Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Polemik Suksesi Di Keraton Yogya

Tanpa wasiat Hamengku Buwono IX, putra mahkota ditentukan melalui musyawarah. HB X menyiapkan putrinya sebagai pengganti.

17 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sultan Hamengku Buwono IX yakin Kesultanan Yogyakarta akan bertahan seperti ratusan tahun sebelumnya. "Akan tetapi, apakah sultan itu sekaligus menjadi Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana tercantum dalam undang-undang tentang daerah istimewa, itu terserah nanti." Begitu jawaban Sultan IX mengenai masa depan Keraton Yogyakarta seperti tertulis di biografi Tahta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX (1982, 2011).

Persoalan jabatan gubernur bukan hal yang terlalu sensitif dalam suksesi di Keraton. Hal yang paling rumit dan memunculkan polemik adalah siapa pengganti Sultan HB IX karena belum ada putra mahkota ketika ia wafat pada 2 Oktober 1988 di Washington, DC.

Memang anak laki-laki tertua HB IX, Bendoro Raden Mas Herjuno Darpito, telah bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Mangkubumi. Namun HB IX sendiri pernah menerangkan bahwa Pangeran Mangkubumi belum tentu akan mewarisi gelarnya sebagai Hamengku Buwono X.

"Apabila seseorang telah diberi gelar Mangkubumi, itu langkah pertama ia dicalonkan untuk menjadi putra mahkota. Namun apakah ia benar-benar akan menjadi putra mahkota masih tergantung penilaian. Saya menilainya, para keluarga pun menilainya, untuk nanti pada pertemuan keluarga ditetapkan apakah ia bisa diterima atau tidak sebagai putra mahkota," kata HB IX dalam biografinya.

Penentuan putra mahkota itu pun harus melalui musyawarah lantaran tak ada kejelasan soal wasiat HB IX sebelum wafat. Sultan Hamengku Buwono X, yang ketika itu bergelar Mangkubumi, menyatakan bahwa dialah yang mengumpulkan saudaranya dari trah HB IX dan HB VIII dalam sebuah forum untuk menentukan sultan selanjutnya.

Salah satu anak HB IX, Gusti Bendoro Pangeran Haryo Hadisuryo, menyebut forum itu dengan istilah Dewan Saudara. "Kami (Sultan dan Dewan Saudara) haknya sama. Hanya, kedudukan Sultan lebih tinggi sedikit," ujar Hadisuryo setelah bertemu dengan HB X di Keraton Yogyakarta pada 21 Mei 2015.

Dalam artikel Tempo yang terbit 9-14 Januari 1989 terungkap, musyawarah Dewan Saudara itu berlangsung pada Senin siang, 9 Januari 1989, di Gedong Jene, tempat tinggal Sultan di Keraton Yogya, tepat pada 100 hari wafatnya HB IX. Rapat itu hanya dihadiri oleh keluarga istana: putra-putri, istri, dan saudara-saudara kandung Sultan. Semuanya berjumlah sekitar 30 orang. Mangkubumi siang itu bertindak sebagai pemimpin sidang.

Pertemuan yang memakan waktu 2 jam 15 menit itu berlangsung secara santai. Namun sumber Tempo mengungkap adanya dinamika dalam rapat tersebut. Dengan menyebut alasan demokrasi, misalnya, Ratu Anom mencoba menampik "calon tunggal" Mangkubumi. Anak tertua HB IX itu menghendaki agar setiap putra tertua dari keempat istri Sultan diizinkan menjadi calon karena punya hak yang sama.

Namun usul itu ditolak oleh Pangeran Puruboyo, kakak HB IX, karena menyimpang dari adat. Tapi Pangeran Yudaningrat, anak HB IX dari istri ketiga, keberatan terhadap dalih pangeran tua itu. Dia merujuk pada penobatan kakeknya, HB VIII. Tapi, menurut Puruboyo, pengangkatan itu merupakan kontrak tak tertulis antara HB VII dan penguasa Belanda.

Lalu Dipoyono, adik HB IX, datang dengan sebuah kesaksian. Mendiang Sultan, tutur Dipoyono, pernah mengutarakan soal suksesi kepada Pangeran Bintoro (almarhum). HB IX mengatakan bahwa Mangkubumi telah dipersiapkan menjadi putra mahkota. Sebelum HB IX meninggal, wasiat abangnya itu diceritakan Pangeran Bintoro kepada Dipoyono.

Kesaksian Dipoyono ini diperkuat oleh Kanjeng Raden Ayu Nindyokirono alias Norma Musa. Istri kelima HB IX itu memberikan kesaksian bahwa suaminya pernah mengutarakan rencananya: kalau Mangkubumi menjadi HB X, Hadikusumo menggantikannya sebagai pangeran lurah.

Pendapat-pendapat berikutnya kian mengukuhkan posisi Mangkubumi. "Tak ada yang berani mendebat," kata sumber Tempo.

Akhirnya, pada malam hari, acara yang ditunggu-tunggu itu pun terjadi. Pengumuman tentang nglincir keprabon, pewarisan takhta, dibacakan menjelang acara tahlilan oleh Gusti Bendoro Pangeran Haryo Hadikusumo, sebagai Pengageng Sri Wandowo, dalam bahasa bagongan. Isinya: Pangeran Mangkubumi ditetapkan sebagai Adipati Anom alias putra mahkota. Pada 7 Maret 1989, dia pun naik takhta HB X.

Situasi yang rumit pun terulang di masa HB X ini. Sebab, istri satu-satunya yang sekaligus sebagai permaisuri, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, melahirkan lima anak yang semuanya perempuan. Padahal paugeran keraton mengharuskan penerus sultan berkelamin laki-laki.

Menurut cucu HB VIII, Kanjeng Raden Tumenggung Jatiningrat atau biasa dipanggil Tirun, suksesi sudah diatur dalam paugeran Keraton Yogyakarta yang diatur dan dicatat dalam Serat Puji dan Taju Salatin. Keduanya dibuat oleh HB V seusai Perang Diponegoro pada 1830.

HB X ternyata sudah menyiapkan penggantinya. Ia menyampaikan Dhawuh Raja di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta pada 5 Mei 2015 siang. Melalui penjelasan Sultan kepada publik yang disampaikan di Ndalem Wironegaran pada 8 Mei 2015 sore, "Berdasarkan Dhawuh Raja, telah dilakukan penggantian nama dan gelar anak sulungnya menjadi Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram."

Sultan juga menjelaskan isi Sabdaraja yang dikeluarkannya di Bangsal Kencana pada 31 April 2015, yang mengganti namanya menjadi Sri Sultan Hamengku Bawono Kasepuluh. "Keduanya itu adalah perintah Gusti Allah melalui ayah dan leluhur saya. Itu ada satu hari sebelumnya (Sabdaraja dan Dhawuh Raja)," ucap Sultan.

Penetapan ini membuat heboh karena sebelumnya tak ada pembicaraan yang melibatkan keluarga ataupun trah HB IX. Serba mendadak karena perintah yang diklaim dari Tuhan itu juga mendadak. Sabdaraja dan Dhawuh Raja dituding adik-adiknya batal demi hukum karena melanggar paugeran.

Sultan tak punya anak laki-laki, semestinya yang menggantikannya adalah adik laki-lakinya. Tirun mencontohkan HB V, yang digantikan oleh adik laki-lakinya dari satu ibu yang sama. "Kalau enggak ada, bisa yang beda ibu. Dan tidak harus yang tertua," kata Tirun. Namun penggantian nama Pembayun menjadi Mangkubumi menutup peluang itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus