Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua kruk kini menyangga tubuh tegapnya. Meski usianya belum separuh abad, baru 46 tahun, ia tampak tertatih-tatih berjalan menuju rumahnya yang sederhana seusai salat di satu-satunya masjid di Pulau Untung Jawa, Kepulauan Seribu, Jumat dua pekan lalu. Mustar, pemilik tubuh 170 sentimeter itu, telah sepuluh bulan menderita stroke. Raganya sempat lumpuh separuh di bagian kanan. Padahal ia dikenal sebagai penyelam ulung.
Sejatinya ia nelayan. Pekerjaannya memasang bubu di dasar laut. Kemampuan menyelam alaminya membuat sejumlah perusahaan pemburu harta karun sejak 1980-an sering menyewanya.
Berbagai titik kapal karam mulai Bangka dan Belitung, Karawang, Cirebon, Jepara, hingga Ternate sudah dia jelajahi. Mustar mengklaim pernah menyelam hingga kedalaman 90 meter. Tentu saja, alasannya uang. Jika mencari terumbu karang, Mustar paling banter mendapat Rp 600 ribu sebulan. ”Kalau ngangkat harta karun, bisa Rp 5 juta. Menyelam pun lebih nikmat di tempat yang lebih dalam,” katanya.
Jejak Mustar ini diikuti belasan pemuda Untung Jawa. Mustar bersama dua nelayan sempat mencari harta karun secara swadaya. Pengalaman bekerja dengan perusahaan profesional membuat Mustar mampu menilai kualitas barang. Tapi, karena yang didapat tak bagus, harta dikembalikan ke laut. Selain itu, petugas patroli kerap memergoki Mustar dan kawanannya. Mereka pun buru-buru kabur. ”Saya enggak pernah dapat apa-apa kalau nyari sendiri,” ujarnya.
Untuk pencarian itu, mereka hanya bermodal perahu 1,5 x 6 meter serta kompresor dengan selang panjang sebagai penyalur oksigen. Dengan alat ini, mereka bisa bertahan hingga tiga jam di dasar laut, jauh lebih lama ketimbang penyelam bertabung oksigen, yang hanya mampu bertahan paling lama 30 menit.
Sugeng Triyono alias Jabrik, penyelam bersertifikat yang pernah bekerja bareng dengan Mustar di Cirebon, menduga kenekatan inilah yang membuat Mustar mengalami efek dekompresi akibat terlalu lama terpapar tekanan tinggi, yang akhirnya mematikan fungsi tubuh. ”Banyak penyelam tradisional tak memahami efek dekompresi ini. Menyelam sampai 90 meter itu gila,” kata Jabrik.
Kemungkinan cacat atau mati nyatanya tak menghilangkan semangat untuk menjadi kaya. Sejumlah nelayan asal Desa Tangkolak, Cilamaya Wetan, Karawang, juga beralih menjadi pengejar harta karun. Causi, warga setempat, mengatakan sejumlah nelayan di wilayahnya sering mencari harta di perairan Blanakan, Subang. Modalnya sama, kompresor dan selang. ”Para penyilem-nya banyak yang mati,” katanya.
Meski risau pada tindakan para nelayan itu, semua perusahaan pencari harta yang ditemui Tempo mengakui peran mereka cukup besar. Nelayan itulah, biasanya, yang pertama kali memberikan info titik koordinat harta karun. Haji Taryono, tokoh nelayan asal Muara Angke, Jakarta, misalnya, mengaku sudah mengantongi 10 koordinat kapal karam dari sejumlah nelayan. Salah satunya kapal milik Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) alias kompeni di perairan Subang. ”Tinggal menunggu investor untuk mengangkat,” katanya.
Freed Dooberphul, pemburu harta asal Jerman, mengaku bahkan sering sengaja mencari informasi ke nelayan. Ia siap mengeluarkan Rp 300 juta untuk nelayan yang memberikan informasi kapal karam dengan muatan tak terlalu bagus. Sedangkan untuk yang bagus, Freed mengaku berani memberikan Rp 1 miliar.
Meski demikian, tak semua nelayan tergiur upah besar. Ada yang bahkan memilih tak berurusan sedikit pun dengan harta yang tersangkut jalanya. Warsida, 35 tahun, warga Pesisir, Lemahwungkuk, Cirebon, misalnya, mengaku menemukan enam mangkuk bermotif naga dan bunga biru muda. Alih-alih mencari lagi benda serupa atau menjual informasi penemuan itu, Warsida membuang semua temuannya ke laut. Takut ditangkap polisi.
Tata, 40 tahun, warga Klayan, Gunung Jati, Cirebon, pernah terkena getah menyimpan koleksi laut. Pada 2005 ia menemukan piring putih kusam bermotif bunga biru. Karena tertarik pada temuannya, Tata menyimpan barang itu di rumahnya. Belakangan polisi mendatangi rumah Tata. ”Saya dimintai keterangan sampai menginap semalam di kantor polisi pelabuhan,” katanya. Ia akhirnya merelakan piring yang diduga harta dari negeri Cina itu disita polisi.
Menurut nelayan, tak semua pemburu harta menepati janji. Mereka sudah memberikan informasi titik harta karun, tapi tak dibayar seperti dijanjikan. Husein, nelayan Cirebon, misalnya, oleh sebuah perusahaan dijanjikan menerima Rp 300 juta jika memberi tahu koordinat harta di Blanakan. Tapi sampai kini ia hanya memperoleh Rp 7 juta.
Mustar ”Si Penyelam” pun mengaku pernah ditipu perusahaan pencari harta di kawasan Ternate. Pemimpin perusahaan kabur dan tak menggajinya. Ia sempat menggelandang selama sepekan. Tapi Mustar, dan mungkin para penyilem ilegal lain, tak pernah kapok. ”Kalau sudah sembuh, saya pasti kembali menyelam,” ujarnya.
Pramono, Ivansyah (Cirebon), Nanang Sutisna (Subang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo