Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Menjabat Komisaris Utama Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama dihadapkan pada tugas mengerem laju impor minyak.
Ahok sempat ditawari menjabat di tiga perusahaan pelat merah lainnya.
Tugas berat menanti Basuki: megaproyek kilang Pertamina.
KAMIS pagi menjadi waktu terpenting bagi Basuki Tjahaja Purnama dalam tiga bulan terakhir. Dia mesti menghadiri rapat pukul 07.00 di kantor pusat PT Pertamina (Persero) di kawasan Gambir, Jakarta Pusat, jika tak ingin ketinggalan laporan terbaru tentang berbagai program perusahaan dari dewan direksi. Pertemuan rutin antara komisaris dan direksi Pertamina itu dimajukan dua jam dari kebiasaan sebelumnya agar tak bertabrakan dengan agenda lain manajemen. “Kan, gue biasa stand by jam tujuh di DKI,” kata Ahok—panggilan akrab Basuki—Rabu, 12 Februari lalu.
Laporan dari direksi diperlukan Ahok, yang punya sederet pekerjaan rumah sejak didapuk menjadi komisaris utama perusahaan vital negara tersebut pada akhir November 2019. Keamanan produksi, misalnya, menjadi perhatian utama mantan Gubernur DKI Jakarta ini. Maklum, sektor minyak dan gas bumi memang menjadi penentu nasib neraca pembayaran.
Dua tahun terakhir, defisit transaksi berjalan (current account deficit) tergolong tinggi—bahkan sempat melampaui batas aman 3 persen dari produk domestik bruto. Impor minyak, akibat produksi dalam negeri yang tak pernah sebanding dengan kebutuhan nasional, merupakan salah satu penyumbang defisit terbesar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo