Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENYUT bisnis energi alternatif mulai terasa di berbagai penjuru Tanah Air. Perusahaan seperti PT Bukaka Group dan PT Indonesia Power terjun ke pembangkit listrik tenaga air, PT Mulindo Raya meneÂkuni biofuel, sejumlah perusahaan perkebunan di Sumatera "bermain" di biomassa, dan PT Green Energy Nusantara menggarap energi surya.
"Saya pikir sungai itu sudah di ujung dunia, ternyata sudah ada yang menggarap," kata Direktur Utama PT Bukaka Teknik Utama Achmad Kalla. Dia menceritakan kerepotannya mencari lahan untuk pembangkit mikrohidro.
Pemerintah telah menerbitkan harga pembelian listrik atau feed-in tariff bagi pembangkit surya oleh PT PLN (Persero) awal bulan ini. Harganya maksimal US$ 25 sen per kilowatt-jam (kWh) selama masa kontrak jual-beli 20 tahun. Setelah itu, harga turun karena biaya perawatan turun. Model ini mencontoh Thailand, yang mematok harga jual yang sama untuk 10 tahun dari pembangkit surya berkapasitas 75 megawatt. "Tahun berikutnya, harga turun US$ 4 sen," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik, akhir Februari lalu.
Namun publik dinilai masih latah menggunakan energi terbarukan semata agar terlihat ramah lingkungan dan modern. Panel surya di sepanjang jalan raya Jakarta-Bandung dan jalan tol Bandar Udara Soekarno-Hatta tak terawat sehingga banyak lampu yang mati. Bisnis listrik tenaga surya belum kinclong karena pemerintah tak memperhatikan instrumen bea masuk, mengingat 80 persen komponen masih impor.
Achmad Kalla menceritakan hambatan lain. Pembangkit listrik tenaga air buatan Bukaka di Poso berkekuatan 270 kilovolt belum bisa dimanfaatkan maksimal lantaran PLN tak kunjung memasang saluran dari Palopo ke Palu sejauh 200 kilometer. Padahal Bukaka telah membangun transmisi ke Palopo sejauh 207 kilometer. "Akhirnya untuk Palu dan Poso pakai genset," katanya. Belum lagi biomassa, yang potensinya masih tersia-sia. Dari perkiraan cadangan nasional hampir 50 ribu megawatt, PLN baru menyerap total 70 megawatt listrik per tahun.
Kendati mulai bergairah, mantan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Raden Priyono pesimistis energi terbarukan bakal menyodok maju. Energi alternatif, menurut dia, sulit berkembang di Indonesia selama harga bahan bakar minyak masih disubsidi. Harga minyak yang murah membuat energi baru dan terbarukan tak mampu bersaing. Priyono, yang pensiun bersama pembubaran BP Migas pada November tahun lalu, mencontohkan, ketika harga minyak mencapai US$ 100 per barel pada 2008, energi alternatif menemukan peluang. Tapi tiba-tiba, karena perubahan politik dunia, harganya anjlok menjadi US$ 40. "Energi alternatif tak bisa berkembang," ujarnya.
Itu sebabnya ia menyarankan subsidi harga bahan bakar minyak dikurangi. Jika itu terjadi, beban negara berkurang dan energi terbarukan bisa laku. Eksplorasi minyak untuk memenuhi kebutuhan energi lainnya juga bergairah. Sedangkan soal pengembangan shale gas, Priyono menyatakan pengusaha tak ingin insentif pembebasan pajak atau bebas pungutan. Yang mereka kehendaki terutama adalah kemudahan perizinan di daerah. Pajak pertambahan nilai juga semestinya tak ditarik dalam masa eksplorasi. "Kalau sudah produksi, boleh dikenai PPN."
Ketahanan energi nasional sulit pula terwujud jika konflik internal terus terjadi dan elite asyik bermain politik. Upaya efisiensi dan diversifikasi energi hanya akan menjadi cita-cita kosong. "Bola panas subsidi BBM tetap bergulir dan dipolitisasi. Tak ada yang mau mengambil langkah tak populis," kata bekas Deputi Kepala BP Migas Abdul Muin.
Disaksikan belasan anak buahnya, Jero Wacik menjelaskan komitmen pemerintah mengurangi penggunaan bahan bakar minyak dalam penyediaan listrik nasional. Ia memamerkan setumpuk program untuk menggenjot energi alternatif, dari energi surya, air, geotermal, sampai biomassa.
Minyak kini memang sudah semakin langka dan mahal. Indonesia membutuhkan minyak dan gas sekitar 2,2 juta barel ekuivalen per hari. Dari angka itu, 1,4 juta barel di antaranya kebutuhan minyak. "Sedangkan 40 persen kebutuhan gas dipasok dari impor," ujar Priyono.
Produksi minyak mengalami titik terendah pada 2012, yakni 825 ribu barel per hari. Padahal targetnya 930 ribu barel per hari. Dari jumlah itu, sekitar 500 ribu barel di antaranya untuk kebutuhan dalam negeri. "Sisanya dipenuhi dari impor." Menurut Priyono, pemerintah tak menggelontorkan semua minyak untuk dalam negeri karena kualitas minyak sangat bagus sehingga lebih menguntungkan kalau diekspor. Kalau semua digunakan untuk kebutuhan dalam negeri, subsidi bahan bakar minyak pun bakal membengkak.
Di arena global, menurut Abdul Muin, Indonesia berlomba dengan Cina, India, Amerika, dan Eropa Barat dalam memperebutkan minyak. Semua negara produsen minyak mengalami krisis, kecuali Timur Tengah, yang produksinya berlimpah tapi konsumsinya sedikit. Cadangan minyak dunia pada 2001-2011 tumbuh 30,4 persen. Namun cadangan Indonesia pada periode itu justru minus 20,8 persen dengan sumbangan terhadap produksi dunia sekitar 0,2 persen.
Puncak produksi minyak Indonesia terjadi pada 1977, sedangkan puncak kedua pada 1995. Setelah itu, Indonesia krisis minyak. Sisa cadangan pasti (P1) tinggal 15 persen dari ultimate recoverable reserve. "Sebanyak 85 persen kekayaan minyak sudah terkuras," kata Abdul Muin. Pengeboran, eksplorasi, dan cara-cara injeksi untuk menaikkan produksi tak banyak membantu. Tren penurunan produksi tak bisa dihindari lantaran jarang ada penemuan blok minyak baru.
SITUS berita Jerman, Deutsche ÂWelle, pada 16 Januari 2013 menulis laporan terbaru Renewable Energy Policy Network 21st Century (REN21) bertajuk Global Future Report Renewables. Di sana tertera perkiraan pertumbuhan energi terbarukan di masa depan. "Energi terbarukan memasok sekitar 25 persen dari kebutuhan energi global," kata Sekretaris Jenderal REN21 Christine Lins.
Laporan jaringan yang bermarkas di Paris, Prancis, itu berdasarkan wawancara dengan 170 pakar energi dan 50 pusat pemikir dari seluruh dunia. Mayoritas pakar meyakini pertumbuhan terbesar bakal terjadi antara lain di Cina, India, Jepang, dan Brasil. Lebih dari 130 juta keluarga di Cina hidup dari energi matahari. Bahkan lebih dari setengah panel surya di dunia berada di Cina. Negeri Tembok Raksasa itu juga menggenjot energi angin sehingga memperoleh lebih dari 80 gigawatt atau dua kali lipat dari Jerman. Cina pun memulai program menggandakan produksi energi angin sampai 2020.
Adapun Jepang mulai aktif membangun infrastruktur energi angin dan surya setelah tragedi pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima pada Maret 2011. Jepang berencana memproduksi energi terbarukan untuk memasok 30 persen kebutuhan listrik hingga 2030.
Brasil terdepan dalam pemanfaatan energi air. Sebanyak 80 persen pasokan listrik Negeri Samba hasil energi terbarukan, yang sebagian besar dari tenaga hidro. Pemerintah Brasil juga giat membangun kincir angin. Negara itu tercatat pula sebagai kampiun dalam produksi bahan bakar hayati etanol alias bioetanol. Lebih dari separuh bahan bakar di Brasil diperoleh dari tanaman.
Christine Lins menerangkan, keuntungan terbesar energi terbarukan adalah ongkos yang rendah dan ramah lingkungan. Ongkos produksi energi angin dan matahari belakangan kian terjangkau dibandingkan dengan energi nuklir atau fosil, seperti minyak dan batu bara. Menurut sejumlah pakar industri, hingga 2050, instalasi panel surya dengan daya 8.000 gigawatt bakal menghasilkan 80 kali lebih banyak energi ketimbang saat ini.
Di Indonesia, Jero Wacik menyebut energi panas bumi digadang-gadang akan menghasilkan listrik berdaya besar. Negeri yang kaya gunung api ini menyimpan 40 persen geotermal atau uap panas dunia, yang bisa menghasilkan 30 ribu megawatt listrik. "Bagaimana menjadikan potensi menjadi riil, inilah tugas saya," ujarnya.
Jero lantas menggelar tabel proporsi energi keluaran Dewan Energi Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Berdasarkan peraturan presiden, porsi energi baru-terbarukan melonjak dari 5,7 persen menjadi 17 persen pada 2025. Sedangkan rencana Dewan Energi lebih tinggi, yakni menjadi 25 persen pada 2025.
Masih ada energi murah yang belum digarap serius, yaitu shale gas. Shale gas adalah gas alam cair yang terperangkap dalam sedimen bebatuan berbutir halus yang mengandung banyak sumber minyak dan gas. Eksplorasinya dengan cara hydraulic fracturing (fracking): mengorek lubang bekas penimbunan gas dan minyak menggunakan media air, pasir, atau butiran keramik khusus dan cairan kimia.
Menurut Badan Informasi Energi Amerika Serikat, negeri itu konsumen terbesar kedua shale gas setelah Cina dengan cadangan 290 triliun kaki kubik (860 trillion cubic feet). Pada 2009, berdasarkan data badan energi dunia yang bermarkas di Paris, International Energy Agency (IEA), shale gas menyumbang 14 persen dari pasokan gas Amerika. Kebutuhan akan shale gas bakal terus meningkat sampai 44 persen pada 2040. Cadangan itu diyakini bakal membuat Amerika kembali menjadi penentu di percaturan internasional.
Produsen asal Amerika telah datang ke Jakarta untuk menjajaki eksÂplorasi dan bisnis shale gas. Tapi, ujar Menteri Jero, shale gas digolongkan bersama gas jenis lain dan tak mendapat perlakuan khusus. "Saya berfokus pada energi terbarukan saja," katanya. Jika shale gas mulai marak, pemerintah baru berpikir memberi perakuan lain, misalnya memberikan insentif.
Penanggung Jawab: Nugroho Dewanto Pemimpin Proyek: Jobpie Sugiharto Penyunting: Nugroho Dewanto, M. Taufiqurrahman, Hermien Y. Kleden, Bina Bektiati,
Qaris Tajudin, Firman Atmakusuma Penulis: Jobpie Sugiharto. Y. Tomi Aryanto, Retno Sulistyowati, Akbar Tri Kurniawan, Amandra Mustika Megarani, Sorta Tobing, Anton William, Mahardika Satria Hadi, Sadika Hamid Foto: Ijar Karim, Jati Mahatmaji Penyumbang Bahan: Amar Burase (Poso), Hari Tri Wasono (Blitar), Rofiqi Hasan (Bali), Anwar Siswadi (Bandung), Jumadi (Bacu-Bacu), Aan Pranata (Makassar), Yohanes Seo (Waingapu), Bernadette Chistina Munthe, Sorta Tobing, Jobpie Sugiharto, Retno Sulistyowati, Y. Tomi Aryanto, Akbar Tri Kurniawan, Anton William, Mahardika Satria Hadi, Amandra Mustika Megarani, Syari Fani, Sadika Hamid (Jakarta)
Bahasa: Uu Suhardi (koordinator), Iyan Bastian, Sapto Nugroho Desain: Djunaedi (koordinator), Agus Darmawan Setiadi, Aji Yuliarto, Tri Watno Widodo Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 24 Maret 2014 PODCAST REKOMENDASI TEMPO arsip Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |