Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Film dokumenter Eksil karya Lola Amaria tentang penduduk Indonesia yang tak bisa pulang dari negeri jauh/
Mengangkat kisah perjalanan pahit para eksil, mereka yang dituding terlibat dan terafiliasi G30S.
Fillm dokumenter yang berkejaran waktu dengan usia para eksil.
WALAU hujan salju membawa dingin yang menusuk, penonton tetap memadati acara pemutaran perdana film Eksil di bioskop Rialto di Amsterdam pada Jumat malam, 10 Maret lalu. Kesenduan dan emosi mewarnai pemutaran film itu. Beberapa mahasiswa Indonesia lantas mendatangi sutradara film Eksil, Lola Amaria, seusai pertunjukan. “Mereka mengaku menangis selagi nonton, dan berterima kasih karena mereka tidak mengenal sejarah ini,” kata Lola, 45 tahun, kepada Tempo. Film ini sebelumnya diputar dalam Jogja-NETPAC Asian Film Festival Ke-18, November-Desember 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eksil, yang mengambil bagian dalam Festival Film CinemAsia pada awal Maret lalu di Amsterdam, mencoba mendobrak versi tunggal sejarah peristiwa 30 September 1965 (G30S) yang sampai sekarang masih dominan di Indonesia. “Kami hanya belajar bahwa PKI (Partai Komunis Indonesia) itu jahat dan yang benar adalah Soeharto,” ucap Lola, yang sudah lama berkecimpung di dunia film sebagai aktris, sutradara, dan produser. “Kalau dulu di sekolah bertanya lebih lanjut, saya dimarahi.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa 1965 memakan ratusan ribu nyawa pada saat itu dan berdampak panjang setelahnya. Kewarganegaraan ratusan orang Indonesia, terutama mahasiswa, juga diplomat dan utusan pemerintah, yang berada di luar negeri ketika Gerakan 30 September terjadi dicabut. Siapa pun yang dilihat sebagai simpatisan haluan kiri, atau tidak setia kepada rezim baru, kehilangan paspor.
Dalam film ini, Lola menelusuri jalan hidup sepuluh mahasiswa yang tengah kuliah di Uni Soviet, Cina, Cek, Rumania, serta Albania dan menjadi eksil setelah September 1965. Bertahun-tahun mereka putus komunikasi dengan keluarga di Tanah Air dan terpaksa beranjak tua di Belanda, Jerman, Cek, serta Swedia. Kebanyakan dari mereka baru pindah ke Eropa Barat pada 1970-an, setelah melintasi berbagai negara. Diperkirakan ada sekitar 600 eksil Indonesia di Eropa pada 2000.
Dalam adegan pembukaan Eksil, Kuslan Budiman dengan rambut dan kumis memutih memegang paspor Indonesia-nya dengan tulisan "cancelled" tercetak pada dokumen tersebut. Terdengar suara Lola, “Bagaimana rasanya kalau kita ada, tapi dianggap tiada?”
Untuk film berdurasi 121 menit ini, Lola menyaring lebih dari 60 jam wawancara yang ia rekam antara 2013 dan 2015 di Eropa. Dia berlomba dengan waktu karena usia senja para eksil. Salah satu dari mereka, Sardjio Mintardjo, meninggal pada September 2015 sebelum sempat diwawancarai di depan kamera. Yang muncul kemudian adalah dua anak Mintardjo, yang mengenang sang ayah di peristirahatan terakhirnya di Desa Oegstgeest, Belanda. Lima dari sepuluh eksil yang tampil dalam film ini sekarang sudah tiada.
Kesedihan para eksil yang tidak bisa pulang makin menusuk karena bertahun-tahun mereka tidak berani mengirim kabar kepada keluarga di Tanah Air. “Takutnya jadi masalah untuk mereka,” kata I Gde Arka, 84 tahun, salah satu responden dalam Eksil, kepada Tempo, Sabtu, 4 Maret lalu, di Amsterdam.
Asahan Aidit di film dokumenter "Eksil". Dok. Lola Amaria Production
Kekhawatiran itu beralasan, seperti yang dialami Asahan Aidit, adik bungsu Sekretaris Jenderal PKI Dipa Nusantara Aidit. Dalam Eksil, Asahan bercerita tentang kunjungan pertamanya kembali ke Indonesia pada 1996 ke Belitung, kampung halamannya. Keluarganya meminta dia tidak tinggal lama di sana. "'Om harus pergi sekarang. Ini bahaya untuk kami’,” tutur Asahan mengutip keponakannya. Esoknya, Asahan menuturkan, satu truk tentara datang meninjau daerah pantai tempatnya menginap. “Itu jelas intimidasi.”
Meski banyak eksil lebih dulu pergi ke negara berhaluan kiri seperti Cina, yang bersedia menampung mereka, sebagian besar akhirnya menetap di Belanda. “Ini satu-satunya negara Eropa yang punya hubungan historis dengan Indonesia,” ucap Sungkono, eksil yang sudah 42 tahun tinggal di Belanda, kepada Tempo di Amsterdam.
Di samping ada komunitas Indonesia yang cukup besar, Sungkono melanjutkan, yang amat penting adalah banyak orang hilir-mudik dari Indonesia ke Belanda. Hal ini membuka kemungkinan eksil mengirim pesan kepada keluarga di Tanah Air.
Sepanjang film, di sela wawancara, Lola menampilkan beragam cuplikan sejarah, termasuk footage Aidit dan PKI dalam Pemilihan Umum 1955. Dalam pemilu tersebut, PKI masuk empat besar di bawah Partai Nasional Indonesia, Nahdlatul Ulama, dan Masyumi. Disuguhkan pula fragmen-fragmen sejarah internasional, dari Revolusi Kebudayaan di Cina sampai perestroika di Uni Soviet.
Lola berkeras mendapatkan nukilan ini untuk memperjelas konteks sejarah para eksil. Ia menggali footage tersebut di Indonesia, Belanda, Amerika Serikat, Rusia, dan Australia. “Karena itulah film ini makan waktu hampir sepuluh tahun untuk rampung. Footage tersebut juga amat mahal. Malah ada yang bayarannya per detik,” tutur Lola, yang sudah dikenal sebagai sineas dengan karya film berbobot sosial, seperti Betina (2006) dan Lima (2018).
(Dari kiri) eksil Siti Sukrisno, Lola Amaria, dan moderator Joss Wibisono, saat sesi diskusi seusai pemutaran Eksil di bioskop Rialto, Amsterdam. CinemAsia Film Festival/Minhong Yu
Susan Legêne, profesor sejarah politik yang juga Dekan Fakultas Sosial Budaya Vrije Universiteit di Amsterdam, menyebutkan penyertaan fragmen sejarah ini amat penting. “Seperti fragmen di mana Gus Dur (Abdurrahman Wahid), sebagai Presiden Indonesia keempat, menyatakan bahwa pembunuhan dan dampak terhadap komunis dan pihak-pihak lain sesudah peristiwa September 1965 tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar Indonesia,” kata Legêne setelah menonton Eksil.
Satu aspek yang muncul dengan jelas dalam dokumenter ini adalah tali pusar para eksil masih terikat erat dengan Tanah Air yang begitu lama menolak mereka. Tom Iljas, eksil yang bermukim di Swedia, menjelaskan perbedaan migran eksil dengan kelompok migran lain yang jauh lebih terintegrasi di negara baru mereka.
“Yang kami ikuti adalah berita dari Indonesia. Bangun pagi, yang kami buka adalah situs Kompas.” Komunitas eksil di Belanda rutin bertemu, misalnya lewat perkumpulan Persaudaraan dan Dian. “Itu bukan hanya untuk eksil. Semua orang boleh gabung,” ujar I Gde Arka.
Pada Sabtu, 11 Februari lalu, sekitar 40 eksil mengadakan pertemuan tak biasa di Diemen, dekat Amsterdam. Pertemuan itu bertujuan membicarakan pernyataan Presiden Joko Widodo tepat satu bulan sebelumnya. Untuk pertama kalinya seorang Presiden Indonesia resmi mengakui terjadinya 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu, termasuk peristiwa pada 1965-1966. Saat itu Jokowi menyatakan “sangat menyesalkan” terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut.
Menyusul pernyataan Jokowi, pemerintah menyatakan akan memulihkan kewarganegaraan mereka yang menjadi eksil selepas peristiwa September 1965. Rencananya, dua anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia akan berkunjung ke Amsterdam pada Rabu, 22 Maret mendatang.
Emosi mewarnai pertemuan para eksil di aula pusat komunitas Diemen pada Sabtu sore itu. Sebagian dari mereka mencurahkan pengalaman pahit mereka sebagai eksil: pindah dari satu negara ke negara lain tanpa dokumen resmi, putus hubungan dengan keluarga, ijazah universitas yang sia-sia. Walau sebagian menganggap pernyataan Jokowi sebagai suatu kemajuan, banyak yang masih menunggu langkah konkret pemerintah. “Sudah mengakui, kok, belum meminta maaf?” ucap Sungkono.
Semua yang hadir setuju mengenai satu hal penting tentang adanya pengungkapan kebenaran sejarah. Misalnya, “Apakah benar peristiwa September 1965 itu karena pemberontakan PKI? Berapa jumlah orang yang dibunuh tanpa peradilan?”
Kebanyakan menganggap uluran tangan pemerintah untuk memulihkan kewarganegaraan terasa hampa karena hampir semua eksil sudah memegang paspor negara lain. “Anak-anak muda di Indonesia harus belajar sejarah yang benar,” tutur Nani Pardede, saat di pertemuan di Diemen.
Itulah yang juga diharapkan Lola Amaria. Ia berharap filmnya ditonton banyak orang, terutama generasi muda. Setidaknya harapannya itu terwujud. Tiket tiga pemutaran filmnya ludes terjual. "Dan banyak di antara penonton adalah mahasiswa S-1 dari Indonesia.” Di Indonesia sendiri, rencananya Eksil beredar pada September mendatang.
Penonton Belanda pun terkesan pada film Lola. “Film ini benar-benar membuat penonton merasakan penderitaan para eksil,” kata Joop Ijisberg dari Amsterdam. Hal yang sama dirasakan Susan Legêne. “Saya baru sadar sekarang bahwa pilihan untuk tetap stateless atau menerima kewarganegaraan baru adalah perjuangan batin yang berat untuk mereka.”
TEMPO menemui beberapa eksil di Amsterdam. Di antaranya pasangan I Gde Arka dan Yarna Mansur. Walau mereka sudah 60 tahun tinggal di luar Tanah Air, apartemen mereka di tengah Amsterdam masih kental dengan nuansa Indonesia. Lukisan dan patung dari penjuru Nusantara memenuhi dinding dan lemari ruang tamu mereka.
I Gde Arka lahir di Denpasar, 12 Juni 1939, sulung dari empat bersaudara. "Ibu dagang di pasar, sedangkan Bapak dan saya bikin tempe, telur asin,” tutur Arka kepada Tempo. Keluarga Arka, termasuk ayah dan paman-pamannya, aktif dalam gerakan kemerdekaan Indonesia. Semasa remaja, Arka giat dalam organisasi pelajar dan pemuda.
I Gde Arka dan Yarna Mansur di rumah mereka di Amsterdam, 4 Maret 2023. Dok. Linawati Sidarto
Pada 1962, setelah bekerja sambil mengambil kursus keuangan di Jakarta, Arka berhasil meraih beasiswa untuk belajar ekonomi di Patrice Lumumba University di Moskow. Di sana, dia bertemu dengan Yarna Mansur, mahasiswi dari Sumatera Barat yang kelak menjadi istrinya.
Setelah September 1965, masa berlaku paspor Arka dan Yarna tidak lagi diperpanjang, seperti banyak mahasiswa Indonesia lain di Moskow yang setia kepada Sukarno. Pulang ke Tanah Air pada saat itu terlalu berbahaya. Adik Pramoedya Ananta Toer, misalnya, langsung ditangkap begitu datang.
Lola Amaria (tengah) bersama mahasiswa Indonesia seusai menonton film Eksil di bioskop Rialto, Amsterdam. Dok. Lola Amaria
Berita tragis dari Indonesia juga sampai ke telinga Arka. “Saya dengar paman saya dipaksa melihat teman-temannya disiksa dan dibantai sebelum dia dibunuh,” ujar Arka dengan suara sendu. Adik ibunya itu dekat dengan Sutedja, Gubernur Bali yang loyal kepada Sukarno. Sepupunya yang seniman dan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat pun dijebloskan ke penjara.
Arka dan Yarna hijrah ke Cina pada 1967. Walau pemerintah Cina pada saat itu menyantuni ongkos hidup, para eksil dari Indonesia tidak diperbolehkan bekerja. Pada 1973, pasangan ini menuju Eropa. Mereka belajar sambil bekerja di Berlin selama enam tahun. “Saat itu kami masih berharap bisa pulang,” Arka mengenang. Walau diliputi perasaan waswas, Arka memutuskan mengirim kartu pos dari Jerman kepada adiknya saat itu. “Untunglah ayah saya masih sempat menerima kartu itu, karena dia meninggal tidak lama setelahnya.”
Herutjahio dan Nurkasih, anak-anak Sardjio Mintardjo, di depan kuburan bapak mereka. Dok. Lola Amaria Production
Akhirnya pasangan ini hijrah ke Belanda 1979. Mereka meminta suaka dan bekerja di dinas sosial serta kantor kecamatan sampai pensiun. Kunjungan pertama mereka ke Indonesia, setelah menjadi warga negara Belanda pada 1995 tetap diselimuti ketakutan. Tatkala mereka bersilaturahmi di kampung asal Yarna di Sumatera Barat, ada warga yang bertanya, "Ini yang dulu sekolah di Moskow?" "Saya bilang saja bahwa saya tinggal di Belanda,” tutur Yarna.
Kisah Arka dan Yarna hanya salah satu kisah pedih dan pahit ratusan eksil. Para eksil yang masih sering rutin bertemu. Arka kini menikmati hari-harinya dengan membaca buku, memperbarui informasi dari Internet, serta berolahraga ringan untuk menggerakkan otot badan sepuhnya. Aktivitas ini ia lakukan di sela-sela rutinitas memenuhi kebutuhan rumah tangga dan kegiatan spiritualnya, seperti meditasi.
LINAWATI SIDARTO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo