Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Datuk, di Laut Kita Adu gertak

Indonesia dan Malaysia saling klaim perbatasan laut di dekat Kalimantan Timur. Meski saling gertak, meriam kapal masih ditutup terpal.

14 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAPAL itu melaju kencang mengiris hamparan laut, menyisakan buih putih membentuk garis lurus di belakangnya. Laut biru. Cahaya langit berpendaran. Dengan kecepatan tinggi, 31 knot per jam, Kapal Republik Indonesia (KRI) Tedong Naga menggunting samudra menuju Karang Unarang, Laut Sulawesi, Kalimantan Timur, Kamis pekan lalu. Mesin kapal yang menderu kencang seperti berteriak marah.

Di perairan yang disebut Karang Unarang, satu tongkang mengangkut belasan pekerja Indonesia, yang tampak sibuk mendirikan mercusuar. Mereka lego jangkar di sana untuk membangun rambu pelayaran. Sejumlah pekerja menceburkan diri ke laut menanam pasak baja. Tinggi air laut, saat surut, hanya sepinggang orang dewasa di perairan padat karang itu. Di sana pula, para kuli bekerja dengan kecemasan tinggi.

Tak jauh dari mereka, sekitar satu kilometer, dua kapal patroli Tentara Laut Diraja Malaysia bergerak mengintai. Dua kapal itu masih dibantu dua kapal patroli polisi Tawau Sabah, PZ 13 dan PA 42. Menjelang senja, Malaysia menambah bala bantuan. Dua kapal lainnya merapat ke sana, KD Panah dan KD Kota Bahru. Tedong Naga juga tak sendiri. Kapal cepat dan lincah itu membantu KRI Wiratno dan KRI Tongkol yang telah tiba sehari sebelumnya. Kapal milik Indonesia itu seakan membuat pagar, menjaga tongkang bekerja menyelesaikan suar. Kini, armada kapal perang dari dua negara itu berhadapan.

Karang Unarang mendadak menjadi garis depan. Gesekan kecil bisa meletupkan pertempuran.

Sejak dua pekan lalu, suasana panas meningkat di laut yang menjadi sengketa antara Indonesia dan Malaysia itu. Pertikaian itu dimulai saat Petronas, perusahaan minyak Malaysia, menjual konsesi eksplorasi kepada Shell, perusahaan minyak patungan Inggris dan Belanda, 16 Februari lalu. Wilayah itu adalah Blok Ambalat dan Ambalat Timur, yang berdasarkan klaim Indonesia masih berada di wilayah Indonesia (lihat Memburu Emas Hitam di Ambalat).

Lima hari setelah penjualan itu, Malaysia mulai unjuk gigi. Belasan pekerja CV Azza Samarinda, yang sedang bekerja membangun suar milik Departemen Perhubungan di Karang Unarang, disergap tentara laut Malaysia. Di gugusan karang 3 mil lepas pantai Sebatik Indonesia itu, para pekerja dihajar di atas tongkang mereka. Selama empat jam, mereka dibiarkan terpanggang matahari.

Patroli militer Malaysia pun mulai melanggar batas wilayah Indonesia. Misalnya, mereka dengan terang-terangan melakukan latihan menembak dekat perbatasan, November tahun lalu.

Bukan itu saja, Malaysia mengusir kapal ikan Indonesia KM Jaya Sakti dari perairan Karang Unarang itu, Januari lalu. Saat itu Kapal Diraja Malaysia (KD) Sri Melaka memburu kapal ikan KM Jaya Sakti. Sri Melaka menembak tanpa peringatan serta melakukan pengejaran. Bahkan berusaha menabrakkan kapal ke Jaya Sakti. Itu jelas isyarat pengusiran. Setelah menguber Jaya Sakti selama satu jam, Sri Melaka mengubah haluan ke Tawao. Meski sudah dilaporkan, insiden ini berlalu begitu saja.

Aksi yang kian mencolok adalah akhir Februari lalu. Satu itu pesawat intai Malaysia jenis Beecraft B200 Super King terbang masuk ke wilayah Indonesia. Itu aksi di udara. Di laut, pada saat yang sama, dua kapal cepat patroli KD Paus dan KD Baung masuk melayari perairan Karang Unarang.

Merasa kedaulatannya terancam, Indonesia lantas mengirimkan kapal perang dan pesawat tempurnya ke wilayah itu. Sejak itulah, sengketa wilayah laut ini meledak. Tentu saja, tak seluruh wilayah laut seluas Provinsi Sulawesi Utara itu bisa dijaga. Kapal TNI Angkatan Laut hanya berjaga di "pintu depannya". Di situlah perbatasan Indonesia-Malaysia menurut versi Mahkamah Internasional 2002.

Pintu depan itu memanjang dari pertengahan Pulau Sebatik, pulau di dagu Kalimantan yang "dibelah dua" menjadi wilayah Indonesia dan Malaysia, hingga perairan sejauh 12 mil di lepas pantai Sipadan dan Ligitan (lihat peta). Malaysia mengklaim lebih luas, hingga 70 mil laut atau 129,6 kilometer ke arah selatan Laut Sulawesi, dihitung dari pantai Sipadan dan Ligitan saat surut terendah. Titik penting wilayah itu adalah Karang Unarang, gugusan karang dangkal seluas lapangan sepak bola.

Berdasarkan peta TNI AL, Karang Unarang berada di Teluk Siboko, "menempel" persis di perbatasan kedua negara. Indonesia mengklaim Karang Unarang adalah wilayahnya, dengan menarik garis lurus 12 mil dari perbatasan Sebatik Indonesia sebagai titik pangkal, lalu turun. Garis itu ditarik karena wilayah Malaysia meluas akibat masuknya Pulau Sipadan dan Ligitan ke daerah mereka. Versi Malaysia berbeda. Mereka mengukur dari titik Sebatik Indonesia langsung ke bawah?tanpa tambahan 12 mil garis teritorial. Tentu saja, dari sudut pandang itu, Karang Unarang adalah milik Malaysia (lihat Sekeping Koin di Kepala Borneo).

***

TERIMPIT klaim batas dua negara, kini Karang Unarang bersiap menjadi garis depan pertempuran. Tapi, sepanjang pekan lalu, belum lagi terdengar ada meriam menyalak di laut itu. Hanya insiden kecil terus berlanjut. Misalnya, dua kapal perang Malaysia mendadak melaju ke perairan karang itu, Kamis pekan lalu. Jarak tongkang dengan kapal hanya beberapa ratus meter. Sejumlah pekerja terkesiap. Dengan kecepatan tinggi kapal Malaysia itu bermanuver dan nyaris menabrak kapal tongkang.

Untunglah, Tedong Naga sigap bergerak. Dengan lincah kapal itu memotong gerak lancang kapal negeri jiran itu. Meski berkacak dengan gerakan yang membuat geram, kapal Malaysia selalu menghindar jika mau terjadi benturan. Jarak keduanya kadang begitu dekat. Posisi Tedong Naga dengan kapal Malaysia bahkan pernah tak lebih dari sepelemparan batu kerikil setiap kali mereka bersimpangan.

Wartawan Tempo yang turut dalam patroli KRI Karel Satsuit Tubun menyaksikan betapa para perwira Malaysia kerap mencoba menghalangi pembangunan suar. Berdasarkan informasi dari kapal-kapal Indonesia, dalam upaya itu, Malaysia juga mencoba melakukan kontak radio dengan Indonesia. Misalnya kontak dengan KRI Wiratno, pekan lalu. Saat itu KRI Wiratno berkeliling mengamankan kawasan Karang Unarang. Terdengar suara dari kapal seberang, "Mohon kerja pemerintah ditunda," kata seorang perwira Malaysia lewat radio. Maksudnya, mereka ingin pembangunan mercusuar dibatalkan.

Bagi kapal perang Indonesia, peringatan itu bagai angin lalu. Misi Indonesia jelas: suar itu harus tegak berdiri. "Kita belajar dari Sipadan dan Ligitan," ujar Komandan Gugus Tempur Laut Armada Timur Laksamana Pertama Soeparno. Menurut dia, Indonesia punya pengalaman pahit saat sengketa Sipadan-Ligitan. Saat Indonesia mencoba menjaga status quo kepemilikan pulau itu, Malaysia malah membangun resor di sana. "Sekarang kita tak bisa kompromi lagi," kata Soeparno.

Pekan ini, pembangunan suar itu rencananya selesai. Dari target sebulan, kerja itu sudah separuh rampung. Setelah selesai, suar itu akan dilaporkan resmi ke Organisasi Maritim Internasional (IMO). "Suar itu milik Indonesia," ujar Soeparno sambil tersenyum. Dengan begitu, pengakuan IMO kelak menjadi pengakuan tak langsung dunia internasional atas teritorial Indonesia.

Dari laut, kemarahan itu menjalar sampai juga ke darat. Suasana panas semakin menjadi-jadi karena di sejumlah kota di Indonesia mendadak berjangkit sentimen anti-Malaysia. Dari Pekanbaru sampai Ambon, dari Surabaya sampai Solo. Di Jakarta, sejumlah demonstran nekat mengunci pagar Kedutaan Besar Malaysia di daerah Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu. Sejumlah posko berdiri dengan yel-yel ratusan relawan siap mati menghantam Malaysia (lihat Ganyang Malaysia, Selamatkan Siti Nurhaliza).

Dari parlemen tak kurang seru. Komisi I DPR RI menolak membawa kasus Ambalat ke Mahkamah Internasional. "Kawasan Ambalat mutlak bagian dari kawasan kita," ujar Ketua Komisi I Theo L. Sambuaga, Senin pekan lalu. Komisi itu juga meminta pemerintah bersikap tegas. Setiap pelanggaran batas oleh Malaysia harus ditindak dan diusir secara paksa. DPR juga meminta pemerintah memanggil pulang Duta Besar RI di Malaysia. Kata Theo, sikap itu bukan untuk menghancurkan hubungan dua negara. "Ini reaksi kekecewaan atas pelanggaran wilayah oleh Malaysia," ujarnya.

Malaysia sendiri tampaknya pantang surut juga. Menteri Luar Negeri Malaysia Dato' Seri Syed Hamid Albar mengatakan klaim Indonesia itu masih menggunakan peta buatan Belanda. Dengan peta itu pun, kata Hamid, Sipadan-Ligitan masih berada dalam wilayah Indonesia. Padahal, kata dia, wilayah itu sudah jatuh ke tangan Malaysia berdasarkan putusan Mahkamah Internasional (lihat Wilayah Maritim Tidak Ditentukan oleh Lobi Perusahaan Minyak).

Dengan patokan batas maritim pulau itu, Ambalat pun dianggap wilayah Malaysia. "Bukan hal mudah, ini perkara kompleks," ujar Hamid saat berkunjung ke Jakarta, Kamis pekan lalu. Sebelumnya, di Kuala Lumpur, Hamid menegaskan posisi Malaysia yang akan mempertahankan kepentingan dan integritas wilayah mereka di laut itu.

Pertikaian di perbatasan itu juga mendapat perhatian khusus dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam lawatan ke perbatasan di Nunukan, Kalimantan Timur, Selasa pekan lalu, Presiden Yudhoyono bahkan menyempatkan turun mengunjungi prajurit TNI di Pulau Sebatik. Perselisihan batas wilayah seperti di Laut Sulawesi, kata Yudhoyono, bukan hanya terjadi dengan Malaysia, tapi juga negara lain. Meski begitu, Indonesia tak akan mengambil jalan konfrontasi. "Saya kira kita tidak dalam situasi permusuhan," ujar Presiden.

Di Jakarta, besoknya, Presiden menerima Menteri Luar Negeri Malaysia Syed Hamid Albar di Istana Negara. Seusai pertemuan, Hamid sedikit melunak. Dia mengatakan, di tingkat tinggi, Presiden RI dan Perdana Menteri Malaysia akan menjaga hubungan baik kedua negara. Begitu juga panglima tentara dua negara. "Kami pun begitu," ujarnya didampingi Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda.

Menurut Menteri Hassan, kedua negara segera bertemu pada 22-23 Maret nanti. Agar suasana lebih kondusif, Hassan mengatakan kehadiran kapal perang tidak dibutuhkan lagi di kawasan sengketa itu. Kehadiran kapal perang, kata Hassan, hanya untuk operasi rutin.

***

MESKI situasi mulur-mengkeret?kadang tegang dan kadang kendur?sepertinya ada "kesepakatan" kedua negara tak memakai senjata. Tedong Naga misalnya. Meskipun punya dua meriam kecil, ukuran 20 milimeter dan 12,7 milimeter, kapal cepat Indonesia itu tak berniat memakainya. Begitupun kapal Malaysia yang suka memancing geram. Meriam kapal mereka masih ditutup terpal. Rupanya, dua pihak enggan dituduh memicu konflik bersenjata.

Kedua armada pun tampaknya hanya berkacak pinggang di laut. Dari kapal fregat KRI Karel Satsuit Tubun Jumat pekan lalu, Tempo melihat enam kapal Malaysia, empat di antaranya kapal perang, berhadapan dengan tiga kapal perang Indonesia. Dua kapal Indonesia terlihat gagah dan besar, sementara kapal Malaysia berukuran lebih kecil. Namun, melihat begitu banyaknya kapal Malaysia, ketegangan merambati ruangan anjungan di KRI Satsuit Tubun.

Makin dekat ke Karang Unarang, para perwira di anjungan terlihat kian sibuk. Teropong didekatkan ke mata. Peta buatan Dinas Hidrooseanografi TNI AL yang sarat dengan koordinat bumi digelar untuk mencari posisi atau baringan kapal Malaysia. Rupanya, Malaysia mengambil posisi setengah lingkaran menghadap Karang Unarang. Salah satunya, diberi tanda besar, berada terlalu dekat dengan Karang.

"Pertahankan halu!" kata Komandan KRI Satsuit Tubun Letkol I Nyoman Ariawan kepada juru mudi. Melihat kapal fregat Indonesia datang, dua kapal patroli polisi Sabah menjauh dari Karang.

Ketika Satsuit Tubun mendekati Karang Unarang, senja mulai turun. Kapal-kapal yang berhadapan itu mulai satu persatu menyalakan lampu kapalnya. Cahaya lampu tongkang terlihat redup di tengah, terkepung sinar sepuluh kapal. "Sebentar lagi mereka (kapal Malaysia) pulang. Tinggal kapal kita sendiri di sini," kata Kolonel Marsetio. Esok paginya, kapal Malaysia akan kembali datang. Lantas terjadi lagi aksi. Begitu terus setiap hari.

Komandan Gugus Tempur Laut Armada Timur Laksamana Pertama Soeparno mengatakan, pengamanan akan terus dilakukan sampai ada keputusan politik. Di perbatasan, setidaknya ada dua kapal yang melaut setiap hari. Sisanya bersandar di Tarakan.

Strategi TNI AL di sana pun sederhana. Menurut Kepala Staf Gugus Tempur Laut Kolonel Pelaut Marsetio, aksi TNI AL di Ambalat adalah sekadar pengendalian perairan. Dengan menghadirkan kapal perang secukupnya di sana, akan diperoleh keseimbangan kekuatan. "Pengendalian perairan itu wujudnya adalah menghadirkan kapal-kapal perang," katanya.

Memang, perang masih jauh. Apalagi para komandan atau kapten kapal patroli Malaysia itu sebetulnya pernah nyantrik juga di Indonesia. Sebut saja Mayor Azeman bin Yusoff, kapten kapal KD Baung. Azeman alumni Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (Seskoal) pada 1999. Begitu juga Commander (setingkat letnan kolonel) Zakaria bin Mansoor, kapten kapal KD Paus, pernah duduk di bangku Seskoal tahun 2001. "Mereka itu murid saya," kata Marsetio, bekas guru doktrin dan strategi maritim di sekolah komando itu.

Seperti kasus Sipadan-Ligitan, tampaknya sengketa ini bakal berakhir di meja diplomasi.

Nezar Patria, Arif Kuswardono (Tarakan), Faisal Assegaf (Jakarta)


Mesin Perang Indonesia Vs Malaysia

Embargo pembelian peralatan militer oleh Amerika membuat rontok peralatan militer Indonesia. Pesawat tempur terbaru, Sukhoi SU-27 SK dan SU-30 MK buatan Rusia, pun masih ompong tak punya senjata. Dari 12 pesawat tempur "andalan", F-16, dua di antaranya sudah jatuh dan hanya delapan siap terbang.

Pesawat dan Heli

  • Delapan Hawk MK 109 berpangkalan di Pekanbaru dan Pontianak
  • 32 Hawk MK 209 berpangkalan di Pekanbaru dan Pontianak
  • Enam CN235 berpangkalan di Halim
  • Delapan F27-400M berpangkalan di Halim
  • SF260MS/WS berpangkalan di Halim
  • B707-3MIC
  • Tujuh pesawat F27-400M
  • F28-1000/3000
  • L100-30
  • C-130H-30 berpangkalan di Halim
  • NAS332L1
  • L100-30
  • EC-120B
  • 12 unit Heli Bell 47G-3B-1 berpangkalan di Kalijati
  • Lima F-16A berpangkalan di Madiun
  • Lima F-16B berpangkalan di Madiun
  • F-5E berpangkalan di Madiun
  • F-5F berpangkalan di Madiun
  • Hawk Mk53 berpangkalan di Madiun
  • Dua Su-27SK berpangkalan di Makassar
  • Dua Su-30MK berpangkalan di Makassar
  • NC212M-100/200 berpangkalan di Malang
  • Ce 401A berpangkalan di Malang
  • Ce 402A berpangkalan di Malang
  • 10 Pesawat Bronco OV-10F di Malang

Kapal Perang 114 armada berbagai jenis (sepertiganya untuk operasi rutin, sepertiga untuk latihan, dan sisanya untuk pemeliharaan)

Personel

  • Jumlah prajurit (semua angkatan): 250 ribu orang
  • Anggaran militer per tahun: US$ 1 triliun (1,3 persen GDP)

MALAYSIA

Militer Negeri Jiran itu bernama Tentera Diraja Malaysia. Pada awal pembentukannya, mereka memakai banyak peralatan militer buatan Inggris. Kini mereka menggunakan peralatan dari sejumlah negara, termasuk pesawat buatan Indonesia.

Kapal Perang

  • Satu kapal penyelam dilengkapi meriam 20 mm
  • Dua kapal cepat pengangkut pasukan
  • Empat kapal patroli buatan Prancis berudal Exocet MM38 dan meriam Bofors
  • 24 kapal perang yang berpangkalan di empat tempat: Lumut, Sandakan Sabah, Kuantan, dan Labuan. KD Kerambit yang berada di sekitar Ambalat merupakan salah satu kapal yang berpangkalan di Sandakan, Sabah.
  • Dua kapal patroli buatan Korea Selatan yang dilengkapi meriam 100 mm Creusot Loire, 30 mm Emerlac, dan senjata penangkis antikapal selam. Kapal ini berpangkalan di Kuantan
  • Empat kapal buatan Swedia dilengkapi rudal MM38 Exocet, 57 mm Bofors, dan 40 mm Bofors
  • Empat kapal fregat, dua di antaranya dibeli bekas dari Angkatan Laut Kerajaan Inggris.
  • Enam kapal korvet buatan Jerman
  • Empat kapal patroli penangkis ranjau buatan Italia
  • Dua kapal jenis multi purpose command and support ship buatan Jerman dan Korea Selatan
  • Satu kapal Sealift
  • Dua kapal Hydro

Pesawat Tempur

  • F-5 E
  • Hawk MK108 berpangkalan di Alor Setar, Kuantan, dan Labuan
  • Hawk MK-208 berpangkalan di Alor Setar, Kuantan, dan Labuan
  • Delapan F/A-18D berpangkalan di Alor Setar
  • MiG-29 berpangkalan di Kuantan
  • SU-30 berpangkalan di Kuantan
  • F-28 berpangkalan di Kuala Lumpur
  • Falcon berpangkalan di Kuala Lumpur
  • Beech 200T berpangkalan di Kuala Lumpur
  • C-130H berpangkalan di Kuala Lumpur
  • CN-235 berpangkalan di Kuala Lumpur
  • S61A-4 berpangkalan di Kuala Lumpur, Kuching, dan Labuan
  • AS61N-1 berpangkalan di Kuala Lumpur
  • S70A-34 berpangkalan di Kuala Lumpur

Personel

  • Jumlah prajurit semua angkatan: 196.042 (2002)
  • Anggaran militer per tahun: US1,69 triliun (2,03 persen GDP)

Sumber: Diolah dari www.scramble.nl, www.nationmaster.com, TDLM


Adu Kuat di Ambalat

Tentara Nasional Indonesia

  • Empat kapal tempur berpatroli di Blok Ambalat dan Karang Unarang (KRI Nuku-873, KRI Singa, KRI Wiratno-879, dan KRI Tongkol)
  • Tiga kapal tempur bersandar di Pelabuhan Tarakan, Kalimantan Timur (KRI Karel Satsuit Tubun-356, KRI Rencong-622, dan KRI Tedung Naga)
  • Dua pesawat pengintai maritim Nomad P-840 dan P-834
  • Dua pesawat Cassa
  • Dua helikopter Bolko
  • Empat F-16 parkir di Sepinggan, Balikpapan
  • Satu pesawat pengintai Boeing 737
  • 150 marinir menjaga pembangunan mercusuar Karang Unarang

Tentera Diraja Malaysia

  • Empat kapal tempur (KD Kerambit-43, KD Paus-3507, KD Sri Melaka-3147, KD Baung-3509 dan KD Pari)
  • Dua kapal patroli kecil (PC Seri Perlis-47 dan FPB G 3510)
  • Satu pesawat pengintai Land Based Maritime Aircraft jenis Beech Craft B 200 T Super King
  • Satu pesawat pengintai milik kepolisian
  • F27-400M
  • SU-30 MK

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus