Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Generasi Kedua Mencari Hidup

Anak-anak para eksil lahir dan tumbuh dalam lingkungan budaya berbeda.

19 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Cerita generasi kedua anak para eksil.

  • Mereka hidup dengan latar belakang budaya berbeda.

  • Tak mudah memahami latar belakang orang tua mereka.

SEKILAS keluarga Sungkono tampak seperti kebanyakan migran yang sukses di Belanda: bapak bekerja di perusahaan parsel dan ibu pekerja kesehatan, sementara anak-anak menjadi insinyur dan ekonom. Namun keluarga ini bukan migran biasa. "Saya punya banyak teman dengan latar belakang migran, tapi tidak ada yang pindah dengan alasan politik,” kata Asih Sungkono, yang lahir di Amsterdam pada 1982.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setahun sebelumnya, orang tua Asih, Sungkono dan Wati, tiba di Belanda dari Cina untuk meminta suaka politik. Saat itu mereka berstatus stateless alias tanpa kewarganegaraan setelah peristiwa September 1965. Sungkono pergi ke Moskow dengan beasiswa pendidikan di Patrice Lumumba University pada 1962. Masa berlaku paspornya tidak diperpanjang setelah 1965 karena dia setia kepada Presiden Sukarno. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah lulus menjadi insinyur, Sungkono pergi ke Cina dan bertemu dengan Wati, anak mantan diplomat Sukrisno, yang juga menolak mengecam Sukarno. Wati kemudian menjadi istrinya.

Asih tumbuh di dua dunia dan budaya dalam kesehariannya: Indonesia di rumah dan Belanda di luar rumah. "Penting sekali untuk Bapak dan Ibu kami besar dengan budaya Indonesia. Kami berbahasa Indonesia, makanan selalu Indonesia.”

Asih menuturkan, keluarganya rutin membicarakan latar belakang sejarah politik orang tuanya. Mereka tidak pernah menerapkan kebiasaan khas Belanda di rumah, bahkan mengenai bahasa. “Teman saya dari keluarga asal Filipina, misalnya, kadang masih terdengar berbahasa Belanda di rumahnya,” ujar Asih. "Kami tidak pernah pergi berkemah dengan tenda, tidak merayakan Sinterklas atau Natal.”

Karena ijazah insinyur Sungkono dan dokter Wati tidak berlaku di Belanda, pasangan ini terpaksa bekerja jauh di bawah tingkat pendidikan mereka. Harapan mereka lalu dialihkan pada anak-anak mereka. Asih adalah alumnus  desain industri Technische Universiteit Delft, sementara kakaknya seorang ekonom. 

Sementara Asih tumbuh dengan dua budaya, Herutjahio Mintardjo berlatar belakang lebih beragam: Indonesia, Rumania, dan Belanda. Heru lahir di Bukares pada 1973 sebagai anak sulung pasangan Liliana Gabriela Marinescu dari Rumania dan Sardjio Mintardjo, eksil Indonesia yang tinggal di Rumania sejak 1962. Karena tidak bisa pulang, Mintardjo bekerja sebagai akuntan di sana seusai kuliah. 

Walau memegang jabatan yang cukup bagus, Mintardjo tidak pernah benar-benar betah di Rumania. Alasannya, di Rumania hanya ada sedikit orang Indonesia. Pada 1990, keluarga Mintardjo lantas pindah ke Belanda. Heru menyelesaikan sekolah menengahnya di situ, lalu kuliah di jurusan akuntansi. Sekarang dia menjadi konsultan urusan keuangan dan administrasi.

Herutjahio Mintardjo dan Lola Amaria sebelum menonton film Eksil di bioskop Rialto, Amsterdam, 11 Maret 2023. Dok. Linawati Sidarto 

Di Belanda, Heru mengungkapkan, bapaknya merasa lebih dekat dengan Tanah Air. Berangsur rumah Mintardjo di Oegstgeest, tidak jauh dari Universiteit Leiden, menjadi tempat berkumpul warga Indonesia, terutama mahasiswa kampus tersebut. “Secara lahiriah Bapak tinggal di berbagai tempat. Tapi jiwanya tidak pernah meninggalkan Indonesia.” Rumah Mintardjo lalu dikenal dengan sebutan "Pondok Pak Min". "Tiap kali saya berkunjung, rumah orang tua saya selalu ramai dengan 20-30 orang, berdiskusi, makan bersama,” tutur Heru. 

Mintardjo alias Pak Min dekat dengan mahasiswa dan dianggap sebagai bapak para mahasiswa Indonesia di Leiden. Namun tak demikian yang dirasakan Heru. Bapaknya seperti berjarak. “Seakan-akan Bapak punya dua sisi dalam hidupnya. Pertama adalah idealismenya untuk Indonesia, kedua adalah keluarganya. Untuk yang terakhir ini, dia sering alpa.” 

Pak Min, yang disayang banyak orang karena kehangatannya, justru sulit membuka diri kepada mereka yang paling dekat dengan dirinya, termasuk istrinya. "Bapak tidak banyak membicarakan sejarah hidupnya dengan kami,” ucap Heru.

Berbeda dengan Asih, Heru tidak diajari berbahasa Indonesia. Meski demikian, Heru mengaku belajar tentang banyak hal dari bapaknya. “Bapak selalu toleran, meski terhadap orang yang berbeda pemikiran dengannya. Dia tidak pernah pandang bulu, apakah itu pejabat atau tukang sampah.” 

Heru berterima kasih kepada film Eksil yang membantunya lebih memahami dan menerima ayahnya. Kisah sembilan eksil yang difilmkan itu juga membuka mata Heru. Sebab, kisah mereka adalah kisah yang juga dialami ayahnya. “Hidup mereka seakan-akan berhenti pada 1960-an. Film itu dibuat sekitar 2015, tapi mereka bicara seakan-akan masih terperangkap jauh di masa lalu.” 

Akan halnya Asih, fokus orang tuanya kepada Indonesia dan status mereka sebagai eksil tidak selalu mudah baginya ketika dia beranjak dewasa. "Setiap anak remaja pasti bergulat dengan berbagai dilema, dan kadang di rumah tidak selalu ada ruang untuk itu,” kata Asih. “Saya berusaha mencari identitas saya sendiri.”

LINAWATI SIDARTO
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus