Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Seorang warga penghuni Rumah Susun Sederhana Sewa Marunda atau Rusun Marunda di Cilincing, Jakarta Utara, Cecep, mengaku dipaksa bertahan hidup di tengah impitan polusi udara dari sejumlah obyek vital nasional. Dia menunjuk pelabuhan, kawasan industri, dan pembangkit listrik batu bara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cecep, 49 tahun, adalah warga Rusun Marunda Blok D. Dia ditemui pada Sabtu lalu di antara kabar polusi debu batu bara di rusun itu yang kembali merebak dan polusi udara di Jakarta yang kembali memburuk. Menurut dia, warga rusun dan masyarakat Marunda dipaksa berdamai dengan keadaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sampai kapan pun sepertinya akan begini: polusi dari asap pabrik membuat sesak, juga debu dari bongkar muat batu bara, dan air yang sudah tercemar limbah. Mau apa lagi kecuali bertahan,” kata Cecep.
Warga Rusun Marunda klaim telah lakukan segala cara
Cecep menambahkan, warga Rusun Marunda telah melakukan segala cara, mulai dari angkat bicara di media sosial, unjuk rasa di Balai Kota, sampai meminta advokasi Greenpeace dan Walhi menuntut hak hidup sehat, hak sosial, dan hak ekonominya. Di berharap pemerintah Jakarta segera investigasi dan memperbaiki tata kelola karena untuk relokasi lagi dirasa tidak mungkin.
Seperti diketahui, warga Rusun Marunda telah sebelumnya pindah, antara lain, dari kolong jalan tol pelabuhan. “Pemerintah wajib memberikan hak kami hidup sehat, udara sehat, air sehat, dan lingkungan sehat. Jika tidak dipenuhi maka melanggar HAM,” katanya.
Rusun Marunda terdiri dari empat klaster dengan jumlah seluruhnya 29 tower, setiap tower lima lantai. Blok A terdiri dari 11 tower, Blok B terdiri dari 10 tower, Blok C terdiri dari 5 tower dan Blok D ada 3 tower. Masing-masing tower 100 pintu atau hunian.
Rubi, 40 tahun, dan ibu dari dua anak, menceritakan bahwa dirinya sudah tinggal enam tahun. Dia menjelani relokasi dari Lodan Ancol. “Digusur dan ditempakan di sini, tiap bulan bayar 126 ribu rupiah di luar listrik dan air. Tapi sejak Covid-19 digratiskan sampai sekarang,” kata dia.
Pengelola Rusun: belum pernah terima keluhan serupa
Namun, Rusun Marunda yang telah terpasang alat pengukur polusi udara menunjukkan polusi masih dalam ambang batas Hasil pengukuran oleh Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Kepala Unit Pengelola Rumah Susun (UPRS) II Marunda Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (PKRP) DKI Jakarta, Uye Yayat Dimyati, mengungkap itu saat dihubungi, Sabtu 19 Agustus 2023. Dia membantah adanya keluhan warga rusun itu karena debu batu bara.
Uye menyatakan kalau dirinya, juga sebanyak 339 staf pengelola, seluruhnya tinggal di Rusun Marunda. Dan selama hampir dua tahun dia di sana belum pernah menerima keluhan warga gatal-gatal karena polusi debu batu bara. Uye menduga penyebabnya tak melulu karena polusi debu batu bara.
“Lagian warga yang terkena (debu) tidak menyeluruh karena posisinya biasanya ketika angin barat mendorong,” ucapnya sambil menambahkan Rusun Marunda terdiri dari 29 blok atau rukun warga.
Adapun polusi debu batu bara juga dinilainya sudah jauh berkurang sejak PT Karya Citra Nusantara ditutup dan menghentikan proses bongkar muat batu bara sejak tahun lalu. Karenanya, menurut Uye, masalah gatal-gatal pada warga rusun lebih dikarenakan kondisi lingkungan dan sanitasi pinggir pantai dan rawan yang tidak higienis.
Kalaupun masih ada debu batu bara, dia menduga sumbernya berasal dari cerobong asap industri ataupun PLTU yang berada di sekitar Rusun Marunda.
Lurah tak dapat pastikan penyebab gatal-gatal
Lurah Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, Agung, juga menyatakan tak dapat memastikan polusi debu batu bara penyebab gatal-gatal seperti yang ramai diberitakan. Menurutnya, permasalahan tersebut sudah ditangani Dinas Lingkungan Hidup. Warga juga telah dirujuk ke RSUD.
"Itu sudah lama,” ucapnya.
Wali Kota Jakarta Utara, Ali Maulana Hakim, juga mengatakan Dinas Kesehatan sudah turun tangan mengatasi permasalahan gatal-gatal yang dialami warga Rusun Marunda. Dia menyampaikan itu ketika ditemui di RPTRA Gabus Pucung, Marunda.
Ali juga tidak bisa memastikan berapa jumlah warga rusun yang mengeluhkan gatal-gatal karena polusi debu batu bara. “Dari Dinas Kesehatan sudah di ata karena Puskesmas penanganannya memang harus segera,” tuturnya.
Wali Kota Jakarta Utara: karena musim panas
Wali Kota Jakarta Utara Ali Maulana Hakim juga menyebut penyebab warga Rusun Marunda, Cilincing, Jakut mengalami gatal-gatal bukan karena debu batu bara. Menurut Ali, penyakit tersebut muncul akibat musim panas.
“Aktivitas ini (gatal-gatal) kan karena musim panas ya, sudah dicek dengan Dinas Lingkungan Hidup sumbernya,” kata dia saat ditemui di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara, Ahad, 20 Agustus 2023.
Petugas kesehatan sudah cek sumber penyebab gatal
Ali menyampaikan Dinas Kesehatan DKI dan Puskesmas Kelurahan setempat sudah mengecek sumber penyebab gatal tersebut. Dia tak mendetailkan apa hasilnya, tapi dipastikan warga gatal-gatal bukan karena polusi debu batu bara.
“Apakah penyebabnya misal gatal-gatal biasa, kan mungkin ada eksem atau karena pencemaran, itu dicek semua, tapi korban segera diobati,” tuturnya.
Awak media kemudian menanyakan apakah ada perusahaan batu bara yang beroperasi di kawasan Rusun Marunda. Ali menduga, debu yang menempel di Rusun Marunda berasal dari aktivitas bongkar muat PT Karya Citra Nusantara (KCN) di area dermaga.
Menurut dia, Dinas Lingkungan Hidup DKI tetap mengontrol apakah aktivitas PT KCN sudah sesuai dengan isi dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
“KCN bongkar muat tetap dikontrol sama Lingkungan Hidup karena itu bukan aktivitas terlarang,” ucap Ali.
OHAN B. SARDIN | DESTY LUTHFIANI