Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tubuhnya penuh tato. Maklum, dia pernah menjadi seniman tato. Dia juga anggota komunitas punk di Bekasi. Semua atribut dan kehidupan anak jalanan itu membawa Iwan, yang bernama asli Zamzami Ridwan, enggan melaksanakan salat berjemaah di masjid. "Saya takut dianggap ingin mencuri kotak amal karena tato ini," kata Iwan, 35 tahun, yang lebih dikenal dengan nama Iwan Daki, Kamis lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suatu ketika di bulan Ramadan, beberapa tahun lalu, Iwan tiba-tiba mendapat sebuah bayangan akan neraka. Kehidupan liar sehari-harinya, seperti tenggelam dalam minuman keras dan "tak pernah takut berbuat dosa", kata Iwan, serentak muncul di benaknya. Seketika itu juga ia memutuskan untuk bertobat. Ia pun meminta maaf sembari menangis kepada sang istri dan keluarganya pada keesokan harinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertobatan yang ia pahami sebagai jalan hijrah itu kemudian mengubah seluruh hidupnya. Iwan, yang semula larut dalam kehidupan jalanan, justru sibuk mengajak teman-temannya di komunitas punk untuk insaf. Komunitas punk di Bekasi itu pun berubah nama menjadi Punkajian. "Dulu kami sama-sama bandel, bajingan. Kami mengajak kembali ke jalan yang benar," ujarnya.
Secara harfiah, hijrah berarti berpindah-bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dari perilaku lama ke perilaku baru, atau dari mentalitas lama ke mentalitas baru. Dalam peristiwa yang dialami Iwan, ia berpindah dari kesadaran dan perilaku yang lama ke kesadaran yang baru. Iwan, misalnya, mulai memanggil guru ngaji ke rumahnya untuk memperdalam agama. Ia juga meninggalkan profesinya sebagai seniman tato yang mendatangkan uang besar ke usaha baru: membuka bisnis kuliner dengan menjual kebab frozen dan ayam bakar.
Iwan kini lebih dikenal sebagai "Iwan Dai". Bagaimana dengan tatonya? Ia pernah mencoba menghapus tato-tato di tubuhnya, tapi rasanya sakit. Sedangkan ia merasa dalam ajaran Islam dilarang menyakiti diri sendiri. "Apakah ibadah saya tidak sah? Saya serahkan saja kepada Allah," kata dia.
Momen enlightenment seperti yang dialami Iwan Dai itu kini menerpa banyak anak muda. Sejumlah kegiatan dakwah yang menyasar anak muda agar lebih mendalami ilmu agama Islam kini bertebaran. Salah satu yang terbesar adalah Hijrah Fest, yang kini memasuki tahun kedua. Pada hari terakhir penyelenggaraan tahun lalu, pengunjung yang datang mencapai 12 ribu orang dan sebagian besar merupakan generasi milenial.
Salah satu yang datang adalah Rahmat Hidayat, 22 tahun, wiraswasta. Rahmat mengatakan datang ke Hijrah Fest tahun lalu untuk memperbaiki diri dan mendapatkan ilmu agama dari para ustad yang mengisi acara. Ketertarikannya adalah karena acara ini berskala besar dengan pemateri dan pengisi acara yang baik. "Karena membahas seputar apa itu hijrah dan diisi dengan kajian ilmu agama," kata dia, Kamis lalu.
Dengan tiket masuk Rp 80 ribu, ia merasa sudah mendapatkan akses, fasilitas, dan materi-materi acara yang baik. Sepulang dari acara itu, Rahmat merasa mendapatkan ketenangan hati dan keyakinan untuk terus memperbaiki diri.
Selain itu, ia merasa semakin bersemangat menimba ilmu agama dengan datang ke kajian-kajian di berbagai komunitas. Tahun ini, ia pun tak ragu untuk kembali datang ke Hijrah Fest yang akan diadakan pada 24-26 Mei mendatang. "Insya Allah saya akan hadir di hari ketiga dengan sahabat saya," ucapnya.
Kesuksesan Hijrah Fest tahun lalu membuat panitia kembali menyelenggarakannya. Tema yang diangkat adalah Unforgettable Hijrah dan akan menghadirkan berbagai kegiatan, seperti tausiah agama, sesi berbagi kisah dari artis yang sudah hijrah, serta berbagai pameran.
Presenter Arie Untung, salah satu inisiator kegiatan ini, mengatakan panitia akan menyulap venue layaknya sebuah masjid. "Acara utamanya menunggu waktu salat. Di sela-selanya diberikan acara menarik," kata dia saat ditemui di Jakarta, Selasa lalu.
Arie mengatakan sejak awal timnya sudah menyasar para milenial. Pendekatannya adalah menjalankan komunikasi dengan bahasa anak muda dan dengan hal-hal yang disukai anak muda. Ia melihat sejumlah acara keislaman terkesan monoton dan satu arah, yaitu dari ustad ke jemaah. "Kami mau jual ke anak muda sekarang, ada juga pengajian yang seperti kehidupan mereka sekarang."
Fenomena hijrah anak muda itu disebut Arie sebagai tren yang baik. Baginya, hijrah adalah sebuah insting naluriah yang akan dialami oleh semua manusia, yakni bergerak dari kurang baik menjadi baik. Ia mengungkapkan hijrah bukanlah sesuatu yang dilakukan hanya pada satu momen tertentu, tapi setiap hari dengan terus mencari pencerahan.
Arie bercerita, pada 2004, ia diajak mendalami kepercayaan lain. Saat membaca kitab agama lain, keimanannya akan agama yang dari dulu dianutnya malah menebal. Akhirnya sejak saat itu ia terus mencari Islam dan menemui sejumlah orang untuk mengetahui lebih lanjut mengenai agama. Ia menuturkan, dalam pencarian yang berlika-liku itu keimanannya malah semakin tebal. "Ibaratnya saya dapat (hidayah) sudah di pinggir pagar."
Bekas video jockey di MTV itu menjalaninya bukan tanpa halangan. Ia sempat galau lantaran pekerjaan. Berbagai tawaran pekerjaan yang berseberangan dengan kepercayaannya datang dengan jumlah uang yang besar. Perusahaan event organizer yang ia pimpin itu mendapat berbagai proyek dengan pendapatan yang lebih besar dibanding honornya dari dunia hiburan. Tapi ia menolaknya.
Istrinya, kata Arie, juga ditawari dua kontrak iklan yang menggiurkan. "Kerjaan pada hilang. Cuma, memang disuruh sabar sebentar saja. Pekerjaan balik lagi beberapa saat kemudian," ujar Arie yang kini aktif di pengajian artis yang dinamakan Musawarah.
Kendala dalam kontrak kerja juga sempat dialami artis Chacha Frederica. Tapi, setelah melalui proses panjang, akhirnya masalah itu bisa ia atasi. Chacha pun merasa semua rezekinya sudah dilebihkan oleh Tuhan dan ia bersyukur atas itu.
Perubahan terjadi dalam dirinya saat ia pergi ke Yerusalem dan Madinah pada 2015. Di Madinah, ia pergi berbelanja mukena dengan mertuanya. Saat itu lengannya sedikit tersingkap. Sang mertua memanggilnya dan memberikan kode untuk menutupi auratnya. Di situ ia menemukan titik balik. "Itu titik di mana aku merasa berhijab sesuatu hal yang keren." Hasratnya mendalami Islam semakin tebal ketika mengikuti kajian yang dibawakan Syekh Yusuf Estes, ulama asal Amerika Serikat.
Keluarga pemain sinetron ini tak kaget melihat perubahan yang ia alami. Sejak berusia 9 tahun, kata Chacha, ia sudah melakukan pencarian agama. Saat berusia belasan tahun, ia sudah membaca buku The Bible, the Qur’an, and Science. "Secara umum memang aku mencari tahu melalui buku," tuturnya.
Meski besar di dunia hiburan, Chacha mengaku tak sampai terjerumus ke dalam pergaulan bebas karena ibunya selalu mendampinginya ke mana saja. Ini merupakan syarat dari ayahnya ketika dia memulai terjun ke dunia hiburan.
Perubahan paling signifikan yang dirasakannya adalah semakin sering mengingat soal kematian. Baginya, terus-menerus mengingat kematian adalah cara untuk menjinakkan kesombongan yang ada di dirinya. "Buat apa sombong? Masuk liang kubur cuma bawa selembar kain, kok," katanya.
Ketika disinggung soal hijrah sebagai sebuah tren, Chacha mengatakan hijrah harus masuk dalam kegiatan keseharian, bukan sekadar tren. Pendekatan kepada Tuhan harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Di kalangan komunitas punk seperti yang diikuti Iwan Dai, cara mempertebal keimanan adalah dengan membentuk Punkajian yang memiliki program bernama Dakwah on the Street. Program itu sudah digelar di Bogor dan Bintaro. Hal itu disebutkan oleh Ketua Punkajian, Miki, 31 tahun. Salah satunya saat mereka tidak sengaja bertemu dengan seorang pengamen di angkutan umum di Bogor. Lalu pengamen itu mereka ajak ngobrol dan ternyata memang memiliki keinginan untuk mendalami agama. Mereka pun merangkul.
Punkajian, kata Miki, memiliki kegiatan bernama Pondok Hijrah. Mereka menyewa tiga rumah petak untuk mengkaji agama serta belajar mengaji akidah. Sekali dalam sebulan, mereka juga membuat kajian di masjid dengan mengundang ustad-ustad kondang. "Ada juga Nongkrong Berfaedah. Kajian juga, tapi dilakukan di kafe. Jadi, lebih santai. Semua biaya kami (kumpulkan) kolektif saja."
Di kalangan band metal, ada Derry Sulaiman, mantan gitaris Betrayer yang saat ini sibuk berdakwah. "Perpindahan" itu tak hanya dialami Derry. Bekas vokalis band Error Brain, Teddy Rustandi, juga mengalaminya. Selama menjadi vokalis grup musik beraliran grindcore, Teddy berpenampilan dengan gaya rambut Mohawk dan memakai pakaian serba hitam. Kini, ia akrab dengan peci yang menutupi rambutnya serta janggut yang dipanjangkan.
Perjalanan Teddy meninggalkan dunia musik underground memang cukup panjang. Dua kali tergabung dalam band beraliran cadas, yakni Error Brain dan Tolak Tunduk, membuat Teddy merasa tak cukup. Dia justru terus merasakan dahaga untuk terus berkarya di jalur musik independen. Bahkan, Teddy mengaku sempat terbang ke luar negeri hanya untuk menghadiri konser salah satu kelompok musik thrash metal asal Amerika Serikat, Slayer.
Namun, setelah menonton konser, Teddy kerap dihantui kebosanan dengan rutinitas yang banal dan mudah ditebak. Walhasil, pada awal 2014, dia mulai terbuka untuk ngobrol dengan teman dekatnya yang sudah terlebih dulu hijrah. "Saya mengobrol dan berkeluh kesah dengan ayah (Donny Supriadi, eks vokalis Jeruji). Dia mulai mengajak saya untuk main ke Al-Latief (masjid tempat kajian gerakan pemuda hijrah)," ucapnya.
Pada 2008, Teddy dan Donny pernah mendirikan studio rekaman yang banyak digunakan sebagai tempat rekaman sejumlah band independen Bandung. Justru, ketika usaha sedang berada di puncak, ia menutup perusahaan itu dan menjual seluruh asetnya. "Saya berpikir apa mau begini terus, dengan kenakalan yang enggak usah dijelaskan, ya?"
Kehidupan masa lalunya terus menghantuinya, terutama bagaimana ia merasa kehilangan penggemar. Cibiran dari sana-sini luber untuk Teddy. Dari rekan-rekannya di dunia tarik suara hingga tetangganya pun ikut menghakimi Teddy yang memilih untuk mengubah jalan hidupnya. "Bahkan guru SMA saya, pas ketemu, bilang saya ikut ISIS. Padahal saya berharap kalau ketemu itu bertukar sapa," ujarnya.
Namun perubahan Teddy mendapat sinyal positif dari keluarga besarnya. Latar belakang keluarga Teddy merupakan keluarga yang cukup taat. Sejak kecil Teddy pernah menjadi santri di Pesantren Daarut Tauhid milik Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym.
Teddy termasuk yang tidak bermasalah dalam urusan materi saat berhijrah. Ia menuturkan penghasilan bermain musik tidak seberapa dibanding menjalankan bisnis keluarganya di bidang kuliner. Selain menjalankan bisnis keluarga, kini aktivitas Teddy lebih banyak diluangkan untuk dua anak dan istrinya di rumah. Ia pun rutin mengikuti kajian keislaman. "Menuntut ilmu kan sampai ke liang lahat. Tak ada awal dan ujungnya." ASTARI PINASTHIKA SAROSA | AMINUDDIN A.S | DIKO OKTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo