Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para dokter menjajal berbagai macam obat untuk menyembuhkan pasien yang terinfeksi Covid-19.
Mereka mencoba dari obat HIV sampai Ebola, remdesivir.
Penelitian baru selesai April nanti.
RATUSAN pakar kesehatan dari seluruh penjuru dunia berkumpul di markas besar Badan Kesehatan Dunia (WHO) di Jenewa, Swiss, pertengahan Februari lalu. Mereka berembuk untuk mengatasi Covid-19, nama resmi buat virus corona baru yang sedang mewabah di Cina. “Kita perlu bersatu melawan musuh ini,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus seperti dikutip dari situs WHO, Rabu, 12 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lebih dari 300 ahli kesehatan yang datang ke Jenewa menyelaraskan langkah untuk menghadapi Covid-19, termasuk memetakan prioritas penelitian virus tersebut. Ghebreyesus mengatakan dibutuhkan waktu sekitar 18 bulan untuk membuat vaksin pertama virus corona Wuhan itu. Ia meminta negara anggota WHO bekerja seagresif mungkin dan melihat virus tersebut sebagai musuh publik nomor wahid.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belum ditemukan vaksin ataupun obat dari virus yang sudah menjangkiti 60.363 penduduk dunia dan merenggut nyawa 1.370 orang tersebut. Para dokter menjajal berbagai cara untuk menyembuhkan pasien yang kadung tertular wabah itu. Salah satunya dengan remdesivir, obat yang semula dikembangkan untuk melawan virus ebola dan marburg --yang mirip dengan ebola--oleh perusahaan pengembangan obat, Gilead Sciences, yang berbasis di California, Amerika Serikat. Dari hasil pengujian selama wabah ebola di Republik Demokratik Kongo pada 2018, pemerintah Kongo mengumumkan obat tersebut tak cukup efektif memerangi ebola.
Antivirus yang sebenarnya sedang dalam tahap penelitian ini dipakai oleh para dokter di Washington untuk merawat pasien pertama yang terinfeksi virus Covid-19 di Amerika, pertengahan Januari lalu. Pasien laki-laki berusia 35 tahun yang mereka tangani sudah mengalami demam, batuk, mual, dan muntah ketika mulai dirawat di rumah sakit. Ia diberi obat antimual, obat antinyeri, dan obat antiperadangan, tapi gejalanya memburuk.
Setelah lima hari pria itu terbaring di rumah sakit, paru-parunya mulai terserang pneumonia. Dokter memberinya antibiotik, tapi peradangan paru-parunya malah makin buruk. Mereka akhirnya mencoba remdesivir. Dari laporan tim dokter yang dimuat di The New England Journal of Medicine, 31 Januari lalu, kondisi pasien tersebut perlahan-lahan membaik.
Percobaan yang sukses ini mendorong para peneliti Cina mengujikan remdesivir di laboratorium. Mereka mengetes kemujarabannya untuk melawan Covid-19 di kultur sel manusia. Obat ini terbukti mampu menekan virus yang berasal dari Wuhan tersebut.
Uji coba dalam skala besar kemudian dilakukan. Cina mengetesnya pada 452 pasien yang sudah menunjukkan gejala pneumonia. Separuh pasien diberi remdesivir, separuhnya lagi diberi plasebo sebagai pembanding. Percobaan yang dimulai pada 6 Februari tersebut baru akan berakhir pada 3 April nanti.
Tedros Adhanom Ghebreyesus./REUTERS/Denis Balibouse
Kondisi wabah dan hasil penelitian sementara itu mendorong Wuhan Institute Virology meminta paten atas obat tersebut untuk Cina. Paten itu akan berdampak pada negosiasi pemerintah Cina mengurus pembayaran obat tersebut. Namun Gilead mengajukan permohonan paten obat tersebut sejak 2016 untuk virus corona dan sampai sekarang belum ada keputusan.
Sebelum memakai remdesivir, Komisi Kesehatan Cina mengumumkan mereka menggunakan kombinasi obat human immunodeficiency viruses (HIV), lopinavir dan ritonavir, yang dijual dengan nama dagang Kaletra dan Aluvia. “Remdesivir ataupun obat HIV dipakai untuk menekan virus yang ada di dalam tubuh,” ucap Kepala Lembaga Eijkman, Amin Soebandirio, Kamis, 6 Februari lalu.
Komisi Kesehatan Cina memulai studi obat tersebut sejak 18 Januari lalu pada 200 pasien setelah ada pasien yang dilaporkan sembuh karena ramuan tersebut. Para pasien ini akan dibandingkan dengan penderita yang tak diberi penangkal virus HIV itu. Meski percobaan ini belum diketahui hasilnya, gara-gara pengumuman itu, obat tersebut diburu banyak orang.
Agen obat Cina, Gatsby Fang, salah satu yang menangguk untung. Ia menjual tiap botol obat itu seharga 600 yuan atau sekitar Rp 1,17 juta, dengan keuntungan 200-300 yuan. Stoknya ludes hanya dalam dua hari. Otoritas kesehatan Cina memperingatkan bahwa obat HIV itu harus diresepkan oleh dokter serta memiliki efek samping di antaranya diare, mual, muntah, dan menimbulkan kerusakan hati.
Dokter spesialis paru Erlina Burhan ragu terhadap kemampuan obat HIV itu untuk membunuh virus Covid-19. Tanpa diberi obat, kata dia, tentara imun dalam tubuh akan melawan virus yang masuk secara alami. Maka, pada orang dengan daya tahan tubuh bagus, virus tersebut akan mati. Terlebih belum ada bukti klinis obat HIV itu dapat menyembuhkan korban yang terkena Covid-19. “Belum pasti apakah mereka sehat karena daya tahan tubuh atau karena obat,” ujarnya.
Sampai Kamis, 13 Februari lalu, belum ada laporan pasien yang terkonfirmasi positif terjangkit Covid-19 di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan sudah memeriksa 71 spesimen dari pasien yang diduga terjangkit virus tersebut. Sebanyak 67 spesimen dinyatakan negatif, sisanya masih dalam proses pemeriksaan.
Kementerian Kesehatan juga mengkaji spesimen yang dikirim dari Bali setelah menerima laporan ada warga negara Cina, Jin, yang terinfeksi Covid-19 sepulang dari Pulau Dewata. Ia sampai di Bali pada 12 Januari dan baru pulang dengan penerbangan Bali-Shanghai pada 28 Januari. Sampai sehari sebelum kepulangan Jin, Lembaga Penelitian dan Pengembangan menerima 14 spesimen dari Bali, 12 di antaranya milik warga negara asing. Semua hasilnya negatif. Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Achmad Yurianto menduga Jin tertular virus itu di Shanghai. “Dari bandar udara, ia naik kendaraan umum, berjalan ke sana-kemari. Sangat mungkin terjadi penularan di sana,” katanya.
Karena belum ditemukan obat untuk Covid-19, Kementerian Kesehatan mengeluarkan panduan agar para dokter memberikan obat buat meringankan gejala jika ditemukan pasien yang positif terinfeksi virus tersebut. Obat yang dimaksud adalah obat penurun panas untuk menurunkan demam dan ventilator buat membantu pernapasan jika pasien mengalami sesak napas.
Untuk urusan vaksin, Lembaga Eijkman menggagas pembuatannya bersama PT Bio Farma. Menurut Kepala Bidang Penelitian Translasional Eijkman, David Handojo Muljono, mereka sudah melakukan pembahasan awal dengan Bio Farma. Kalau di Indonesia belum tersedia isolat virus baru tersebut, mereka bisa memakai data virus yang ada di bank gen dunia. “Eijkman juga melakukan uji coba pengembangan obat herbal Indonesia yang bisa meningkatkan imunitas tubuh, seperti curcumin,” ujarnya.
Menurut guru besar biologi molekular Universitas Airlangga, Surabaya, C.A. Nidom, selain mendongkrak daya tahan tubuh, curcumin terbukti meminimalkan kerusakan sel paru akibat pneumonia. “Curcumin ada di bumbu masakan yang biasa dipakai, seperti kunyit, temulawak, dan jahe,” katanya.
NUR ALFIYAH (PHARMACEUTICAL TECHNOLOGY, REUTERS, JAPAN TIMES)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo