Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penari Dan Dua Lukisan
Sultan menggandrungi seni hingga mengembangkan tari Jawa. Menolak dilukis Basoeki Abdullah karena menganggapnya mata-mata Belanda.
DUA lukisan setinggi orang dewasa itu terpajang di Museum Basoeki Abdullah, Jalan Keuangan Raya Nomor 19, Cilandak, Jakarta Selatan. Yang satu menggambarkan Sultan Yogyakarta Hamengku Buwono IX dalam pakaian raja Jawa, di kanvas lain Sultan berdampingan dengan istrinya, Kanjeng Raden Ayu Nindyokirono, yang akrab dipanggil Norma.
Dengan dua lukisan itu, tercapai sudah cita-cita Raden Basoeki Abdullah, pelukis Istana Negara yang wafat pada 1993, melukis tokoh-tokoh dunia secara langsung, bukan dari fotonya. Hingga awal 1980-an, seniman kelahiran 1915 itu sudah melukis Kaisar Jepang Hirohito, Paus Yohanes Paulus II, hingga Pangeran Bernhard dari Belanda.
Melukis Sultan Hamengku Buwono menjadi tantangan Basuki karena Sultan selalu menolak tawarannya. Padahal Sultan sahabatnya di masa kecil. Mereka mulai berteman ketika Sulaiman Mangunhusodo, ayah angkat Basoeki dan putra Wahidin Sudirohusodo, orang yang mengilhami lahirnya Boedi Oetomo, pindah ke Yogyakarta karena menjadi dokter Keraton pada 1929.
Di Yogyakarta pula Basoeki mendalami lukisan bersama Gusti Raden Mas Dorodjatun, yang nanti menjadi Hamengku Buwono IX. Keduanya sama-sama senang lukis, tari, dan karawitan. "Apabila GRM Dorodjatun menari, Basoeki Abdullah yang main kendang. Sebaliknya, kalau Basoeki menari, Dorodjatun yang main kendang," tulis Suratmi dkk dalam R. Basoeki Abdullah: Sebuah Biografi dan Pengabdiannya dalam Bidang Seni Lukis (2012).
Sultan menaruh perhatian serius kepada seni tari dan menerjunkan diri menjadi penari. Semasa muda, dia sering menari wayang orang dan berperan sebagai Gatotkaca. "Hamengku Buwono IX itu pintar menari," kata Sumaryono, dosen Jurusan Seni Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta, awal Agustus lalu.
Sultan adalah penggagas lahirnya sejumlah tari, seperti Bedhaya Arya Penangsang, Bedhaya Damarwulan, dan Bedhaya Manten. Sesuai dengan tradisi, dia jadi pencetus dan para empu tari keratonlah yang mewujudkannya. "Istilahnya, tari-tarian tersebut sebagai iyasan Ngarso Dalem," ujar Sumaryono.
Sultan pula yang merombak Bedhaya Sapta. Menurut Sumaryono, tari bedhaya biasanya ditarikan oleh sembilan penari, tapi khusus Bedhaya Sapta ditarikan oleh tujuh penari. Sultan bahkan mengembangkan tari Jawa lewat Golek Menak.
Menurut Sumaryono dan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Jatiningrat, cucu Hamengku Buwono VIII, tari itu adalah adikarya Sultan. Ini bermula ketika Sultan mengundang wayang golek dari Kebumen untuk tampil di Keraton pada 1941. "Boleh dibilang, sebelumnya Keraton tidak pernah nanggap wayang golek," kata Jatiningrat, yang biasa disapa Romo Tirun.
Menurut Tirun, setelah melihat wayang kayu itu, Sultan ingin agar orang menarikannya. Kisahnya diambil dari kisah-kisah Persia dan Cina, yang diambil dari Kitab Menak. Jadilah tari Golek Menak. Empu tari keraton saat itu, KRT Purbaningrat, mulai menyiapkannya.
Butuh dua tahun bagi Purbaningrat menyiapkan Golek Menak. Baru pada 1943 wayang orang dipentaskan di depan khalayak. Itu pun belum sempurna. "Gerakan tarinya patah-patah seperti wayang golek dan baru ada beberapa pasang gaya tari," ujar Sumaryono.
Saat itu baru tercipta gaya putri dengan tokoh Dewi Sudarawerti dan Dewi Sirtupeli, gaya putra halus untuk Raden Maktal, serta gaya putra gagah untuk Prabu Dirgamaruta. Sultan berencana menyempurnakannya, tapi tertunda karena berbagai urusan politik.
Proyek itu dilanjutkan setelah 1978 dengan melibatkan berbagai lembaga seni tari, seperti Siswo Among Beksa, Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardja, Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Mardawa Budaya, Paguyuban Surya Kencana, dan ISI. Rencananya, hasilnya akan dipentaskan di Keraton pada Desember 1988.
Ada pesan khusus yang disampaikan Sultan. "Beliau minta kami memasukkan gerakan pencak silat Sumatera Barat dan bunyi kendang Sunda," kata Romo Tirun, yang juga anggota panitia penyempurna tari tersebut. Sebelum Tirun rampung menuntaskannya, Sultan wafat pada Oktober 1988.
Jejak kecintaan Sultan terhadap seni juga tampak pada sejumlah foto hasil bidikannya. Sejak masa kepemimpinannya, Keraton mengadakan berbagai latihan tari, karawitan (gamelan), dan menembang yang terbuka bagi siapa saja. Bahkan Keraton mendirikan sekolah pedalangan Habiranda.
Dengan segala kecintaan Sultan pada seni, toh tak membuat Basoeki Abdullah gampang mewujudkan mimpinya melukis tokoh dunia. Kepada Agus Dermawan T., kritikus seni dan penulis Basoeki Abdullah: Sang Hanoman Keloyongan, Basoeki mengatakan banyak tokoh yang ingin dia lukis. "Dari Soeharto sampai Pangeran Bernhard, yang jauh-jauh secara incognito datang ke studio," ucap Basoeki, seperti dikisahkan Agus pada awal Agustus lalu.
Dari daftar orang terkenal itu, hanya Sultan yang menolak dilukis. Jawabannya tak terduga dan justru terbit ketika akhirnya Sultan datang ke studio Basoeki di Cilandak pada 13 Januari 1987. Sambil melukis, Basoeki mencoba memancing alasan penolakan Sultan, tapi dia hanya mendapat jawaban yang samar-samar.
Menurut cerita Basoeki, kata Agus, Sultan rupanya punya "sakit hati politis" kepadanya sejak 1947. Ketika itu Yogyakarta diserbu Belanda dan Sultan sibuk memimpin diplomasi melawan Belanda. Basoeki malah "berasyik-asyik" dengan musuh Republik itu.
Basoeki memang sedang di Amsterdam atas undangan Menteri Luar Negeri Belanda Eelco van Kleffens, yang pernah dia lukis pada 1940, untuk mengikuti kompetisi melukis penobatan Ratu Belanda Juliana. Kompetisi itu diikuti 87 pelukis pilihan dari berbagai negara dan karya Basoeki termasuk satu dari tiga lukisan pemenangnya.
Masyarakat seni rupa Belanda terkejut dan Sultan pun kaget. "Temanku ini kecilnya Jawa sekali, Indonesia sekali. Tapi besarnya jadi antek Belanda," ujar Sultan kepada Basoeki dalam bahasa Jawa.
Basoeki sebenarnya tersinggung ketika Sultan bercerita soal kunjungannya ke Belanda itu. "Hadiah itu bukan keuntungan saya," katanya sambil terus melukis. "Ini keuntungan bagi rakyat Indonesia."
Menurut Agus, Basoeki mencoba menebus "dosa" itu ketika Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 1949. Dengan banyak koneksinya di petinggi Belanda, ia sering membocorkan informasi rahasia ke delegasi Indonesia. Ulah Basoeki itu yang memicu perceraiannya dengan Maria Michel, istri keduanya asal Belanda. "Istrinya dongkol karena Basoeki masih sangat Indonesia, jadi mata-mata pula," ujar Agus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo