Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gunung Harta Gumilang

Ratusan miliar rupiah dana umat Islam di Ma’had Al-Zaytun dikendalikan penuh Panji Gumilang. Yang menuntut transparansi disingkirkan.

20 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEGEPOK dokumen itu berisi deretan angka yang membelalakkan mata. Total perputaran uang tercatat sekitar Rp 245 miliar. Deretan pengeluaran beragam: ada pinjaman untuk perawatan kesehatan staf, biaya perbaikan kendaraan operasional, dan macam-macam lagi. Beraneka bon itu ditulis dalam aksara Arab. Inilah catatan keuangan Ma’had Al-Zaytun pada 1422 Hijriah atau 2001 Masehi.

Pemasukan uang selama 1421-1422 Hijriah juga rapi terdata. Nilainya mencapai Rp 985 miliar. Setoran dana, di antaranya, masuk ke sejumlah rekening di Bank Jabar dan Bank CIC. Mata uangnya juga tak hanya rupiah. Ada ringgit Malaysia dan dolar Singapura. Nama Abu Ma’ariq, Syekh Al-Ma’had, Yaya­san Pesantren Indonesia, dan Imam Supriyanto tercatat sebagai pemilik rekening. Dua nama pertama adalah alias Panji Gumilang.

”Pada tahun-tahun itu pemasukan kami per bulan mencapai Rp 10 miliar,” kata Imam Supriyanto kepada Tempo, awal Mei lalu. Dia orang nomor dua di Ma’had Al-Zaytun dan bekas kepercayaan Panji Gumilang. Jabatan terakhirnya Menteri Peningkatan Produksi Pangan.

Dana masuk dari struktur Negara Islam Indonesia (NII) yang mengakar sampai tingkat desa. Sofwan Ardyanto, bekas staf Ma’had Al-Zaytun yang pernah menjadi ”camat” dalam struktur NII, mengaku pernah diberi target menyetor Rp 25 juta sebulan. ”Itu baru dari satu wilayah,” Sofwan mengingatkan.

Dari mana target pemasukan itu harus dipenuhi? Sofwan mengangkat bahu dan tersenyum lemah. ”Untuk dibaiat menjadi anggota NII, Anda harus menyetor Rp 20 juta,” katanya. Tak mengherankan bila aktivis NII getol berburu mangsa: mencari anak-anak muda yang terbuai mimpi negara Islam.

Dengan kucuran fulus sekencang itu, mesin Al-Zaytun berputar cepat. Mereka membangun kompleks pesantren mewah di Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat, dalam tempo singkat. ”Dana awalnya Rp 250 miliar dari pinjaman umat,” kata Imam.

Dia lalu bercerita bahwa pada 1993 belasan ribu anggota NII diundang membeli ”obligasi negara” yang akan dikembalikan dalam lima tahun sesuai dengan kurs harga emas. Duit sebanyak itu lalu diagunkan ke Bank CIC untuk memperoleh pinjaman berlipat-lipat. ”Kami pernah mencicil kredit ke bank sebesar Rp 1,2 miliar per minggu,” kata Imam.

Semua berjalan mulus pada awalnya. Imam mengelola 700 hektare sawah dan sebuah unit pengolahan beras di Subang, Jawa Barat. ”Produksi beras kami pernah mencapai 500 ton per bulan,” katanya.

Kongsi Al-Zaytun mulai pecah pada 2002. Menurut cerita Imam, pada masa-masa itu Panji Gumilang mulai menggunakan uang jemaah untuk kepentingan sendiri. ”Ada banyak proyek yang tidak jelas,” kata pria berpenampilan kalem ini. Panji Gumilang, misalnya, sempat memakai uang Al-Zaytun Rp 32,2 miliar untuk sebuah proyek di Spanyol. ”Katanya dia dihubungi Presiden Pantai Gading yang dikudeta, yang menjanjikan keuntungan besar,” kata Imam geli.

Adik Panji, Agung Sedayu, juga memutar uang. Pada 2005, dia meminjam duit Al-Zaytun Rp 3,25 miliar untuk sebuah proyek pengadaan batu bara di Kalimantan. ”Uangnya hilang karena proyeknya fiktif,” kata Imam kesal.

Dalam kesempatan lain, Agung bekerja sama dengan seorang pejabat di Kementerian Pendidikan Nasional untuk proyek sertifikasi instruktur komputer. Modalnya pun lagi-lagi memakai dana yayasan. Belakangan proyek itu diselidiki aparat keamanan karena terindikasi ada penggelembungan harga.

Sayangnya, Agung tidak bisa dimintai konfirmasi. Didatangi beberapa kali, kediamannya di Apartemen Puri Kemayoran, Jakarta, kosong melompong. Panggilan ke telepon selulernya juga tak kunjung dijawab. Kepada Tempo, Panji membantah semua tudingan Imam. ”Itu semua tidak benar,” katanya.

Di atas semuanya, yang membuat Imam dan sejumlah rekannya tak tahan adalah gaya hidup Panji Gumilang dan keluarganya. Gaji resminya Rp 20 juta sebulan, ”Belum lagi gaji anak dan istrinya,” kata Imam. Semua kebutuhan Panji, dari ujung rambut sampai kaki, dibiayai dengan dana jemaah NII. ”Harga suplemen vitaminnya saja Rp 5 juta sebulan,” kata Imam.

Imam mengaku sudah mengingatkan. Tapi Syekh menepis semua keberatan koleganya. ”Kami tak mau ribut di dalam sekolah,” kata Imam. Dia memilih menyingkir. Pada 2007, Imam mengundurkan diri dari Al-Zaytun dan NII Komandemen 9—organisasi yang membesarkannya selama dua dekade.

l l l

SEBUAH minibus cokelat berlabel Ma’had Al-Zaytun melintasi Jalan Krukut Raya, Depok, Jawa Barat, pada awal Mei lalu. Membelok ke kiri, mobil berhenti sejenak di depan sebuah rumah berpintu gerbang kayu bernomor 58. Setelah diklakson satu-dua kali, pintu terbuka.

Mirip benteng, rumah ini dikelilingi pagar tembok setinggi tak kurang dari dua setengah meter. Di pekarangannya tumbuh pepohonan besar yang teduh. Dari luar, warga sekitar hanya bisa melihat atap dari dua-tiga bangunan berbentuk saung. Sedangkan bangunan utamanya, sebuah rumah panggung dari kayu Kalimantan, tersembunyi. Ketika dibeli pada 1995, rumah dan tanah ini bernilai Rp 1,2 miliar. Inilah kediaman resmi Panji Gumilang di Ibu Kota.

Di dalam kompleks rumah Panji, keindahan terhampar. Paling depan, sebuah rumah bata untuk pengurus kompleks. Agak ke dalam, ada rumah panggung kayu mentereng. Di sisinya, terbentang kolam renang 5 x 10 meter. ”Kalau tidak masuk dan melihat sendiri, tidak bakal tahu,” kata Ma’ih, 56 tahun, ketua RT di sana.

Di Ma’had Al-Zaytun, kemegahan kediaman keluarga Panji Gumilang juga mengundang decak kagum. Berdiri di atas lahan 2.000 meter persegi, rumah Panji bertingkat tiga. Ada teras depan dan belakang yang sama jembarnya. Sebuah tembok setinggi 3 meter memisahkan bangunan itu dengan kompleks pesantren.

Di halaman belakang, Panji menyimpan seperangkat gamelan Jawa komplet. Ketika Menteri Agama Suryadharma Ali berkunjung ke Al-Zaytun pada pertengahan Mei lalu, dia dijamu di sini. Aula besar di tengah rumah itu bisa menampung 100 orang. Sebuah kolam renang 200 meter persegi sedang dibangun di sebelahnya.

Mobil Panji berderet, antara lain Mercedes-Benz dan Alphard. Imam Prawoto, putra sulungnya yang kini sering didaulat jadi juru bicara Al-Zaytun, menunggang Chevrolet Captiva.

Imam Prawoto lulus dari sebuah universitas di Selandia Baru. Sedangkan anak kedua Panji, Prawiro Utomo, sedang belajar di University of Gloucestershire dan University of London, di Inggris. Putra ketiganya, Ikhwan Triatmo, menetap di Auckland, kota kedua terbesar di Selandia Baru. Dia menjadi programmer di sebuah perusahaan teknologi informasi di sana. Ada lagi dua putri Panji Gumilang: Anissa Khairunnisa dan Sofia el-Widad. Anissa sekarang anggota DPRD Indramayu. Sedangkan Sofia ikut mengurus Universitas Al-Zaytun. Menurut Annisa, tudingan bahwa keluarganya hidup mewah itu tak benar. ”Mewah itu relatif,” katanya.

Semua fasilitas Panji dibiayai dana Al-Zaytun. Putra ketiga Panji, Ikhwan Triatmo, membenarkan. ”Bahkan termasuk mobil. Semua tercatat atas nama yayasan,” katanya. Tapi segenap perkakas mahal itu, menurut Ikhwan, untuk menjaga wibawa Al-Zaytun. ”Agar terlihat representatif ketika menerima berbagai delegasi dari dalam dan luar negeri,” katanya lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus