dan beberapa kursi berderet di belakangnya. Di sana, terdapat satu set komputer tanpa printer dan seperangkat radio panggil yang tak bersuara.

Sejumlah poster bertulisan sentimen anti-Malaysia menempel di dinding. Di atas bufet, tiga bingkai potret Joko di antara tentara terpacak. Sejak 1970-an, ia pelatih bela diri anggota Grup II Kopassus Kandang Menjangan, Surakarta. Makanya ia disebut guru besar di Padepokan Tenaga Dalam Lembu Sekilan. Di posko itu, melalui televisi 21 inci, Joko mengikuti perkembangan kasus Ambalat. "Saya tidak paham persis kasus itu. Tapi Malaysia sudah keterlaluan menginjak martabat bangsa," ujarnya.

Joko, karyawan pabrik rokok itu, sensitif terhadap Malaysia. Akhir tahun lalu, ketika ribuan TKI dipaksa pulang pemerintah Malaysia, ia bersama sejumlah karib bekas TKI merancang deklarasi "Gemar's" (Gerakan Masyarakat Anti-Arogansi Solo). Rumahnya, yang juga dipakai sebagai kantor persewaan alat pesta, ia relakan sebagai pos komando. Saat itu aksi mereka adalah berdemonstrasi seraya memasang spanduk bernada kecaman terhadap Malaysia.

Rupanya, kekesalan Ketua Pengurus Anak Cabang PPP Kecamatan Serengan terhadap Malaysia sudah turun-temurun. Saat mengumandangkan ganyang Malaysia, pikiran Joko menerawang wajah bapaknya, Gunadi Hendro Martono, yang wafat lima tahun lalu. Tak lama setelah Soekarno mengobarkan "Ganyang Malaysia" pada 23 September 1963, Gunadi ditunjuk sebagai koordinator sukarelawan desa. Saat itu Joko ingusan hanya bisa bangga ketika bapaknya menyanyikan syair, pelesetan lagu Anak Kambing Saya. "... Malaysia hancur hei hei. Malaysia hancur hei hei. Tengku Abdurrahman masuk kubur...."

Nostalgia ganyang Malaysia juga terlukis di Semarang. Petrus Ignatius Suwignyo, kakek 67 tahun, mengisahkan pernah membakar patung Perdana Menteri Malaysia ini. Uzur tak menghalangi bekas aktivis Ikatan Siswa Katolik Indonesia kelahiran Randu Blatung, Blora, Jawa Tengah ini. Pekan lalu ia ikut mendaftar menjadi relawan. "Tugas saya hanya memberikan semangat," ujarnya. Suwignyo, yang berkaki cacat, menjadi pendaftar pertama Posko Ganyang Malaysia di trotoar Jalan Pahlawan, Semarang, dekat Kantor Gubernur Jawa Tengah. Sebuah pos komando (posko) yang dipimpin Guntur Hadi Prabowo, 34 tahun, Wakil Ketua Angkatan Muda Demokrat Jawa Tengah, organisasi sayap Partai Demokrat.

Seruan ganyang Malaysia terbit pertama kali di Makassar, Sabtu dua pekan lalu. Di ibu kota Sulawesi Selatan ini, hingga pekan lalu terdaftar 3.832 relawan di Markas Besar Front Ganyang Malaysia, Jalan Onta Lama 66, Mamajang. Selain fisik prima, persetujuan dari istri bagi suami atau persetujuan suami bagi istri dijadikan syarat. Das'ad Latief, mubalig muda Makassar, mengangkat diri sebagai koordinator yang digelari panglima komando.

Di Surabaya, Himpunan Mahasiswa Islam Institut Teknologi Surabaya dan Universitas Airlangga membuka pos di sekretariat cabang HMI Surabaya di Jalan Nias 68. Aksi mengganyang Malaysia di Pekanbaru, Riau, menggelar orasi ger-geran. "Ganyang Malaysia, Selamatkan Siti Nurhaliza," kata seorang demonstran. Di Yogyakarta, Jumat pekan lalu mahasiswa malah membakar poster penyanyi imut bersuara merdu itu.

Gerakan ganyang Malaysia punya sejarah panjang. Tarikh mencatat, gerakan itu berawal dari meletusnya pemberontakan di Brunei pada Desember 1926. Ketua Partai Rakyat, partai terbesar di sana, A.M. Azahari, memproklamasikan negara merdeka Kalimantan Utara. Wilayahnya, tiga bekas jajahan Inggris, Brunei, Sabah, dan Sarawak.

Soekarno mencurigai Malaysia berada di balik pemberontakan tidak berumur panjang ini. Ia menuding kekuatan-kekuatan neokolonialisme berusaha mengepung Indonesia lewat pembentukan Federasi Malaysia.

Hawa makin gerah. Soebandrio, Wakil Perdana Menteri I, mengumumkan konfrontasi terhadap berdirinya federasi baru bentukan Inggris di utara Indonesia itu, 8 Januari 1963. Soekarno memperkeras sikap Indonesia. Dalam pidato di Istana, 23 September 1963, ia meneriakkan slogan "Ganyang Malaysia". Bara konfrontasi bertambah panas. Pasukan Indonesia menyusup dan melakukan penerjunan ke Malaysia. Kogam (Komando Ganyang Malaysia) pun dibentuk.

Ganyang Malaysia kini digembar-gemborkan lagi se-antero negeri. Suara lantang itu, menurut Wakil Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM, Najib Azca MA, menandakan warisan ideologi militer kuat mencengkeram bangsa Indonesia. Suara yang kata Najib menguntungkan pemerintah karena sukses mengubur aksi-aksi menolak kenaikan BBM. "Ini cara lama tapi efektif. Saat pemerintah diserang, termasuk oleh pendukungnya sendiri, kasus Ambalat dikelola baik."

Bedanya, dulu Soekarno yang bersuara keras. Kini Presiden Yudhoyono mengemas pernyataannya tentang Ambalat dengan teduh. Para pendukung di bawahnya saja yang bersuara keras. Kesamaannya, pemerintah Soekarno dan Yudhoyono sama-sama dikepung jeritan rakyat akibat melangitnya harga barang-barang.

Era berganti, ganyang Malaysia terdengar lagi. Tak semua dengan motif nasionalisme. Dengarlah alasan Yulianto Arifin, 17 tahun, remaja tamatan SMP di Solo, tentang mengapa ia mendaftar jadi relawan. "Daripada tidak ada kerjaan di rumah," katanya enteng.

Sunudyantoro, Imron Rosyid (Solo), Sohirin (Semarang), Jojo Raharjo (Surabaya), Irmawati (Makasar), Syaiful Amin (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus