Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jika Memang Harus Bercerai

Mestinya perpecahan Indonesia tidak dijadikan momok. Pasar bersama bisa dijadikan alternatif sebagai alat perekat.

2 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIA terpecah menjadi banyak negara? Tak ada yang bisa membayangkan. Bertahun-tahun orang Indonesia hidup dalam semangat ''makan tidak makan asal kumpul". Perpisahan digambarkan seperti ''bencana". ''Kacau jika Indonesia pecah," kata ekonom Adrian Panggabean dingin. Adrian tentu melihat wilayah yang paling bergolak seperti Aceh. Sekarang ini, di sana, setiap hari ada saja polisi atau tentara yang terbunuh. Ada yang mati dalam perang terbuka. Ada pula yang mati di tangan penembak misterius. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memperkuat pasukannya dengan merekrut tentara-tentara baru. Beberapa pasukan inong balee (prajurit perempuan), misalnya, baru 2-3 bulan dilatih di hutan-hutan Pidie untuk menjadi tentara. Artinya, GAM mengeras, tentara juga tinggal menunggu peluit Presiden Abdurrahman Wahid untuk masuk Aceh. Perang terbuka? Sampai kapan darah tumpah untuk mempertahankan sebuah wilayah dan sebuah bangsa? Padahal, sebuah bangsa, kata ahli Indonesia, Benedict Anderson, adalah sebuah komunitas yang digagas, sebuah kebersamaan yang dibayangkan, sebuah imagined communities. Ia adalah produk dari kebetulan sejarah. Ketika sekumpulan orang yang merasa memiliki kesamaan dalam proses sejarah berkumpul, terbentuklah bangsa. Dengan kata lain, sebetulnya sah belaka jika satu bagian dari sebuah bangsa berpikir ulang tentang keberadaannya dalam komunitas itu. Idealnya memang perpisahan dilakukan dengan golden shake hand, dalam sebuah suasana yang tak saling memerangi. Tapi sejarah perpecahan sebuah bangsa umumnya selalu berlumur darah. Tengoklah Yugoslavia. Negara berpenduduk 12 juta jiwa itu remuk seiring dengan jatuhnya komunisme di seantero Balkan dan daratan Soviet. Kegagahan Yugoslavia, sebagai negara komunis yang berada di luar kontrol Uni Soviet, dan kemudian bergabung dengan negara-negara nonblok, berakhir ketika Tito, pemimpin negara kecil tapi independen itu, wafat pada 1980. Yugoslavia pecah menjadi kepingan-kepingan berdasarkan kesatuan etnis. Hanya dalam beberapa tahun, negara itu berubah menjadi sembilan bagian. Setidaknya 200 ribu orang terbunuh dalam perang etnis seiring dengan perpecahan itu. Tanah-tanah pertanian yang subur mendadak berubah menjadi kuburan-kuburan massal dengan ribuan kerangka tertanam di dalamnya. Yugoslavia adalah sebuah contoh bagaimana sebuah bangsa yang diikat dengan tongkat komando komunisme ternyata melahirkan kesatuan yang semu. Begitu tongkat komando jatuh, buhul ikatan lepas dan bangsa itu jatuh bagai sapu lidi yang terserak. Pertanyaannya: bagaimana dengan Indonesia? Meski secara ideologis dan sosiohistoris Indonesia berbeda dengan Yugoslavia, ada satu hal yang tidak bisa dilupakan banyak orang yang hidup di era Orde Baru: orde itu menekan konflik dalam jargon persatuan dan kesatuan dan memberangus perbedaan dengan moncong senapan. Aceh adalah contoh yang tepat dan selalu aktual tentang bagaimana perbedaan pendapat dan ketidakpuasan daerah justru melahirkan daerah operasi militer, yang kemudian berbuah pembunuhan rakyat tanpa dosa. Dengan kata lain—meski tak seorang pun bisa memastikan—perpisahan Aceh dengan Indonesia akan diikuti dengan memori yang buruk ''bangsa Aceh" terhadap bangsa Indonesia. Kalau ini terjadi, Aceh mungkin siap. Daerah ini bersama Riau, Kalimantan Timur, ataupun Irianjaya adalah provinsi-provinsi yang sumber daya alamnya kaya. Keempatnya adalah penyumbang tertinggi produk domestik bruto daerah ke pusat. Kalimantan Timur—untuk menyebut salah satu contoh—mengirimkan Rp 47 triliun per tahun dari minyak dan gas serta sumber daya alam lainnya ke pusat, sementara jumlah yang diterima dari pusat selama ini hanya Rp 1,5 triliun. Kelemahan daerah tersebut hanya pada sumber daya manusia, yang bisa diselesaikan dengan kerja sama antardaerah. Walhasil, sebenarnya tiap daerah memiliki kesiapan untuk menjadi negara sendiri—kecuali tentu saja akan muncul konflik internal yang biasanya sulit dihindari. Jika demikian, kerja sama—jika perceraian secara damai bisa dicapai—sesungguhnya bisa dibangun. Salah satunya adalah dengan membentuk pasar bersama (common market). Masyarakat Ekonomi Eropa adalah salah satu contoh bagus yang barangkali bisa ditiru—walaupun, harus diakui, Indonesia memang berbeda jauh dengan Eropa. Proyek bernama Indonesia ini adalah proyek ''sukarela" yang bertujuan mulia. Jika ada anggota ''proyek" merasa sesak dengan format yang ada, bolehlah semua anggota duduk bersama lagi membicarakannya, tanpa tabu atau todongan senjata. Arif Zulkifli, Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus