Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sekeping Koin di Kepala Borneo

Konflik perbatasan melanda sebagian garis perbatasan Negara Bagian Sabah. Beban sejarah bisa menjadi bom waktu.

14 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ada negara bagian di Malaysia yang memiliki sengketa garis perbatasan serumit Sabah. Selain bermasalah dengan Indonesia, perbatasan mereka juga menjadi ajang perseteruan dengan Filipina. Di laut dan daratan.

Bermula dari peta baru Malaysia terbitan tahun 1979. Cakupan wilayah yang menjadi klaim negara itu sering dituduh sebagai picu sengketa karena dianggap mencaplok kedaulatan negara lain. Akar masalah peta ini adalah sejarah perjanjian perbatasan yang ditinggalkan Inggris, bekas penguasa mereka. Garis perbatasan di daerah kepala Borneo itu ditarik begitu saja, seperti melintasi terra nullius, tanah tak bertuan. Padahal wilayah tersebut secara sah terikat dengan beberapa kesultanan setempat.

Sejarah mencatat, kekuasaan kolonial hadir di Sabah lewat tangan seorang Gustavus Baron von Overbeck. Hal ini di-anggap di luar kelaziman karena kekuasaan kolonial umumnya diwakili negara, bukan individu. Overbeck mendapat se-jumlah kewenangan teritorial dari Sultan dan Pengeran Temenggong Brunei, 29 Desember 1877.

Kewenangan yang semacam dipinjamkan kepada Overbeck itu, antara lain, untuk menentukan hukuman bagi masyarakat asli, hak pemilikan mutlak di bidang pertanian, peternakan, dan pertambangan. Selain itu, Overbeck juga memiliki kewenangan membuat peraturan, mata uang, menarik cukai dan pajak. Bahkan membentuk tentara dan angkatan laut. Di wilayah dari Pantai Kimanis di sebelah barat laut hingga Sungai Sebuku di sebelah timur.

Namun, ya, itu tadi, kewenangan yang "diberikan" pada dasarnya merupakan hubungan sewa-menyewa biasa, sebagaimana hubungan berdagang saja. Sebab, Overbeck?kemudian menggandeng Alfred Dent sebagai partner?diharuskan membayar Sultan 12 ribu dolar dan Temenggong 3.000 dolar setiap tahunnya.

Untuk melaksanakan kewenangannya itu, Overbeck dan Dent membuat sebuah institusi kerja sama yang kemudian diberi nama Overbeck and Dent Association (ODA). ODA lalu mengajukan proposal kepada pemerintah Inggris untuk mengelola daerah konsesi itu. Terbentuklah British North Borneo Company (BNBC) sebagai "penguasa bayangan".

Lain pemerintah Inggris, lain pula Belanda. Bentuk hubungan antara penguasa asli dan pemerintahan Belanda di Bulungan tidak sama. Kesultanan di timur Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Sabah itu diakui Belanda sebagai negara merdeka pada tahun 1844. Kedua negara ini kemudian mengadakan kerja sama membentuk pemerintahan semi-otonomi (zelfbestuurende landschap) dengan sultan sebagai kepala negara dibantu dua orang pejabat (landsgrote).

Perjanjian pembagian kekuasaan Belanda-Bulungan ini terus diperbaharui. Terakhir, perjanjian itu direvisi pada 1928 dan dimuat dalam Staatsblad No. 86/ 1928 dan Gouvernements-besluit No. 17 dan 25 Tahun 1928. Pada November 1949, Kesultanan Bulungan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia.

Salah satu bukti bahwa hubungan Bulungan-Belanda adalah hubungan kemitraan yang setara, ini bisa ditilik dari sambutan yang diberikan secara khusus dan terhormat ketika Sultan Bulungan, Maulana Mohamad Kasim Aldin, berkunjung ke Belanda pada 1923. Dia disambut dalam tata cara kenegaraan oleh Ratu Belanda, Wilhelmina, di Den Haag.

Maka, perjanjian perbatasan yang dilakukan antara Belanda dan BNBC pada tahun 1891 dan 1915, yang berisi kesepakatan membagi wilayah Kalimantan Utara menjadi dua, yakni milik Inggris dan Belanda, dianggap menyalahi perjanjian-perjanjian dengan kesultanan setempat sebelumnya. Perjanjian antara dua negara kolonial itu diprotes keras oleh Kesultanan Bulungan karena membuat wilayah Bulungan, yang terbentang dari Tarakan, Tidung, sampai Lahad Datu, Sabah, menjadi terbelah.

Perjanjian tersebut dilakukan tanpa persetujuan Sultan sebagai pemilik kedaulatan. "Para sultan pendahulu saya tidak pernah mengakui perjanjian itu," kata Sultan Bulungan, Maulana Muhammad Al Ma'mun, kepada Tempo beberapa tahun lalu.

Klaim pemerintah Malaysia atas sebagian wilayah Sabah?sebagaimana perjanjian perbatasan yang ditinggalkan Inggris tersebut?selain mendapat tentangan dari Kesultanan Bulungan juga dari Sultan Sulu di Filipina Selatan. Sultan Filipina ini juga mengklaim wilayah darat, antara lain meliputi Kota Kinabalu, ibu kota Negara Bagian Sabah sendiri.

Kini, perseteruan mengenai garis perbatasan yang akan berakibat penguasaan wilayah Karang Unarang dan Ambalat sedang bergulir, dan kian panas. Sebagaimana yang pernah terjadi pada Pulau Sipadan dan Ligitan, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda menyebutnya sebagai terra nullius atau "sekeping koin yang tergeletak di jalan". "Kita sudah punya batas. Namun, ketika berjalan kemudian menemukan koin, lantas berdebat ini milik siapa," ujarnya, Desember 2002 silam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus