Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hanan ashrawi: juru runding sekeras batu

Dialah simbol diplomasi dan perjuangan palestina kini. di pundaknya, antara lain, nasib 5 juta orang palestina tergantung. profil hanan ashrawi di meja perundingan dan dalam rumah tangga.

15 Mei 1993 | 00.00 WIB

Hanan ashrawi: juru runding sekeras batu
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
HANAN Ashrawi adalah sebuah simbol. Dialah lambang perjuangan sebuah bangsa untuk mendapatkan kembali tanah airnya. Dan sebagai pejuang, perempuan berusia 47 tahun itu adalah batu. Setidaknya itulah yang dilihat Barbara Amiel, penulis yang mewawancarainya untuk The Sunday Times Magazine. Ahsrawi, kata Amiel, mengingatkannya pada sajak The Waste Land karya penyair Inggris ternama, T.S. Eliot: Di sini cuma batu tanpa air/ batu dan tak ada air, dan sebuah jalan berpasir .... Sejak Konferensi Damai Timur Tengah pertama kali dibuka, 30 Oktober 1991 di Madrid, Spanyol, Hanan Ashrawi tak pernah kendur berdebat dan menyatakan pendapat. Bagaikan batu yang yakin suatu saat pasti bisa menembus bukit, Hanan yang menurut ukuran perempuan biasa sedikit kekar itu tak pernah mundur dari tuntutan bangsa Palestina yang dibebankan kepadanya. Ia tak henti- hentinya mengingatkan para juru runding Israel bahwa sasaran pertama dan terakhir delegasinya adalah memperjuangkan dilaksanakannya Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 242. Resolusi yang memerintahkan Israel menarik diri dari wilayah yang didudukinya dalam Perang Enam Hari pada tahun 1967. Pekan lalu, dengan sedikit gembira ia berbicara dengan wartawan di Washington, tempat Konferensi Damai putaran kesembilan diadakan. Ia merasa lega Israel mulai membicarakan soal pemerintahan di wilayah pendudukan. Tapi ia berkeras, sesudah wilayah pendudukan memperoleh otonomi, sesudahnya adalah kemerdekaan penuh tanpa syarat apa pun. Israel, di sini, masih mencoba menawar. Status wilayah pendudukan bisa ditentukan kembali, bergantung pada keadaan setelah lima tahun wilayah itu berotonomi. Masih tercermin bayangan ketakutan orang Israel bahwa tetangga dekatnya adalah sebuah bangsa yang baru pada tahun 1988 mengakui eksistensi negara Israel. Hanan, sebagaimana orang Palestian yang lain, sebelum tahun itu, yakin bahwa orang Yahudi tak berhak tinggal di secuil Tanah Palestina pun. Jadi, mengapa terjadi perubahan sikap itu? Sepenuhnya hanyalah pertimbangan ''pragmatis'', kata Hanan Ashrawi kepada pewawancaranya. ''Soalnya, kami tak bisa mengingkari kehadiran orang lain. Kami tak bisa menghapus orang Yahudi atau melenyapkan mereka.'' Lalu, batu itu tampak bergetar menahan ketidaksabarannya. ''Tapi harus tetap diingat, pengakuan itu dilihat dari sejarah adalah sebuah ketidakadilan. Bagi kami selalu ada perasaan bahwa itu merupakan kekalahan kami.'' Ia memang batu, batu yang menarik karena memakai perhiasan emas- permata. Pakaiannya pun atraktif, tapi tidak mengesankan pamer. Ia suka cat bibir merah terang, dan pulas kelopak mata tipis. Dan mata itulah yang mengingatkan orang pada batu, yang selalu menatap Anda selagi Anda bicara padanya. MENGGANTI KALASHNIKOV DENGAN KATA-KATA Percakapan di lobi Four Seasons Hotel, tempat menginap delegasi Palestina di Washington, terganggu sejenak. Seorang wanita Amerika tiba-tiba mendekat, dan katanya, ''Kami siap membantu Anda, telepon saja kami.'' Hanan Ashrawi menatap wanita itu dan mengangkat kedua bahunya sambil memberi isyarat agar wanita itu meneruskan bicaranya. ''Betapa menyenangkan bertemu Anda di sini. Kami semua berdiri di sisi Anda,'' kata wanita itu, yang lalu pergi kembali ke tempat duduknya, di sisi lain lobi hotel tersebut. Hanan Ashrawi menyalakan sebatang Salem Light yang baru, dan ia bertanya tanpa mengharap jawaban, ''Ya, siapa berdiri di sisi Palestina?'' Pertama kali Hanan Ashrawi muncul dalam sebuah publikasi Barat pada bulan April 1988. Ketika itu perlawanan dengan batu atau intifadah sudah marak sekitar empat bulan, dan Televisi ABC Amerika datang ke Palestina untuk meliput peristiwa itu. Antara lain, TV ABC mengatur sebuah debat antara kelompok Israel dan Palestina. Di antara kelompok Palestina adalah Hanan Ashrawi, yang segera menarik perhatian karena permintaannya pada kru ABC sebelum kamera merekam debat itu. Ia minta didirikan sebuah pagar antara dua kelompok itu untuk menyimbolkan bahwa keduanya memang terpisah. Ternyata, kemudian, Hanan Ashrawi bukan hanya layak diperhatikan, tapi ia pun membawa suasana baru dalam diplomasi Palestina. Ia menggantikan diplomasi gaya Yasser Arafat dengan Kalashnikovnya. Dengan bahasa Inggris yang tanpa salah, dengan latar belakang pendidikan American University of Beirut, dan University of Virginia di AS, kata-kata yang meluncur dari Hanan tak kurang tajamnya dibandingkan peluru Kalashnikov. Di masa diplomasi mulai dipikirkan oleh PLO karena saran menteri luar negeri AS waktu itu, James Baker, dicarilah seorang pria Palestina yang berbudaya, cerdas, dan tangkas bicara. Dan sungguh suatu kejutan ketika yang ditemukan untuk menjadi juru bicara Palestina itu ternyata seorang wanita. Hanan Ashrawi memang datang dari keluarga Palestina terhormat. Ia lahir di Nablus, kota di Tepi Barat, pada tahun 1946 sebagai anak kelima dari Daoud Mikhail, seorang dokter yang ikut mendirikan Organisasi Pembebasan Palestina yang populer dengan singkatan Inggrisnya itu, PLO. Sejumlah keluarga Daoud ikut dalam pergerakan melawan kegiatan Yahudi mendirikan negara Israel, termasuk ayah Daoud yang bergerilya di bukit-bukit Palestina. Ketika negara Israel akhirnya diumumkan, tahun 1948, keluarga Daoud pindah ke Amman, ibu kota Yordania. Maka, boleh dikatakan tahun-tahun pertama Hanan Ashrawi di dunia dibentuk oleh politik. Gerakan perlawanan Arab ketika itu menduga bahwa orang Yahudi akan dengan mudah dikalahkan. Karena itu, dianjurkanlah agar orang-orang Palestina mengungsi, keluar dari Tanah Palestina, supaya tak banyak jatuh korban bila para pejuang mengambil alih kembali Tanah Palestina dari orang Yahudi. Dugaan itu ternyata meleset, dan ini menimbulkan luka di hati banyak orang Palestina. Mereka yang dahulu meninggalkan Tanah Palestina dalam usia kanak-kanak, dan kini tinggal di Tepi Barat, harus menyaksikan kenyataan pahit ini: rumah mereka dulu kini dihuni orang Israel, dan rumah mereka sekarang berada di bawah pengawasan Israel. Tak ada gunanya, memang, mempersoalkan kembali mengapa mereka dahulu meninggalkan rumahnya. Yang pasti, kini mereka merasa dirampok dua kali oleh orang-orang yang menjarah tanah dan tidur di rumah mereka. Pada tahun 1950 Daoud Mikhail sudah merasa bahwa orang Yahudi tak akan begitu saja pergi dari Tanah Palestina. Maka, ia memutuskan untuk tinggal di Ramallah, sekitar 20 km di utara Yerusalem (dan ketika itu masih termasuk wilayah Yordania). Itulah kota yang makmur dan menyenangkan, yang kala itu merupakan kota Kristen. WARISAN DARI SANG BAPAK Rumah yang dibangun Daoud Mikhail adalah rumah yang kini ditempati oleh Hanan Ashrawi. Dahulu, rumah itu mungkin tampak gagah dengan batu dan marmarnya, yang terasnya menghadap ke lereng bukit. Kini, rumah itu tampak cebol di antara rumah- rumah baru yang megah, yang dibangun oleh orang-orang Palestina kaya. Di teras rumah itulah, Hanan Ashrawi mengenang, ayahnya pernah menceritakan kepadanya tentang Israel. Ia masih ingat benar, ayahnya sudah meramalkan bahwa Tepi Barat, lama atau sebentar lagi, akan diduduki pula oleh Israel. ''Ketahuilah, sebentar lagi mereka akan datang kemari dan menduduki Tepi Barat, dan wilayah lain dari Palestina yang masih merdeka,'' kata Hanan mencoba menirukan kata-kata ayahnya. ''Ketika itu saya tak yakin karena pengetahuan saya masih terbatas. Saya tak pernah bertemu orang Israel. Pertama kali saya bertemu orang Yahudi ketika saya masuk universitas di Beirut,'' tutur Hanan. ''Ketika itu bagi saya Israel hanyalah sebuah teror yang berada di luar Tepi Barat.'' Perlahan-lahan pemahaman Hanan tentang Israel dibentuk oleh ayahnya. Daoud Mikhail adalah seorang radikal, setidaknya dalam gayanya. Ia pernah dipenjarakan oleh Raja Hussein karena terlibat dalam Partai Sosialis Nasional, partai yang berideologi kiri dan dianggap berbahaya bagi dinasti Hashemit. Karena tak punya anak lelaki, Mikhail menularkan pandangan-pandangan progresifnya pada anak-anak perempuannya, termasuk si bungsu Hanan. Dokter yang termasuk kaya dan berdedikasi terhadap bangsanya ini mendidik anak-anak perempuannya itu untuk tak merasa punya hambatan sebagai orang Palestina yang kebetulan Kristen dan kebetulan perempuan. Ibu Hanan Ashrawi, seorang perawat, mendidik anak-anaknya dalam tradisi Kristen. Nenek Hananlah yang tiap malam membacakan kisah- kisah dari Bibel. Tapi pada akhirnya yang membentuk juru runding Palestina ini adalah ayahnya. Daoud Mikhail menjadi figur sentral dalam pertumbuhan Hanan, bahkan mungkin sampai sekarang. Hanan Ashrawi lulus dari sekolah menengah, Sekolah Persahabatan, di Ramallah, yang kini adalah sekolah anaknya. Ia kemudian masuk American University di Beirut, mengambil jurusan sastra Inggris. Segera ia bergabung dengan gerakan mahasiswa kiri -- mungkin inilah hasil didikan ayahnya. Tapi ia tak pernah meninggalkan kodrat kewanitaannya: ia sering memakai rok mini, dan selalu merias wajahnya. ''Saya pikir,'' tutur Hanan Ashrawi, ''seseorang tak benar- benar bisa bertanggung jawab dalam berpolitik bila ia tak melewatkan masa mudanya dengan bergabung dalam gerakan radikal. Saya menjadi bagian dalam gerakan mahasiswa radikal, dan saya menikmatinya. Gerakan yang membuat kamu memiliki keyakinan sebagai orang muda, memiliki kegembiraan dan keyakinan bahwa kamu akan mengubah dunia.'' Hanan bergabung dengan Al Fatah yang dipimpin oleh Yasser Arafat, yang kelak menjadi organisasi Palestina terbesar dalam PLO. ''Dalam Al Fatah saya belajar mengenali orang-orang yang tertindas, yang tersingkir, yang mengalami diskriminasi. Semuanya terasa wajar, dan kami saling mengenali bila kebetulan bertemu dalam sebuah konferensi internasional.'' Mungkin, Hanan muda adalah seorang yang bersemangat dan tajam kata-katanya, yang begitu terpengaruh ketika mendengarkan himne Internationale. Ketika ia memperoleh kesarjanaannya dalam sastra Inggris Abad Pertengahan, tahun 1968, ia merasa tak bisa meninggalkan Beirut dan sulit untuk kembali ke kehidupan yang tenang di Ramallah. Pada kenyataannya, pada tahun itu Tepi Barat sudah diduduki Israel. Tak mudah bagi warga Palestina yang pada tahun 1967 tak berada di Tepi Barat untuk kembali masuk ke wilayah yang sudah berpredikat ''pendudukan'' itu. Begitulah jalan hidup Hanan Ashrawi mulai terbentuk dengan lebih jelas. Waktu dan tempat membuat hidupnya begitu cocok: semangat mudanya klop dengan tumbuhnya nasionalisme di dunia Arab. Sebagai anggota Persatuan Umum Mahasiswa Palestina, ia pun sampai di sebuah kamp pengungsi Palestina, dan pada tahun 1969, untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Yasser Arafat. Kemudian, mengikuti tradisi keluarganya yang terpelajar itu, Hanan melanjutkan belajar ke University of Virginia, Amerika Serikat, meneruskan mempelajari sastra Inggris. Sekali lagi sebuah kebetulan terjadi. Hanan muda yang berkobar-kobar itu mendapatkan kampus Amerika pada tahun 1970-an yang penuh dengan aktivitas anti Perang Vietnam. Hanan yang kekiri-kirian, yang Palestina, yang sebagai mahasiswa cepat menarik perhatian. Boleh dikatakan demonstrasi mahasiswa Virginia tak lengkap tanpa kehadiran Hanan Ashrawi. POTRET KELUARGA Ketika Hanan akhirnya pulang ke Ramallah, tahun 1973, ia sudah menggondol gelar doktor untuk sastra Palestina. Pulangnya si revolusioner ini dimungkinkan karena pada tahun itu pemerintah Israel mengeluarkan Undang-Undang Reunifikasi Keluarga -- undang- undang yang membolehkan orang Palestina yang berada di luar wilayah pendudukan untuk pulang menemui keluarganya. Tentu, rumahnya, yang kini berada dalam wilayah pendudukan, membuat Hanan pulang tanpa ucapan selamat datang. Ia kemudian memilih Universitas Birzeit sebagai tempatnya mengajar. Pada tahun 1975, Hanan menikah dengan Emile Ashrawi di Yerusalem. Emile adalah pemain musik rok, empat tahun lebih muda daripada istrinya, seorang lelaki yang tanpa dengki, menerima apa adanya, dan tak punya ambisi. Inilah perkawinan yang damai dengan pembagian tugas yang jelas. Sang istri, yang sering harus meninggalkan rumah, membuat sang suami menjadi pengurus dapur dan anak-anak. Konon, ketika itu banyak yang menduga perkawinan ini tak akan tahan lama. Dugaan yang keliru. Emile sejauh ini merasa puas, dan merasa tetap terhormat. Hanan merasa aman bahwa di rumah ada suaminya yang bisa mengatur segalanya. Mereka dikaruniai dua anak perempuan, Amal kini 15 tahun, dan Zeina, 12 tahun. ''Saya menemukan tujuan hidup pada diri anak-anak kami,'' tutur Emile, yang kini bekerja sebagai fotografer bebas untuk PBB. ''Saya mencoba memberikan kepada mereka hal-hal yang paling baik yang dapat saya berikan. Sungguh bahagia melihat mereka tumbuh.'' Amal dan Zeina memang lebih bergulat degan ibunya, ketika Hanan tak harus pergi. Mereka tampak memuja ibunya, baik dalam kata- kata maupun perbuatan. Namun, begitu sang ibu meninggalkan rumah, tugas jatuh di tangan Emile. Ia harus mendekati kedua anak perempuan itu agar mereka betah di rumah, agar mereka jauh dari kegiatan di luar, yakni intifadah. Mungkinkah itu, anak-anak seorang bekas mahasiswi radikal yang bergabung dengan Al Fatah, yang kemudian menjadi juru bicara untuk bangsanya yang tertindas, mengambil jarak dari perjuangan anak-anak muda sebayanya di jalanan? Sebuah warung bernama Angie di jalan utama Ramallah adalah salah satu tempat mangkal anak-anak muda. Suatu hari Amal duduk di situ. Tiba-tiba suara jip terdengar. Dan segera saja Amal lenyap lewat pintu, entah ke mana. Gadis 15 tahun itu, mungkin di luar pengetahuan Hanan, sudah pintar menghindarkan diri dari bertemu dengan tentara Israel yang lagi patroli. Ia pun mengaku tahu bagaimana cara merundukkan kepala untuk menghindari tembakan tentara Israel. Ia, kata Amal, memang tak bisa menghindarkan diri dari yang dilakukan teman-temannya di sekolah. Karena itu, suatu hari ia pun ikut menghilang dari kelasnya turut melakukan upacara peringatan mereka yang gugur dalam perjuangan bangsa Palestina. ''Ibu akan marah besar bila tahu ini,'' tuturnya. ''Tapi saya tak bisa berbuat lain. Saya akan dipandang dengan aneh oleh kawan- kawan bila saya tak ikut serta.'' Lalu apa yang dilakukan anak-anak itu? Mereka akan berbaris membentuk barikade sambil membakar ban-ban bekas. Mereka menunggu tentara Israel datang sambil menggenggam batu. Sebagian lagi menyebarkan pamflet ke rumah-rumah, pamflet yang menganjurkan perlawanan terhadap ''tentara Israel'', ''zionis'', dan ''kolaborator''. Guru sekolah tak bisa berbuat apa-apa, dan orang tua yang berada di rumah apalagi. Lalu, selain melakukan intifadah, apalagi yang dilakukan anak- anak itu? Apakah mereka juga menyelenggarakan pesta, misalnya? ''Tidak di wilayah pendudukan,'' jawab Amal. Soalnya ternyata sederhana, karena gadis-gadis temannya yang anggota Hamas, gerakan perlawanan yang disebut-sebut sebagai gerakan Islam fundamentalis, akan melarang pesta-pesta di antara mereka. Semua itu oleh Amal disebut sebagai bagian dari hidupnya sehari- hari, termasuk hal yang amat dibencinya, yakni bila harus berangkat dan pulang sekolah melewati sekelompok tentara Israel. ''Mereka suka mengeluarkan kata-kata vulgar, dan saya tak tahan untuk tak menjawabnya,'' tutur anak sulung Hanan Ashrawi ini. ''Biasanya teman berjalan saya lalu menyeret saya pergi.'' Sulit untuk percaya bahwa Hanan dan Emile tak tahu itu semua. Tapi mereka mestinya memakluminya, karena hidup di daerah pendudukan. Apa boleh buat. Dan inilah sisi lain kehidupan Amal dan Zeina, adiknya. JEAN PAUL SARTRE Suatu hari belum lama ini Emile berjalan-jalan dengan kedua anak perempuannya itu. Hanan sedang menghadiri pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Amerika, Warren Christopher, di Yerusalem. Mereka berhenti di sebuah warung, dan Emile memesan sandwich untuk makan malam. Di belakang warung itu adalah rumah pemiliknya, dan dari jauh terlihat pesawat televisinya sedang menayangkan wajah Hanan Ashrawi. Baik Emile maupun kedua anaknya biasa-biasa saja melihat ibunya di layar televisi -- mungkin hal semacam ini sudah puluhan kali dialami oleh keluarga Ashrawi. Sesampai di rumah, Emile memanaskan sandwich di kotak microwave. Tak lama kemudian Hanan muncul, tampak capek, dan menggerutu tentang konsul Amerika di Yerusalem Timur. Zeina sedang bersenam di lantai, dan langsung saja Hanan bergabung dengannya. ''Kenapa tak makan dulu?'' kata Emile sambil berjalan menuju ke kotak microwave. Bagaimanapun, keluarga Ashrawi adalah keluarga yang tenang, tapi aneh di antara keluarga Palestina yang lain di tepi Barat. Adakah mereka punya model keluarga sebagai contohnya? Atau, siapakah idola Hanan Ashrawi hingga ia seperti sekarang ini? ''Saya bukan macam orang yang membutuhkan idola untuk dicontoh,'' kata Hanan suatu ketika. ''Saya cenderung menggabungkan sifat- sifat baik dari banyak orang.'' Didesak untuk menyebut nama, akhirnya ia menyebut Jean Paul Sartre, filosof Perancis ternama itu. Hidup di sebuah wilayah pendudukan, memperjuangkan berdirinya sebuah negara merdeka, adakah selama ini Hanan Ashrawi sudah membayangkan negara seperti apa Palestina itu nantinya? Ia tak menjawab bila disuruh memilih, model negara seperti apa yang ia inginkan -- desak penulis Inggris yang mewawancarainya itu. Akhirnya Hanan mau menjawab juga. ''Negara-negara Skandinavia,'' katanya. ''Sebab, negara-negara itu memberikan asuransi dan kebebasan pada rakyatnya, negara yang terbuka terhadap ide.'' Sebagai juru bicara delegasi Palestina, Hanan Ashrawi tentu saja siap dengan segala hal untuk membalikkan serangan-serangan Israel. Dan tampaknya Hanan memang sangat pintar. Israel, juga Barat, umumnya melihat Perang Enam Hari tahun 1967, yang menyebabkan didudukinya Gaza, Tepi Barat, dan Golan sampai sekarang, merupakan perang yang dimulai oleh negara-negara Arab. Karena itu, dikuasainya wilayah-wilayah yang sebelumnya tak termasuk negara Israel tak bisa dilihat sebagai pendudukan Israel. Apa kata Hanan Ashrawi? ''Itu alasan khas Israel,'' katanya. Lalu ia dengan lancar mengatakan bahwa perang tahun 1967 bukanlah sekadar perang. Itulah perang yang tak bisa dielakkan karena Israel mengganggu perbatasan. Ketika Nasser, Presiden Mesir, memprotesnya, meledaklah perang. Bagaimana dengan Perang Yom Kippur tahun 1973, ketika Mesir menyerang Israel secara tiba-tiba? Di sini Israel sama sekali tak memancing-mancing apa pun. ''Perang tahun 1973 adalah sebuah misteri,'' kata Hanan cepat. Lalu ia memberi kuliah penulis Inggris yang mewawancarainya dengan agak sengit. Katanya, orang sekali-kali tak boleh menerima apa kata seseorang tanpa mengusut yang terjadi di balik kata- kata itu. ''Di balik kata-kata itu Anda akan menemukan segala hal yang menggerakkan peristiwa yang terjadi,'' katanya. Jadi, mengapa selama ini Palestina selalu menolak berbagai tawaran, misalnya untuk menyelenggarakan sendiri pendidikan dan pengelolaan kesehatan? Mengapa Palestina selalu menolak tawaran sebelum keputusan final tentang berdirinya negara Palestina merdeka? Bagi Hanan Ashrawi, itu cara berunding untuk mendapatkan yang dituju. Penolakan itu hanya satu sisi dari sebuah paket. ''Dan itulah mengapa kami pun berusaha sekuat tenaga menjaga agar perundingan damai bisa terus berjalan, di samping kami pun terus menyuarakan bahwa ketidakadilan terus terjadi di wilayah pendudukan,'' jawabnya. ''Kami harus yakin dahulu bahwa yang kami setujui adalah bagian tak terpisahkan dari penyelesaian yang menyeluruh.'' INTIFADAH: SERUAN KEMERDEKAAN Siapa pun yang ketika itu mendengar kata-kata Hanan Ashrawi di hadapan penulis Ingris itu, ia pasti segera menyimpulkan bahwa juru bicara Palestina ini memang sangat cerdik dan tangkas. Coba simak dialog berikut. ''Anda selalu bilang Israel membunuhi anak-anak muda Palestina. Ini seolah-olah pembunuhan adalah kebijaksanaan pemerintah Israel. Tahukah Anda bahwa yang melakukan pembunuhan itu hanyalah anggota gerakan bawah tanah, yang oleh pemerintah Israel sendiri ditindak?'' ''Tapi mereka sekarang bebas, bukannya dipenjarakan,'' jawab Hanan. ''Mereka dijatuhi hukuman 10 tahun.'' ''Tapi itu bagian dari kebijaksanaan penting Israel agar terlihat melakukan penindakan.'' ''Lalu apa kata Anda tentang orang Palestian yang membunuh orang Palestina?'' ''Itu terjadi di wilayah pendudukan. Kami tak mempunyai pengadilan maupun cara untuk menyelesaikannya. Kami hidup di bawah sebuah sistem yang tak berperikemanusiaan.'' ''Intifadah, kata orang, mempunyai sisi lain. Ada orang-orang yang dulu tak dicurigai oleh Israel, kini selalu diamati bahkan digeledah karena ada intifadah. Orang-orang ini yakin, sebenarnya Palestina kini terbagi dua: yang pro intifadah, yang menjadi korban intifadah. Dan kedua kelompok tak bisa akur.'' ''Intifadah adalah gerakan yang spontan. Orang-orang pergi ke jalanan, melakukan sesuatu untuk kemerdekaan, dan mereka siap menghadapi tentara dan senjata. Tujuan intifadah adalah perlawanan tanpa kekerasan. Dengan cara ini, menurut saya, kami pelan-pelan merintis jalan untuk sebuah pembangunan bangsa. ''Saya tahu, ada yang melihatnya dari sisi negatif intifadah. Tapi seharusnya ini dilihat sebagai bagian dari perjuangan, sebagai suatu seruan untuk kemerdekaan. Dan sebagaimana gerakan massa, ada kalanya gerakan ini membuat kesalahan. Gerakan ini lalu dipolitisasi, dibentuk satu kesatuan berani mati, dan intifadah lalu kehilangan spontanitasnya. Tapi ini pun sebenarnya hanyalah suatu reaksi di wilayah pendudukan, tempat orang-orang kami dibunuhi, tempat hak-hak asasi diperkosa. ''Karena itulah kami tak bisa menangkapi mereka yang kalian anggap teroris. Kami tak bisa merundingkan suatu perdamaian dengan imbalan yang sangat jauh. Tahukah Anda bahwa sebenarnya menerima pemecahan dengan adanya dua negara di Tanah Palestina bagi kami adalah sebuah langkah yang sangat besar dan berat secara psikologis, dan kami menyadari ini penuh dengan risiko?'' Di Bandara Lad, Tel Aviv, pesawat mendarat. Hanan Ashrawi sudah ditunggui oleh Emile Ashrawi, anak bungsunya. Inilah sebuah keluarga harmonis. Tapi ketika orang menatap profil Hanan di layar televisi, ketika suaranya yang lunak terdengar, dengan jeda yang teratur untuk lebih menekankan makna kata-katanya, orang tak bisa tidak akan melihat batu. Seseorang yang dibebani tugas melakukan diplomasi untuk menjamin nasib sekitar 5 juta orang Palestina, terutama untuk sekitar 1,7 juta yang di wilayah pendudukan, dan lawan diplomasinya adalah orang-orang Yahudi yang juga keras, ia memang harus sekeras batu. Kesan itu tak akan berkurang meski Hanan tinggal di suite Four Seasons Hotel, yang seharinya bertarif US$ 875, belum termasuk pajak. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus