Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kisah para eksil yang telah meninggal.
Menjadi jujukan para mahasiswa Indonesia di Belanda.
Kerinduan akan Tanah Air diwujudkan dalam karya mereka.
RUMAH Sardjio Mintardjo di Oegstgeest, sebuah desa di utara Kota Leiden, Belanda, tidak pernah sepi pengunjung. “Yang kesulitan tempat tinggal beliau tampung di rumahnya, tanpa pernah memusingkan bayaran,” kata Ravando Lie, yang meraih gelar S-2 jurusan sejarah kolonial di Universiteit Leiden pada 2014, kepada Tempo, mengenang Pak Min—sapaan akrab Mintardjo. Di kalangan mahasiswa Indonesia di Belanda, terutama di Leiden, pintu "Pondok Pak Min" selalu terbuka sebagai tempat ngumpul dan berdiskusi ditemani sop buntutnya yang kesohor. Ia salah satu eksil yang disebut banyak orang sebagai bapak para mahasiswa Indonesia di Belanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mintardjo anak kelima dari sembilan bersaudara, lahir di Purworejo, Jawa Tengah, pada 1936. Bapaknya giat dalam dunia pendidikan. Sejak muda Mintardjo aktif dalam organisasi kepemudaan. Pada 1962, dia pergi ke Finlandia bersama delegasi Indonesia untuk mengambil bagian dalam festival pemuda. Seusai festival, dia berkunjung ke Rumania. Di sana dia ditawari melanjutkan pendidikan di Bukares. Nasib membawanya tinggal di sana selama 28 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa 1965 membuatnya tak bisa pulang karena masa berlaku paspornya tak diperpanjang. Pria ini memutuskan menetap di sana, bekerja sebagai akuntan. Ia menikah dengan perempuan Rumania, Liliana Gabriela Marinescu, yang memberinya tiga anak.
Pada 1990, setelah rezim komunis Rumania runtuh dan keadaan tidak menentu, Mintardjo pergi ke Belanda “dengan dokumen perjalanan dari pemerintah Rumania yang mencantumkan bahwa dia stateless, dan paspor Indonesianya yang sudah kedaluwarsa,” tulis sejarawan David Hill pada 2022 dalam Wacana, jurnal Universitas Indonesia.
Masih dari tulisan Hill, Mintardjo meminta suaka dan memutuskan menjadi warga negara Belanda. Tujuannya adalah dia bisa berkunjung ke Indonesia pada 1994 untuk menengok ibunya yang sudah sepuh.
Sebuah video berjudul “Kita Mengenang Pak Min” memperlihatkan kecintaan para mahasiswa Indonesia di Leiden kepada Mintardjo. Video yang "diperuntukkan kakek, bapak, dan sahabat kami" itu diunggah ke YouTube oleh Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Leiden setelah dia wafat pada 17 September 2015. Kata "tulus", "hangat", "peduli", dan "humoris" berulang kali terdengar. “Rasa cintanya kepada Indonesia sangat dalam,” kata Syahril Sidik, Ketua PPI Leiden 2010-2011.
Sardjio Mintardjo (kedua dari kirii) bersama mahasiswa Indonesia di kebun rumahnya di Oegstgeest, sekitar 2013-2014. Dok. Ravando Lie
“Ratusan orang datang ke pemakamannya,” ucap Tom Hoogervorst, peneliti lembaga studi Asia Tenggara dan Karibia (KITLV) Leiden dan adjunct professor di Universitas Negeri Malang, Jawa Timur, kepada Tempo. Hoogervorst sering berkunjung ke Pondok Pak Min ketika dia masih menjadi mahasiswa S-1 jurusan Indonesia di Universiteit Leiden.
“Lewat beliau saya berkenalan dengan eksil-eksil Indonesia lain,” tutur Hoogervorst. Lantunan lagu "Indonesia Pusaka" oleh paduan suara anak muda asal Indonesia yang mengantar kepergian Mintardjo menjadi adegan mengharukan dalam film Eksil. Mintardjo akhirnya tidak bisa menutup mata di tanah airnya.
Eksil lain yang selalu menjadi rujukan para akademisi adalah Sarmadji yang tinggal di barat Kota Amsterdam. Dia hidup melajang, mengabdikan hidupnya untuk buku. Setiap pengunjung harus berhati-hati melangkah agar tak tersandung buku yang memenuhi semua sudut ruangan di rumah mungilnya “Tidurnya pun di tengah-tengah buku. Hidupnya memang untuk buku,” ujar Artien Utrecht ketika dihubungi melalui sambungan telepon. Utrecht adalah sekretaris Watch65, organisasi yang melawan impunitas tragedi September 1965.
Sarmadji, yang lahir pada 20 April 1931 di Solo, Jawa Tengah, berasal dari keluarga sederhana. Dia hanya mengenyam pendidikan di sekolah pertukangan sebelum mulai bekerja sebagai guru pada usia 18 tahun, seperti ia tuturkan kepada Martin Aleida dalam buku Tanah Air yang Hilang (2014). Sarmadji, yang akrab dipanggil Wardjo, juga aktif mengurus anak-anak kampung dan mengelola organisasi kepanduan.
Pada pengujung 1964, dia mendapat beasiswa untuk kuliah di universitas pendidikan guru di Cina. Malangnya, kurang dari setahun kemudian Kedutaan Besar Indonesia tidak memperpanjang masa berlaku paspornya karena dia tetap setia kepada Presiden Sukarno selepas tragedi September 1965.
Sarmadji bertahan hidup selama satu dasawarsa di Cina, merampungkan kuliahnya, dan mau tak mau tergiring dalam arus Revolusi Kebudayaan di sana. Akhirnya dia memutuskan menuju Eropa dan tiba di Belanda pada 1976.
Tidak lama setelah sampai, dia mendapat pekerjaan sebagai buruh pemotong kaca. Selama 20 tahun bekerja, Sarmadji nyaris tidak pernah absen. "Mereka yang tidak pernah sakit selama setahun dapat hadiah 100 gulden ketika itu,” katanya dalam film Eksil.
Semua uang tabungannya ia gunakan untuk membeli buku. Sedikit demi sedikit dia mengumpulkan arsip materi tentang peristiwa 1965 dan sejarah politik Indonesia kiri yang lalu dikenal dengan nama Perkumpulan Dokumentasi Indonesia (Perdoi). Cukup banyak akademikus yang terbantu oleh informasi Perdoi. Misalnya Bonnie Triyana, sejarawan pendiri majalah Historia.
“Saat melihat koleksi buku dan dokumen sejarah yang makin bertumpuk itu saya yakin apa yang dilakukan Om Wardjo adalah bukti kecintaannya pada tanah air dan kampung halamannya,” tulis Bonnie dalam laman Facebook-nya sesudah Sarmadji berpulang pada 17 Desember 2022.
Sarmadji di rumahnya di Amsterdam. Supervivere/Elisabeth Ida Mulyani
Sarmadji dikebumikan di bagian muslim permakaman Westgaarde di Amsterdam, jauh dari kuburan orang tuanya di Jawa. “Tak bisa pulang ke rumah, ke tanah air, ke keluarga, adalah hal yang paling menyedihkan,” kata Sarmadji kepada Rika Theo, pustakawan ilmu politik di Universiteit Amsterdam, di laman platform Medium pada April 2016.
"Hidupku bahagia". Kata-kata ini membuat siapa pun yang mengenal Asahan Aidit terperangah. Tak terkecuali pasangan Nico Schulte Nordholt dan Cara Ella Bouwman saat terakhir kali mengunjungi Asahan, tidak lama sebelum sahabat mereka itu meninggal pada 5 November 2020 di Kota Haarlem.
“Suaranya tenang, penuh kedamaian,” ucap Nordholt, profesor emeritus Universiteit Twente dan ahli Indonesia, lewat sambungan telepon kepada Tempo. Hal ini bertolak belakang dengan perangainya yang biasanya penuh pertentangan dan emosi.
Asahan, yang lahir pada 1938 di Tanjungpandan, Belitung, Bangka Belitung, adalah anak bungsu Mailan dan Abdullah Aidit, pejuang kemerdekaan yang pernah menjadi anggota parlemen pada 1950-an. Asahan dikenal sebagai orang yang bertemperamen tinggi.
Sejak muda Asahan sudah mandiri sebagai penulis. Walau dia anggota Partai Komunis Indonesia, yang diketuai kakak sulungnya, Dipa Nusantara Aidit, ia memilih tidak menjadi anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat, lembaga seni yang lekat dengan PKI. “Saya bersastra sendirian,” kata Asahan dalam wawancara dengan Tempo pada 2007.
Pada 1962, Asahan berangkat ke Moskow untuk kuliah di Patrice Lumumba University. Ia pun bernasib sama dengan ratusan mahasiswa Indonesia lain karena peristiwa 1965 membuatnya tak berkewarganegaraan. Dia melihat dari jauh tragedi di Indonesia, termasuk eksekusi D.N. Aidit dan pemenjaraan sanak saudaranya.
Setelah merampungkan kuliah pada 1967, Asahan pergi ke Vietnam, saat perang berkecamuk, dengan maksud mendukung rezim kiri. Di sana dia meraih gelar S-3 ilmu bahasa dan menikahi Sen Nguyen. Namun kehidupan yang tidak menentu di Vietnam mendorongnya untuk angkat kaki ke Eropa. Sejak 1983, Asahan dan keluarganya tinggal di Belanda.
Tak mudah bagi Asahan hidup sebagai eksil di Belanda bersama keluarganya. Untuk menyambung hidup, dia bekerja sebagai buruh sederhana. "Berlangganan koran pun tidak bisa, yang tragis untuk seorang intelektual seperti dia,” tutur penulis Cara Ella Bouwman, penerjemah beberapa puisi Asahan.
Dalam komunitas eksil pun Asahan sering berselisih paham. “Dia selalu kritis dan cepat marah,” ujar Bouwman. Sungkono, eksil yang tinggal di Amstelveen , Belanda, menuturkan hal yang sama kepada Tempo. "Dia memang kurang bergaul. Semua waktunya dia curahkan untuk menulis.”
Musibah besar menimpa Asahan pada 1998, ketika putra semata wayangnya, Viet Tri, meninggal pada usia 23 tahun. Kehancuran hatinya tertumpah dalam kumpulan puisi 23 Sajak Menangisi Viet Tri. Trah keluarga juga membebani Asahan. Nama yang tertera dalam paspor Belandanya adalah Asahan Alham, yang diambil dari kata "alhamdulillah". “Dengan nama asli, saya tidak akan bisa masuk Indonesia,” kata Asahan dalam mingguan De Groene Amsterdammer edisi 4 Februari 2015. Meski demikian, kata Nordholt, Asahan selalu solider terhadap keluarga besar Aidit.
Apa pun yang terjadi dalam hidupnya, Asahan tidak pernah berhenti berkarya. “Menulis sudah mendarah daging bagi dia,” ucap Bouwman. Karyanya muncul dalam bentuk novel, cerita pendek, esai, puisi, dan biografi. “Kepahitan dan dendam yang dia emban menjadi sumber inspirasi tulisannya,” tutur Nordholt.
Menjelang akhir hidupnya, Asahan berubah. “Berangsur melunak, lebih halus dan ramah,” kata Bouwman. Nordholt, dalam euloginya pada acara kremasi Asahan, menuturkan rasa syukurnya lantaran Asahan bisa mengenang semua keindahan yang dilewatkan dalam hidup temannya itu. Nordholt mengutip garis pena Asahan: “Saya ditakdirkan menempuh jalan melawan arus, namun saya berkayuh dengan santai dan selalu sempat menikmati keindahan di sekeliling sungai yang saya arungi”.
LINAWATI SIDARTO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo