Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setengah abad kemudian, Hatta mesti kembali mengalah. Palu yang sama kembali diketuk di Gedung MPR Senayan, Jakarta. Pekan lalu, Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja MPR hampir mencapai aklamasi memutuskan untuk tak mengutak-atik pasal ''sakral" itu. Cuma Fraksi Reformasi yang bersuara lain. Itu pun sebatas menyetujui dibukanya federalisme sebagai wacana diskusi. Di daerah, tuntutan membentuk federasi itu nyaris tak terdengar lagi. ''DPRD Kal-Tim sudah membatalkannya," kata Wakil Ketua PAH I, Slamet Effendy Yusuf, dari Fraksi Beringin.
Bentuk federasi mengingatkan orang kepada ''Trauma Van Mook"meminjam istilah sejarawan Anhar Gonggong. Letnan gubernur jenderal itulah yang pada 1949 menggunakan bentuk federal (Republik Indonesia Serikat) sebagai taktik memecah belah. Akibatnya, bangsa ini lalu mengidap semacam sindroma: para penganut paham federal adalah mereka yang ingin memecah belah negeri.
Padahal, federalisme telah muncul sebagai agenda politik dunia pasca-Perang Dingin. Bahkan kini, seperti kata Elazar dalam buku Federalisme, Pilihan Masyarakat Majemuk, Revolusi federal sedang melanda dunia. Trennya pun, menurut Direktur Public Interest Research and Advocacy Center, Zaim Saidi, terus melonjak. Pada era 1950-1990, tiap tahun hanya terbentuk rata-rata 2,2 negara-bagian baru. Sembilan tahun terakhir angka itu menjadi 3,1 negara per tahun. Kini, di dunia ada sekitar 25 negara federasi dengan sekitar 480 negara bagian. ''Buat saya, federalisme adalah masa depan," kata Saidi.
Paling tidak, bentuk itu sudah mengantar banyak negara sukses, terutama di negeri dengan masyarakat plural. Sebutlah kisah sukses Malaysia, India, Amerika Serikat, Nigeria, Swiss, atau Belgia. Lebih dari dua abadsejak 1787Negeri Paman Sam berhasil mewadahi warga majemuknya ke dalam sebuah bejana lebur, melting pot. Ke-51 negara bagiannya diberi wewenang untuk secara otonom mengolah diri dan kekayaannya sendiri. Pemerintah federal disepakati menjadi payung bersama untuk mengurus kebijakan moneter, hubungan luar negeri, dan pertahanan. Di tingkat parlemen (Kongres), keterwakilan setiap negara bagian diatur ke dalam dua lembaga: House of Representatives sebagai majelis rendah ditentukan berdasarkan perimbangan total penduduk Amerika, dan Senat sebagai majelis tinggi dengan jumlah wakil yang sama dari tiap negara bagian.
Sukses Amerika dan banyak negara ini mengilhami banyak orang di sini. Sekjen Partai Amanat Nasional Faisal Basri adalah satu dari sedikit orang yang berkeyakinan bahwa dalam jangka panjang, federalisme adalah tindakan preventif yang efektif untuk meredam disintegrasi. Dan bentuk negara itulah yang mampu menjamin otonomi daerah secara penuh ketika daerah berhadapan dengan Jakarta. ''Jakarta tidak bisa lagi main intervensi seenaknya," kata Faisal.
Toh, di luar paranoia sejarah itu, ada sejumlah kelemahan dan kesulitan rasional yang mesti dipertimbangkan. Ekonom Regional Nomura Adrian Panggabean melihat kasus Amerika yang berbentuk kontinen bakal sulit diaplikasikan di negeri kepulauan seperti Indonesia, khususnya ketika mesti menentukan tapal batas teritori dan kekayaan antarnegara bagian. Belum lagi kalau dibenturkan pada persoalan garis etnis, bahasa, dan budaya. ''Penentuan batas wilayah laut 12 mil di level internasional saja, Indonesia masih sangat kerepotan," kata Panggabean kepada Leanika Tanjung dari TEMPO.
Harry Tjan dari Center for Strategic and International Studies pun berpandangan serupa. Ia melihat tersedotnya sumber daya manusia di daerah ke Jakarta adalah penyebab belum siapnya konsep itu diterapkan saat ini.
Adapun politisi seperti Slamet Effendy selalu gemar menyodorkan contoh Yugoslavia dan Uni Sovietjuga penganut federalismeyang akhirnya remuk. ''Berbahaya. Sangat mudah memunculkan separatisme," katanya.
Namun, di mata Zaim, pandangan itu terlalu dangkal. Suatu negara federal, menurut dia, selalu berdiri di atas kesepakatan untuk teguh menjaga keutuhan. Selalu ada mekanisme yang mengatur agar negara bagian tidak dengan mudah memisahkan diri. Kasus Australia Barat, yang pernah berniat merdeka, misalnya. Sesuai dengan aturan konstitusi, mereka mesti melakukan dua kali referendum. Niat itu gagal karena cuma lolos di tingkat negara bagian dan kalah di tingkat federal.
Apalagi, Soviet dan Yugo memang contoh buruk. Atau, lebih tepatnya, federasi palsu, kata Duchacek, seorang ahli Chek. Kesatuan dan kepatuhan negara bagian terbentuk semata-mata karena todongan dari atas, dari pusat. Mirip republik ini, yang selalu menyakralkan kata ''kesatuan" dan menabukan orang bicara tentang federasi, apalagi meminta jatah merdeka.
Karaniya Dharmasaputra, Iwan Setiawan, Setiyardi, Purwani Dyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo