Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Vonis di bawah ancaman

Masyarakat mengancam pengadilan bila memvonis pembunuh seorang kiai dengan hukuman ringan. para hakim tetap mengacu pada

15 Mei 1993 | 00.00 WIB

Vonis di bawah ancaman
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
INILAH klimaks sidang pengadilan yang menegangkan. Gemuruh takbir yang diteriakkan ribuan umat membahana di Pengadilan Negeri Bondowoso, Jawa Timur, Rabu sore pekan lalu, begitu majelis hakim memvonis Sakrimo, pelaku utama pembunuhan Kiai Haji Rosyidi. Gemuruh takbir itu merupakan luapan kegembiraan para santri, menyambut putusan pengadilan yang mengganjar Sakrimo, 32 tahun, dengan hukuman seumur hidup. Dalam persidangan terpisah sebelumnya, Bunawi, 24 tahun, dan Ny. Siti Rahma, 47 tahun, dua terdakwa dalam perkara yang sama, diganjar hukuman masing-masing 15 tahun dan 17 tahun penjara. Ini mengundang rasa tidak puas. Sejak digelar awal Januari lalu, sidang pengadilan kasus pembunuhan Kiai Haji Rosyidi selalu menyedot perhatian ribuan santri. Persidangan berlangsung dalam suasana mencekam. Ancaman melalui surat dilayangkan ke pengadilan. Sebuah di antaranya mengatasnamakan ''Umat Islam Bondowoso''. Isinya mengancam akan melakukan pembunuhan besar-besaran apabila vonis pengadilan terhadap pelaku kasus pembunuhan Kiai Haji Rosyidi tidak adil. Ketua Pengadilan Negeri Bondowoso tak menganggap surat-surat itu main-main. Karena itu, setiap persidangan, tampak dijaga tak kurang dari 100 petugas kepolisian. Namun, yang menarik, hakim tampak tidak terpengaruh oleh tekanan masyarakat, walau di sisi lain tidak pula terkesan menganggap ringan kesalahan para terdakwa. ''Majelis hakim berusaha menghukum mereka sesuai dengan dosa yang diperbuatnya,'' ujar Hakim Soetjipto kepada TEMPO. Dibandingkan dengan tuntutan jaksa, vonis yang dijatuhkan ke ketiga pembunuh relatif lebih ringan. Jaksa menuntut agar Sakrimo dan Bu Nyai dihukum mati, sedangkan Bunawi diganjar hukuman seumur hidup. Majelis hakim menilai tuntutan itu terlalu berat. Terutama bagi Bu Nyai, yang terungkap di persidangan berperan sebagai pelaku ikut-ikutan. Memang, ia pernah mengaku sebagai pelaku, tapi, ''Itu semata-mata untuk menutupi perbuatan Sakrimo,'' kata Soetjipto, ketua majelis hakim yang mengadilinya. Akan tetapi, di sisi lain, para hakim sepakat dalam menyimpulkan, para pembunuh telah merencanakan pembunuhan Kiai dengan tujuan keuntungan yang terbukti melalui serangkaian penipuan yang mereka lakukan. Majelis hakim juga menilai akhlak Sakrimo, pelaku utama pembunuhan, sangat buruk. ''Ia menodai syiar Islam, mencemarkan nama pondok, dan melanggar hukum agama,'' ujar Sulaiman Effendi, S.H., Ketua Pengadilan Negeri Bondowoso, yang memimpin sendiri persidangan Sakrimo. Kiai Haji Rosyidi, 57 tahun, ulama terpandang dan disegani di daerahnya. Ia pemimpin Pondok Pesantren Nurul Ulum di Kecamatan Curahdami, Bondowoso. Kasus pembunuhan sang Kiai terasa tragis karena para pembunuhnya tergolong orang yang dekat dengan Kiai. Siti Rahma, yang dipanggil Bu Nyai, tak lain istri ketiga Kiai. Sakrimo dan Bunawi, santri sekandung, dikenal sebagai anak angkat Kiai. Peristiwa yang merenggut nyawa Kiai, dalam berita acara pemeriksaan, terjadi bulan Agustus 1989. Menjelang pukul 20.00, Sakrimo ''menggarap'' Kiai yang sedang khusyuk menyendiri di kamarnya. Ia mula-mula mencekik Kiai. Lalu, lelaki berbadan kekar itu kemudian menghabisi nyawa bapak angkatnya dengan memukulkan kayu bekas kaki meja. Di kamar itu juga, ia bersama Bu Nyai dan Bunawi menguburkan jasad Kiai. Sakrimo dan Ny. Rahma kemudian menggantikan peran Pak Kiai. Persekutuan mereka diikat ''hubungan suami-istri''. Atas nama Kiai, pasangan ini menipu puluhan kerabat Kiai dan meraup jutaan rupiah. Modusnya membuka praktek ''kantong sutera'' alias kantung ajaib yang diyakini bisa melipatgandakan uang. Menurut Jaksa D.M. Untung Tarang, S.H., empat bulan setelah Pak Kiai ''menghilang'', Ny. Rahma dan Sakrimo menjual sebidang tanah milik korban seharga Rp 8 juta. Ulah mereka tidak mengundang kecurigaan karena rasa hormat para santri terhadap Kiai. Penghuni pondok bahkan menerima saja ketika pasangan ini berseliweran dengan mobil baru. Sakrimo bahkan berani menodai ruang kerja Kiai yang ''dikeramatkan'' para santri penghuni pondok. Ruangan seluas 3 x 4 meter itu merupakan kamar pribadi Kiai. Kecuali orang tertentu yang punya hubungan sangat dekat dengan Kiai, hampir tak ada orang yang berani menginjakkan kakinya ke sana. Tapi justru di sini, Sakrimo, yang telah beristri dua, sempat berbuat mesum dengan seorang santri, Sumiyati. ''Celakanya, ia menggunakan nama Robul Alamin untuk membujuk Sumiyati,'' ujar Hakim Sulaiman. Akal bulus mereka mulus karena kemampuan akting Sakrimo dalam menggantikan peran Kiai. Ia tergolong pembohong berdarah dingin (berbohong tanpa rasa bersalah hingga kebohongannya tak bisa dilacak alat pendeteksi kebohongan). Dalam pembelaannya ia bahkan berani disumpah pocong. Maka, ulahnya yang dilakukan dengan yakin dan tidak canggung itu mampu meredam kecurigaan orang. Kebohongan ini berlangsung empat tahun, sebelum terbongkar Oktober tahun lalu. Ketika mendengar ketukan palu hakim, Bu Nyai terguncang. Ia harus dibopong petugas ke luar ruangan karena pingsan. Sedangkan Bunawi terduduk lemas. Pandangan keduanya tampak kosong. Namun, Sakrimo terlihat masih tegap dan tetap berusaha menutupi kesalahannya. ''Saya tidak terima, Pak Hakim. Saya banding,'' teriaknya lantang. Moebanoe Moera (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus