Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Quo Vadis Negara Kesatuan?

Pemberian otonomi luas adalah upaya terakhir untuk menjaga wilayah Indonesia dalam koridor negara kesatuan?

2 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENTUK Negara Kesatuan Republik Indonesia kini tengah mengalami cobaan hebat. Aceh dan Irianjaya tengah bergolak menuntut kemerdekaan. Bendera bergambar bulan-bintang di Aceh, juga Bintang Kejora di Irian, tak lagi sungkan dikibarkan di antara Merah Putih. Senjata sudah pula diangkat untuk cita-cita merdeka itu, dan korban pun sudah jatuh. Tuntutan merdeka dari Jakarta mencapai puncaknya belakangan ini. Mau bukti? Tengoklah isi pertemuan antara utusan DPRD Irianjaya dan Menteri Negara Urusan Otonomi Daerah, Ryaas Rasyid, di Jakarta, dua pekan silam. Menurut Pendeta Herman Awom, Wakil Ketua Sinode Gereja Kristen Indonesia Irian, yang ikut dalam pertemuan tersebut, sebagian besar rakyat Irian menginginkan lepas dari Indonesia. Lalu bagaimana nasib negara kesatuan ini? Pertanyaan yang lebih besar: apakah bisa dijamin bahwa bentuk kesatuan adalah bentuk final negara Indonesia? Selama 32 tahun Orde Baru, upaya menjadikan negara kesatuan sebagai bentuk final memang dilakukan secara sistematis. Amandemen UUD 45 diharamkan. Bahkan, tafsir terhadap UUD pun dimonopoli pemerintah. Upaya ini tak mencapai hasilnya. Persatuan bangsa tak dapat dicapai, yang muncul justru penyeragaman Indonesia. ''Akibatnya, semua ukuran ditentukan dari pusat, biaya dan pendapatan daerah ditentukan oleh pusat. Tidak ada pluralisme dan demokrasi," tutur Harry Tjan Silalahi, pengamat politik dan tokoh Center for Strategic and International Studies kepada Purwani Diyah Prabandari dari TEMPO. Padahal, Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa, yang memiliki keragaman etnis, budaya, agama, dan kekayaan alam. Dan penyeragaman hanya melahirkan sikap ekstrem: perasaan terkekang dan akhirnya tuntutan lepas dari Indonesia. Ini memang bukan ''dosa" bentuk negara kesatuan, tapi ''dosa" pemerintah yang melakukan penyeragaman itu. Seharusnya, pemerintah Orde Baru belajar dari sejarah Uni Soviet dan Yugoslavia, yang tercerai-berai setelah kekuasaan tangan besi yang mencengkeram keutuhan wilayah dari kedua negara yang berpenduduk multietnis ini roboh. Jika Indonesia tetap ingin bertahan dengan bentuk kesatuan, otonomi seluas-luasnya mungkin ''perekat" yang bisa diandalkan. Di luar otonomi, bentuk negara federasi sesungguhnya memungkinkan dipilih secara politis dan ekonomis. Namun, pilihan kedua dianggap para petinggi politik Indonesia masih jauh panggang dari api. Pagi-pagi, Badan Pekerja MPR telah menutup pintu kemungkinan pembentukan negara federal. Padahal, di mata ekonom Faisal Basri, otonomi seluas-luasnya atau federasi adalah setali tiga uang. ''Sebenarnya, istilah otonomi penuh atau otonomi khusus adalah cara orang untuk mengatakan negara federal dengan malu-malu," tutur Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) ini ketika dihubungi Iwan Setiawan dari TEMPO. Ekonom senior M. Sadli segendang sepenarian dengan Faisal. Menurut dia, apa yang diminta daerah adalah wewenang yang lebih besar kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Itu sebabnya bekas menteri Orde Baru ini mengusulkan agar pemberian otonomi—sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah—sebaiknya diberikan ke provinsi, bukan ke kabupaten. Usul Sadli sangat pantas didengar. Selain wilayahnya terlalu sempit, jika otonomi di kabupaten, pengawasan terhadap lebih dari 300 kabupaten Indonesia itu tentu sangat sukar dilakukan pusat. Lagipula, kabupaten terlalu sempit untuk membangun wilayah yang mandiri secara ekonomi. Sedangkan, kabarnya, pemberian otonomi di tingkat provinsi ditolak pihak militer, yang khawatir terjadi gerakan pemisahan diri dari pusat tatkala ekonomi provinsi mapan. Ekonom Iwan Jaya Azis dan pengamat ekonomi regional dari Nomura Singapore, Adrian Panggabean, mengkhawatirkan soal pengawasan jika berlaku otonomi untuk daerah. Selain soal distribusi pendapatan, misalnya melalui pembagian pendapatan daerah dan pusat dari pajak, mekanisme pengawasan perlu juga diperhatikan pusat sejak dini. Jika mendadak Aceh yang kaya minyak dan gas menerima 30 persen dari pendapatan sumber daya alamnya, Adrian tidak yakin Aceh langsung bisa mengelola dananya dengan baik. Pemerataan dana yang dikelola Pemerintah Daerah Aceh ke setiap kabupaten mesti diikuti dengan pembenahan sistem keuangan. ''Jangan sampai banyak dana yang raib," tutur Adrian. Tentu perlu waktu untuk mengatur berbagai detail otonomi itu. Itu sebabnya Sadli memberikan waktu lima tahun kepada pemerintah untuk menguji coba penerapan otonomi luas ini. Niscaya, pada titik itu masyarakat akan bisa menilai mana yang lebih cocok untuk mereka: otonomi penuh, bertahan dalam bentuk kesatuan, atau memilih bentuk yang lain. Pilihan soal bentuk negara seharusnya tidak ditabukan pada era ''baru" ini. Widjajanto, Dewi Rina Cahyani, Leanika Tanjung, Edy Budiyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus