Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Jakarta
Kemajuan ekonomi suatu daerah sesungguhnya merupakan hasil kerja banyak faktor. Sebagian maju berkat anugerah sumber daya alam atau memiliki posisi strategis dalam lanskap geografi-ekonomi tertentu. Sebagian lagi karena daerahnya memang sudah berkembang, terutama kota berbasis industri, jasa, dan perdagangan, dengan skala ekonomi besar dan captive market yang solid terbentuk.
Namun, dari 542 daerah otonom di Indonesia hari ini, tak banyak yang punya "keberuntungan" demikian. Pilihan yang tersedia pun terbatas, termasuk ruang fiskal dan kapasitas pembiayaannya. Kendala struktural, kesulitan geografis, dan kompleksitas masalah menjadi tipologi khas yang melekat pada daerah yang terbelakang. Negara, di daerah ini, terasa absen atau justru hadir sebagai faktor negatif bagi keseharian rakyat.
Di tengah keterbatasan dan keterbelakangan itu, kehadiran sejumlah kepala daerah dan desain tata kelola ekonominya yang berbeda terasa menjanjikan. Sebagian daerah itu direkam dalam Tempo edisi ini. Tekad mereka seolah-olah hendak menggenapi ungkapan penuh optimisme mahaguru manajemen Peter F. Drucker (1994): sesungguhnya tak ada negara/daerah yang miskin, kecuali yang tak terurus/terkelola (There will be no poor countries. There will only be ignorant countries).
Konstruksi desentralisasi kita menempatkan para kepala daerah dalam peran sentral. Pengelolaan fiskal serta urusan dan segala modal penting berotonomi ada di tangan mereka, khususnya bupati/wali kota. Kalau material kerja mengalir dari atas (pusat), legitimasi kepemimpinan didesain berbasis pada rakyat lewat pemilihan kepala daerah langsung. Dengan itu, penyelenggaraan pemerintahan tak semata birokratis dan top-down, tapi juga sesuai dengan konteks lokal spesifik dan kehendak rakyat. Garis mandat dan akuntabilitas menjadi jelas.
Sejauh ini, rahim daerah telah melahirkan sejumlah pemimpin yang gemilang. Mereka bahkan bisa mengisi formasi kepemimpinan regional hingga nasional. Sosok Joko Widodo, yang merangkak dari posisi wali kota, gubernur, dan kemudian presiden, sudah jadi klasik, melegenda. Namun masih tercatat sekitar 30 figur lain, dengan derajat kapasitas beragam, tumbuh di segala pelosok negeri.
Pertama, mereka paham kepemimpinan adalah soal daya pengaruh yang menggerakkan. Tak hanya berhasil membangun suatu pemerintahan bekerja, tapi juga menggerakkan energi publik (partisipasi dan movement). Mereka berhasil membalikkan corak kepemimpinan birokratis. Model yang terakhir ini masih dipraktekkan di sebagian besar daerah saat ini. Mereka melupakan interaksi dan unsur movement dalam pembangunan, bahkan dukungan rakyat dimobilisasi melalui jalur keras rezimentasi dan manipulasi sistematis.
Kedua, mereka memiliki ketahanan diri dan keutamaan moral yang otentik. Desentralisasi dilihat sebagai cara baru berpemerintahan. Birokrasi "bersih dan melayani" menjadi orientasi baru yang membalikkan tabiat lama sebagai rezim pungutan (dari pajak/retribusi hingga pungutan liar dan upeti) dan lekat budaya kekuasaan (power culture). Inefisiensi dan korupsi ditekan, elite pemburu rente (partai politik/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, birokrat, pebisnis) dibatasi ruang geraknya.
Ketiga, mereka menghadirkan inovasi dan bukti hasil kerja mengesankan. Jelas, belenggu birokrasi kolot hanya membawa pemerintahan gagal bergerak dan menahan daerah beranjak ke level capaian yang lebih tinggi. Transformasi dilakukan: langgam business as usual dan pola menjauhkan jarak birokrasi dari realitas persoalan dibalik dengan bekerja di tengah dan bersama rakyat, jemput bola (kantor keliling), dan menerobos kebuntuan inovasi bernilai tambah besar. Pelayanan dasar (kesehatan, pendidikan) mulai diakses luas, ekonomi mikro tertata dan produktif, transparansi dan manajemen profesional dalam keuangan menjadi standar baru, dan seterusnya.
Sejumlah perubahan dalam karakter kepemimpinan dan kepemerintahan tersebut perlahan meresapi cara pemerintah daerah mengatur strategi ekonomi mereka. Mereka sadar, desentralisasi bukan hanya sekadar soal menata ulang relasi pusat-daerah (decentralization within the state), melainkan juga perubahan paradigma pembangunan berpusat negara (state-led development) menjadi struktur kesempatan terbuka bagi masyarakat (swasta). Fakta menunjukkan kapasitas fiskal pemerintah daerah amat terbatas (rerata 65 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah habis terpakai untuk gaji dan operasional birokrasi), sementara orientasi baru pemerintahan modern juga sudah bergeser dari agen pembangunan ke penyedia layanan dan kontrol.
Di level daerah, guna mendorong pertumbuhan swasta, pemda berfokus pada reformasi tata kelola. Produktivitas usaha sulit meningkat jika salah urus dan sumbatan (bottleneck) dalam nadi birokrasi tak diurai. Kualitas tata kelola berkorelasi erat dengan kualitas layanan usaha/publik. Perbaikan economic-governance dilihat sebagai prasyarat tumbuhnya ekonomi secara sehat, produktif, dan berkelanjutan. Level intervensinya ada pada kapasitas peran kebijakan dan layanan usaha yang disediakan pemda dalam memfasilitasi bekerjanya investasi.
Studi KPPOD (TKED, 2012) menunjukkan tritunggal kinerja birokrasi, biaya transaksi, dan regulasi usaha sama krusialnya dengan soal infrastruktur dan akses lahan. Bahkan, mengingat keputusan lokasi investasi tak lepas dari soal sentimen dan persepsi, ketiga elemen ini harus benar-benar bermutu tinggi lantaran kesan pertama dan cerminan wajah pemda dapat dibaca on the spot oleh para investor pada profil birokrasi dan regulasi yang ada. Maka strategi kembar, debirokratisasi (efisiensi business-process perizinan) dan deregulasi (simplifikasi jenis/jumlah izin), menjadi agenda nasional yang terus didesakkan menjadi arus utama reformasi sektor publik di daerah.
Capaian umum sejauh ini memang belum optimal. Desentralisasi tampaknya membawa tekanan baru tersendiri: dalam kapasitas fiskal terbatas, pemda eksesif menggali potensi keuangan daerahnya sehingga gampang tergelincir untuk mengejar target pendapatan asli daerah.
Hasil review regulasi menemukan kisaran 30 persen peraturan daerah dinilai bermasalah. Kementerian Keuangan telah mengumumkan hasil kajiannya atas 13.252 peraturan daerah pajak/retribusi. Sebanyak 4.885 (35 persen) dinilai bermasalah dan mesti dibatalkan. Sayangnya, keputusan pembatalan oleh Menteri Dalam Negeri hanya mencakup 1.843 peraturan daerah, sementara sisa 3.042 tetap dibiarkan berlaku. Bahkan pada 2010-2014, saat otoritas pembatalan diangkat ke Presiden, justru tak satu pun peraturan daerah dibatalkan.
Adapun dalam ihwal debirokratisasi, pelembagaan reformasi perizinan dalam bentuk pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) tampaknya masih lebih pro forma. Secara kuantitas, sejauh ini memang "tercatat" 31 provinsi dari total 34, 363 kabupaten (total 413), dan 97 kota (total 98) telah mendirikan PTSP. Namun yang efektif—berkinerja baik: percepatan waktu, kepastian biaya, dan kemudahan prosedur—tampaknya tak lebih dari 10 persen.
Pelayanan terpadu ini masih belum menjadi titik akses tunggal untuk memulai (entry point), memproses (business-process), dan berakhirnya (exit point) pengurusan izin. Banyak instansi sektoral, bahkan sekretaris daerah/bupati/wali kota, yang masih memegang sendiri stempel. Uang dan kuasa di balik perizinan memang selalu terlalu mewah untuk begitu saja dilimpahkan ke PTSP.
JALAN perubahan memang jalan panjang. Namun sebagian daerah sudah menggeliat di tengah segala situasi dan pilihan sulit. Satu hal diyakini pasti: perubahan itu sesuatu yang patut diperjuangkan, dengan segala usaha yang ditentukan oleh mereka sendiri. Pemimpin daerah telah meretas jalan perubahan, menjadi teladan dan memandu warga dalam lingkaran pengaruhnya, perlahan membawa daerahnya beranjak ke level kemajuan baru.
Tak jadi soal seberapa besar capaian yang diraih, tak perlu pula untuk dibandingkan dengan kemajuan daerah lain yang berlimpah anugerah alam atau sudah "kadung" maju, retasan jalan yang menjanjikan (promising) dan tekad kemajuan membaja adalah modal dasar mahapenting. Bahkan sudah merupakan bukti perubahan itu sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo