Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hantu Bulan Maret

Cemas terhadap serangan lawan politik sampai ancaman kudeta, Presiden Yudhoyono bertemu dengan mantan jenderal hingga pemimpin media massa. Agar tak jatuh sebelum 2014.

17 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUDUK di ujung meja, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersemangat bicara tentang resep nasi goreng warisan keluarganya. Sederhana dan tak rumit: tiga perempat nasi dicampur seperempat tiwul. "Bumbunya cuma bawang, garam, dan cabai diulek dengan komposisi pas," ujarnya.

Kepada puluhan tamunya pagi itu, Yudhoyono berjanji meracik nasi goreng ala Pacitan, kota kelahirannya, plus rujak cingur. Kedua menu ini ia janjikan akan menjadi santapan puluhan tamunya, yaitu 20 pemimpin redaksi media massa, ketika mereka bertemu lagi di Istana Bogor, 25 Mei mendatang. Di acara informal itu, Yudhoyono juga ingin mengajak petinggi media bernyanyi. Kalau perlu, acara bisa disiarkan di televisi.

Sumringah, begitulah Presiden Yudhoyono, Jumat pekan lalu. Ia memilih bertemu dengan puluhan pemimpin redaksi media massa ketimbang membuka Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, pada hari yang sama. Padahal acara yang digelar sepelemparan batu jaraknya dari Istana Kepresidenan itu sudah dijadwalkan jauh hari.

Duduk meriung, pertemuan Presiden dengan forum petinggi media itu juga dihadiri Wakil Presiden Boediono, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, Menteri-Sekretaris Negara Sudi Silalahi, juga Sekretaris Kabinet Dipo Alam. Selama dua setengah jam, Presiden berbicara aneka rupa menjawab pertanyaan pers.

Raut Presiden tiba-tiba mendung ketika ditanya soal rencana aksi demo besar-besaran sejumlah kelompok pada Senin, 25 Maret. Demo itu disebut-sebut ingin menjatuhkan Presiden Yudhoyono. "Ya, saya mendengar itu, ada gerakan pada 25 Maret yang isinya menyeramkan," kata Yudhoyono.

Presiden lalu membacakan pesan pendek yang diterimanya. Bunyinya: gerakan agar Yudhoyono jatuh dari posisinya sebagai presiden. Begitu Presiden jatuh, akan dibentuk presidium yang menjalankan pemerintahan sampai digelarnya pemilihan umum pada 2014. Tak sedikit pesan pendek seperti ini diterimanya. Menghela napas panjang, Presiden mengaku tak akan diam. "Kita tak toleran dengan segala yang melanggar konstitusi. Sistem akan bekerja."

Ini bukan pertama kalinya Presiden melontarkan sinyalemen bahwa ada kelompok yang bakal mendongkelnya. Hampir tiap tahun Presiden melontarkan sinyalemen serupa. Pada 2009, Yudhoyono malah menggelar jumpa pers khusus dan memaparkan sejumlah foto sambil mengklaim ia menjadi target kelompok teroris. "Ini laporan intelijen, bukan fitnah, bukan isu," ujarnya. "Ada rekaman videonya, ada fotonya."

Tahun lalu, Yudhoyono kembali menyebutkan ada gerakan penggulingan. Malah, dua tahun sebelumnya, rencana kudeta itu ditayangkan televisi Al-Jazeera. Disebutkan dalam tayangan itu, sejumlah pensiunan jenderal bergandeng tangan dengan para tokoh Islam garis keras, siap bikin onar dan makar.

Aksi turun ke jalan besar-besaran, Senin pekan depan, merupakan satu di antara sejumlah informasi yang diterima Presiden. "Laporan intelijen lengkap" soal gerakan "onar" dan "makar" itu diungkapkan Yudhoyono sebelum ia bertolak ke Jerman dan Hungaria, tiga pekan lalu.

Kepada wartawan di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, sesaat sebelum melawat ke luar negeri, Yudhoyono tak terang menyebut siapa di balik gerakan onar itu. Namun ia menyeru elite politik dan kelompok tertentu agar tak keluar dari jalur demokrasi. "Membuat pemerintah tak bisa bekerja, saya khawatir, malah menyusahkan rakyat," katanya.

Presiden mengatakan seharusnya semua pihak menjaga stabilitas politik sepanjang tahun, agar Pemilu 2014 bisa berjalan demokratis dan menghasilkan suksesi yang aman. "Jika negara terguncang, tak baik untuk kehidupan demokrasi," ujarnya.

Siapa yang dimaksud tak jelas. Namun sinyalemen itu menjadi bola liar. Apalagi, sepulang dari lawatan ke Budapest, Yudhoyono menggelar pertemuan maraton dengan sejumlah tokoh. Senin pekan lalu, misalnya, Yudhoyono bertemu dengan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Letnan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto. Pertemuan itu diatur oleh Menteri-Sekretaris Negara Sudi Silalahi, sejak Sabtu dua pekan lalu, hanya beberapa jam setelah Yudhoyono tiba di Tanah Air.

Hampir dua jam Prabowo bertemu dengan Yudhoyono di Istana Kepresidenan. Mantan Komandan Pasukan Khusus itu mengajak Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Gerindra. Yudhoyono didampingi Sudi Silalahi, juga Dipo Alam. Mengawali pertemuan, Prabowo mengenalkan Fadli: "Ini Fadli Zon, yang suka mengkritik Bapak." Menatap Fadli, Yudhoyono hanya tersenyum. Ia juga terbahak ketika Prabowo menggodanya, "Rambut tambah putih, Pak?"

Menurut Fadli, Yudhoyono berbicara tentang perdagangan, hubungan luar negeri, dan pertumbuhan ekonomi. Menurut dia, Yudhoyono menyatakan, "Saya outgoing leader. Saya ingin calon pemimpin ke depan tahu apa yang dilakukan."

Di awal pertemuan, Yudhoyono juga berbicara tentang persiapan keamanan Pemilu 2014. Juga soal kinerja birokrasi yang lemah. "Kadang instruksi tak jalan dan mandek di level direktur," kata Fadli menirukan Yudhoyono. Adapun Prabowo meminta Yudhoyono meninjau ulang pemilihan kepala daerah secara langsung, yang dianggapnya terlalu banyak mempraktekkan politik uang dan memancing korupsi.

Setelah berlangsung sekitar satu setengah jam, pembicaraan "campur sari" itu berakhir. Fadli, Sudi, dan Dipo pamit. Tinggal Prabowo dan Yudhoyono di ruangan itu. Mereka berbicara empat mata, sekitar 20 menit. Tak ada yang tahu isi pembicaraan itu. Prabowo menolak menjelaskan. Hanya, saat dikerubungi wartawan, Prabowo meminta semua pihak membuat perubahan melalui Pemilu 2014. "Mau ganti pemerintah di tengah jalan? Setahun lagi pemilu, untuk apa?"

Kisah makar dan suksesi juga disinggung dalam pertemuan Yudhoyono dengan tujuh purnawirawan jenderal, Rabu pekan lalu. Ketujuh mantan jenderal yang diterima di Istana Presiden itu adalah Jenderal Purnawirawan Luhut Panjaitan, Jenderal Purnawirawan Subagyo Hs., Jenderal Purnawirawan Fachrul Rozi, Letnan Jenderal Purnawirawan Agus Widjojo, Letjen Purnawirawan Johny Lumintang, Letjen Purnawirawan Sumardi, dan Letjen Purnawirawan Suaidi Marasabessy. Mereka alumnus Akademi Militer 1970.

Dua jam sepuluh menit, pembicaraan kolega lama itu berbaur dari urusan ekonomi, konflik senjata di Papua, hingga soal Malaysia. Juga isu korupsi, Partai Demokrat, serta hasil polling tentang calon presiden. Meski begitu, urusan "makar" dan "onar" tak ketinggalan masuk topik.

Saat itu, Luhut Panjaitan mengatakan baru akan menyampaikan informasi tentang persiapan Pemilu 2014 dan sejumlah gangguan ketika Presiden Yudhoyono sudah memotong. "Ada juga lho, Bang, orang yang mau supaya secara konstitusional saya tak selesai sampai 2014," kata Luhut menirukan Yudhoyono.

Yudhoyono tak menyebut siapa nama yang dimaksud. Juga detail laporan intelijen yang diucapkannya. Namun Luhut menangkap bahwa yang dimaksud pengganggu adalah kelompok sipil. Karena itu, begitu pertemuan usai, para jenderal yang dikenal berseberangan politik dengan Prabowo ini langsung berbicara lugas kepada wartawan. "Tak ada yang lebih rugi dari rakyat Indonesia jika terjadi penggulingan pemerintahan Yudhoyono," ujar Luhut. "Gerakan inkonstitusional ini harus dilibas."

Pesan serupa disampaikan esok harinya, ketika Yudhoyono bertemu dengan petinggi 13 ormas Islam. Seusai pertemuan, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj, yang memimpin pertemuan ini, menyatakan, "Tinggal satu setengah tahun lagi, mudah-mudahan pemerintahan berakhir baik." Ia menambahkan, "Kami tak terpengaruh gonjang-ganjing politik dan berada di belakang Presiden sampai 2014."

Salah satu orang dekat Presiden menuturkan, di Budapest, di sela lawatannya, Yudhoyono menceritakan bagaimana gerakan antipemerintah membiak. Ia menduga gerakan akan mencapai puncaknya pada aksi turun ke jalan pekan depan. "Presiden mengantongi 15 nama," kata orang dekat Presiden.

Sebelum berangkat melawat, Presiden mengumpulkan Kepala Badan Intelijen Negara, Kepala Kepolisian RI, Panglima Tentara Nasional Indonesia, serta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan di Istana. Di sana dibahas soal perkembangan politik, termasuk memperdengarkan rekaman percakapan sejumlah politikus Partai Golkar dengan seorang politikus Demokrat. Isinya rencana setelah mundurnya Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. "Ada dua rekaman. Intinya bakal ada penggalangan aktivis HMI dan simpatisannya," ujar pembantu Presiden.

Mendengar rekaman itu, Yudhoyono tersulut. Karena itu, pada Februari lalu, ia berbicara keras tentang penyelesaian kasus Lapindo. Yudhoyono menduga Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie ikut merestui aksi para kader Golkar itu.

Belakangan, seperti diutarakan salah satu orang dekat Aburizal di Golkar, Ketua Umum Golkar ini menemui Yudhoyono di Cikeas. Dalam pertemuan yang berlangsung sehari sebelum Yudhoyono bertolak ke Berlin itu, Aburizal menyangkal telah merestui manuver sejumlah kadernya. "Saat itu sempat disentil juga soal televisi yang juga milik keluarga Bakrie kelewatan memberitakan keluarga Cikeas," kata pengurus pusat Golkar ini.

Berita yang dimaksud adalah liputan televisi yang menyebut soal pajak keluarga Cikeas, kasus skandal Bank Century, dan soal halaman satu setengah yang dilancarkan kubu Anas Urbaningrum. Di situ disebutkan pula soal kemungkinan aliran dana Hambalang ke putra bungsu Yudhoyono, Edhie Baskoro atau Ibas.

Kepada Tempo, Jumat pekan lalu, Wakil Sekretaris Jenderal Golkar Lalu Mara Satria Wangsa menyatakan tak tahu soal pertemuan itu. Juga pembahasan tentang manuver "onar" dari kader Golkar. "Setahu kami, komitmen Golkar sudah jelas, tetap di belakang Presiden sampai 2014," ujar Lalu Mara.

Selain dengan Aburizal, Yudhoyono ternyata bertemu dengan sejumlah tokoh lain. Di antaranya, ia mengundang mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra. Salah satu orang dekat Yudhoyono menyebutkan setidaknya tiga kali Yusril bertemu dengan Yudhoyono sepanjang pekan sebelum Presiden bertolak ke Jerman. Dua kali bertandang di Cikeas, sekali di Istana. Selain dimintai nasihat hukum untuk kasus yang mungkin menimpa Ibas, Yusril diajak berdiskusi tentang skenario terburuk jika terjadi krisis pemerintahan.

Dimintai konfirmasi, Yusril membenarkan pertemuan itu. Namun mantan Menteri-Sekretaris Negara itu menolak menjelaskan isi pertemuan. "Soal kenegaraan yang mendasar. Tapi bukan buat publikasi," ujarnya.

Siapa yang dituding bakal mendongkel Presiden? Tak jelas. Dalam keterangannya kepada para pemimpin media, Jumat pekan lalu, Presiden emoh menjelaskan siapa yang dimaksud. Namun, selama hampir dua bulan ini, Yudhoyono berhadapan dengan para kadernya di Demokrat. Mereka adalah para loyalis Anas Urbaningrum, Ketua Umum Demokrat yang mundur karena statusnya sebagai tersangka korupsi.

Begitu mundur, Anas menebar ancaman terbuka. "Halaman pertama" yang dibuka antara lain kasus korupsi yang diduga menyeret keluarga Cikeas. Para loyalis Anas juga masih bergerilya di Partai Demokrat, tempat Yudhoyono menjadi ketua dewan pembina. Sebagian lagi kolega Anas menyokong dibukanya kembali kasus Bank Century.

Di luar itu, Yudhoyono dihantui gerakan sejumlah tokoh yang tak masuk partai. Di antaranya para tokoh yang mendirikan Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia. Kelompok yang didirikan di Cisarua, Bogor, Januari 2013, oleh 500 tokoh ini mengklaim punya jejaring hingga daerah. Ketuanya Ratna Sarumpaet. Sekretaris presidiumnya Adhie Massardi, juru bicara Abdurrahman Wahid semasa jadi presiden.

Terbentuk dari jejaring aktivis dalam berbagai sektor, gerakan ini mengancam turun ke jalan pada 24-25 Maret sebagai ultimatum kepada Yudhoyono karena ia dianggap tak pro-tuntutan rakyat. Aksi turun ke jalan dilakukan, menurut Adhie, karena mereka tak percaya terhadap sistem pemilu yang sarat politik uang.

Adhie mengakui, tujuan gerakan ini adalah membentuk pemerintahan transisi. Tugasnya membenahi Undang-Undang Politik, membenahi Komisi Pemilihan Umum, dan menegakkan hukum. "Ini bukan gerakan ujuk-ujuk," kata Firman Tendry, salah satu anggotanya. "Kami patungan untuk pendanaan."

Mantan Panglima TNI Jenderal Purnawirawan Endriartono Sutarto pesimistis terhadap manuver elite atau kelompok yang ingin melakukan kudeta. Kondisi sosial ekonomi saat ini tak separah di masa Soeharto lengser, 1998, atau peralihan kekuasaan pada 1965, yang bisa memicu gerakan masif. "Juga karena mereka tak punya dukungan tentara," ujar Sutarto.

Karena itu, Sutarto tak yakin gerakan ini berujung pada penggulingan. Lagi pula, kata Sutarto, masa tugas Yudhoyono tinggal satu setengah tahun lagi. "Gerakan begini malah menyengsarakan rakyat." Toh, kalau Presiden memang dianggap melanggar undang-undang, bisa ditempuh jalur yang ada.

Widiarsi Agustina, Wahyu Muryadi, Aryani Kristanti, Ira Sufa, Maria Rita Hasugian, Febriyan


Meninju Bayang-bayang

NYARIS setiap Maret, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan ada sekelompok orang sedang merongrong kekuasaannya. Bahkan, dalam sebuah jumpa pers, Presiden membeberkan data intelijen bahwa ia menjadi sasaran serang sekelompok teroris. Data intelijen kemudian terbukti keliru karena foto-foto orang berlatih menembak diambil dari latihan teroris di Filipina.

Kini, ketika partainya digoyang isu korupsi dan anak bungsunya, Edhie Baskoro, disebut-sebut kecipratan menerima duit proyek Hambalang, Yudhoyono menyatakan ada sejumlah tokoh berencana menggulingkannya. Kudeta di bulan Maret seolah-olah mengingatkan pada terbunuhnya Julius Caesar, pemimpin Roma, yang ditikam para pembantunya pada 15 Maret 44 sebelum Masehi. Peristiwa ini dikenal sebagai The Ides of March.

Desember 2009
Muncul isu kudeta terhadap kepemimpinan Yudhoyono karena begitu marak kasus di sekitarnya, seperti hebohnya dana talangan Rp 6,7 triliun untuk Bank Century.

Oktober 2010
Petisi 28 menggulirkan isu kudeta terhadap pemerintah Yudhoyono, yang akan merayakan satu tahun kekuasaan periode kedua. Salah satu tokoh yang mendengungkan revolusi perebutan kekuasaan adalah Rizal Ramli, Menteri Koordinator Perekonomian era Abdurrahman Wahid.

23 Maret 2011
Stasiun televisi Al-Jazeera melaporkan pertemuan sejumlah purnawirawan jenderal tentara yang berencana mengkudeta Presiden Yudhoyono melalui Dewan Revolusi Islam, yang dipimpin Abu Bakar Ba’asyir. Tokoh tentara yang disebut masuk dewan ini adalah mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Tyasno Sudarto. Salah satu indikasinya: penyerangan kelompok Ahmadiyah di Serang, Banten, oleh kelompok Islam garis keras. Penyerangan itu dikabarkan akan dijadikan pintu masuk menggulingkan pemerintah Yudhoyono. Analisis ini tak terbukti.

19 Maret 2012
Dalam silaturahmi dan konsolidasi Partai Demokrat di Cikeas, Presiden Yudhoyono menyatakan ada gerakan aneh yang hendak menggulingkannya. Meski tak terang menyebut siapa di balik gerakan aneh itu, politikus Demokrat mengatakan tokohnya tak beda dengan yang mengembuskan kudeta pada 2011. Isu kudeta ini digoreng oleh politikus Demokrat. Bahkan Wakil Sekretaris Jenderal Demokrat Ramadhan Pohan menuduh Jenderal Wiranto hendak mendongkel Yudhoyono.

15 Maret 2013
Yudhoyono mengumumkan bakal ada demonstrasi besar-besaran pada 25 Maret 2013, yang akan diikuti gerakan mengkudeta kepemimpinannya. "Informasi intelijen" menyebutkan kelompok antikenaikan harga bahan bakar minyak itu akan memanfaatkan demonstrasi besar-besaran pada tanggal tersebut. Tokoh-tokohnya akan membentuk kepemimpinan presidium.

Bakal Penghuni Istana
Sejumlah nama muncul sebagai calon penghuni Istana, pengganti Yudhoyono. Paling tidak, mereka muncul dalam beberapa sigi.

Lembaga, Waktu,
Topik, Tempat
Centre for Strategic and International Studies
16-24Januari 2012
Popularitas
23 provinsi
Lembaga Survei Indonesia
1-12 Februari 2012
Daya Tarik Calon
33 provinsi
Soegeng Sarjadi Syndicate
14-24 Mei 2012
Popularitas
163 kabupaten, 33 provinsi
Lembaga Survei Nasional
10-24 Agustus 2012
Popularitas
33 provinsi
Lembaga Survei Nasional
10-24 Agustus 2012 Penerimaan Publik
33 provinsi
Pusat Data Bersatu
3-18 Januari 2013
Elektabilitas
3 provinsi
Lembaga Survei Jakarta
9-15 Februari 2013
33 provinsi
Prabowo Subianto 65,9% 17% 25,8% 87,1% 60,69%18,4% 10,9%
Megawati Soekarnoputri 91,6% 22% 22,4% 95,9% 47,7% 13,0% 7,2%
Jusuf Kalla 84% - 14,9% 94,6% 62,0% 7,8% 8,9%
Aburizal Bakrie 61,4% 11% 10,6% 84,6% 41,4% 9,3% 8,7%
Surya Paloh - - 5,2% - - - 2,5%
Wiranto 73,9% - 4,5% 91,7% 58,0% 3,5% 9,8%
Hamengku Buwono X 62% - 3,7% 81,6%57,8%--
Hatta Rajasa- - 2,1% - - - 2,9%
Sri Mulyani- - 2,1% - - --
Hidayat Nur Wahid- - 1,8% - ---
Ani Yudhoyono62% - 1,8% - - --
Akbar Tandjung- - 1,3% - - --
Djoko Suyanto- - 1% - - --
Pramono Edhie Wibowo - - 0,9% - - --
Anas Urbaningrum - 54% - - - --
Dahlan Iskan- 11% - - - - 3,6%
Joko Widodo - - - 80,8%56,4%21,2%18,1%
Rhoma Irama - - - - - 10,4% 1,7%
Mahfud Md. - - - - - 2,8% 5,4%
Muhaimin Iskandar - - - - - -0,5%
Nama Lain - - - - - - 0,8%

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus