Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAKIM agung Timur Manurung semestinya wajib menghindari pertemuan dengan orang yang terbelit kasus. Ia patut menjaga imparsialitas atau prinsip ketidakberpihakan. Hakim terikat kewajiban menerapkan tingkat kehati-hatian tinggi, agar tak melanggar kode etik pedoman dan perilaku hakim. Memberi keterangan atau pendapat mengenai suatu kasus kepada yang sedang beperkara merupakan pelanggaran serius.
Maka sangat beralasan bila Komisi Yudisial mencurigai adanya hal-hal prinsipal yang diterabas dalam pertemuan antara hakim agung Timur Manurung dan Swie Teng (Kwee Tjahjadi Kumala). Timur ditengarai beberapa kali dijamu makan malam di dua restoran mewah oleh bos Sentul City yang terseret arus penyuapan Bupati Bogor Rachmat Yasin itu.
Boleh saja sang hakim berdalih makan malam tersebut bukan sebuah dinner terlarang lantaran diadakan sebelum Swie Teng ditetapkan sebagai tersangka. Dalih bahwa perjamuan itu merupakan pertemuan di antara teman satu gereja sah saja dikemukakan. Tapi semua argumen ini lemah karena pada saat makan malam itu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung sedang mengadili Yohan Yap, anak buah Swie Teng yang mengirimkan uang Rp 4 miliar kepada Bupati Rachmat. Sementara itu, Bupati Rachmat juga telah menjadi tersangka. Maka diduga kuat alasan "pertemuan jemaat gereja" itu tak lebih dari usaha Swie Teng membentengi diri agar tak ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sejak awal, dalam kasus suap pembangunan PT Bukit Jonggol Asri, Swie Teng terkesan merintangi proses penyidikan KPK terhadap Yohan Yap. Buktinya, ia memerintahkan staf dan pengacaranya membuat nota transaksi jual-beli bodong sebesar Rp 4 miliar. Nota itu seakan-akan bukti bahwa tudingan suap tidak benar. Ia juga memindahkan sejumlah dokumen agar tak diperiksa KPK.
Tim panel Komisi Yudisial yang diketuai Ketua Komisi Suparman Marzuki mesti bergerak sigap. Seiring dengan hadirnya para saksi dalam persidangan Swie Teng, tim panel Komisi seyogianya cepat mengumpulkan saksi perjamuan Timur. Rekonstruksi kejadian juga perlu jelas. Misalnya kebenaran informasi bahwa pada awal pertemuan lima orang hadir di restoran tersebut, lalu ketika bicara kasus, di ruangan itu tinggal tiga orang, yaitu sang hakim agung, Swie Teng, dan pengacaranya.
Tugas Komisi Yudisial-lah memastikan dugaan bahwa di restoran tersebut Swie Teng membahas berkas dakwaan anak buahnya sampai prediksi nasibnya, bahkan meminta Timur Manurung mengarahkan perkara bila nantinya naik ke tingkat kasasi. Ada soal serius yang tak boleh luput dari Komisi. Hakim Timur diduga membawa berkas berita acara pemeriksaan KPK ketika ia dipanggil komisi antirasuah itu sebagai saksi untuk mengembangkan penangkapan Swie Teng. Pembocoran informasi ini, kalau terbukti, jelas merupakan pelanggaran telak. Satu-satunya cara membuktikannya adalah memeriksa Swie Teng di penjara.
Untuk segala penyelidikan yang dilakukan Komisi Yudisial, Mahkamah Agung tak boleh menutup diri atau malah bereaksi negatif, walaupun Timur Manurung masih menjabat Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Pengawasan. Ketua Mahkamah tak boleh menghalangi pemeriksaan atas pejabatnya. Marwah dari Mahkamah justru tegak bila lembaga ini membersihkan diri dari hakim yang tak menghormati harga diri dan profesi. Ketua Mahkamah seyogianya mencegah niat hakim Timur melaporkan komisioner Komisi Yudisial ke kepolisian. Kalau itu terjadi, dan kelak Timur dinyatakan bersalah, nasib Mahkamah Agung bak pepatah sudah jatuh tertimpa tangga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo