Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kembalinya Hatcher di Blanakan

Michael Hatcher muncul lagi. Ia diduga menjadi konsultan perusahaan yang kini melakukan pengangkatan harta karun di perairan Subang, Jawa Barat. Polisi memburunya.

24 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tubuhnya terlihat telah tua. Tambun dan keriput. Namun, untuk ukuran orang berusia 70 tahun, ia tampak cekatan. Ia berada di kapal yang dilengkapi perlengkapan canggih: pemindai laut yang bisa mendeteksi benda sampai kedalaman 400 meter, dan sonar yang bisa mendeteksi hingga kedalaman 50 meter.

Dengan dua tabung oksigen di punggungnya, ia melompat terjun ke air. Begitu muncul dengan senyum sumringah, ia memamerkan temuannya: piring Cina. Tampak beberapa kali ia menyelam, dan ketika naik dia membawa mangkuk atau vas.

Itulah Michael Hatcher, jawara pemburu harta karun—seperti disajikan sebuah film dokumenter. Film berdurasi 6 menit 20 detik itu diterbitkan pada Juni 2009. Meskipun tidak dicantumkan posisi tepat kapal tersebut, diduga kuat Hatcher tengah beraksi di perairan Blanakan, Subang, Jawa Barat.

Teks dalam bahasa Inggris yang menjadi pembuka film dokumentasi blak-blakan menyatakan Hatcher berada di Indonesia: Penemuan Kapal Karam 2009. Sebuah kapal karam dari zaman Dinasti Ming telah ditemukan di Laut Jawa oleh pemburu dan penyelamat harta karun terkemuka Michael Hatcher.

Terlihat semua awak memang orang Indonesia. Dalam film itu diinformasikan bahwa kapal berukuran sekitar 58 x 28 meter tersebut membawa tak kurang dari satu juta aneka rupa porselen peninggalan Dinasti Ming, yang diunduh sekitar empat bulan. Film itu juga menampilkan rekaman pemandangan menakjubkan di dasar laut: gunungan porselen aneka rupa yang sebagian besar masih dalam kondisi utuh.

Nilai tiap-tiap porselen langka itu, dalam film, disebutkan US$ 10 ribu (sekitar Rp 90 juta) hingga US$ 20 ribu (sekitar Rp 180 juta). Jika dihitung-hitung, nilai total semua porselen itu diperkirakan mencapai US$ 200 juta atau sekitar Rp 1,8 triliun.

Konsorsium Penyelamat Aset Bangsa, yang memutar film itu dalam jumpa pers di Hotel Sofyan Cikini, Menteng, Jakarta, beberapa waktu lalu menyebut aktivitas Hatcher di Blanakan sebagai konsultan teknis yang disewa perusahaan dalam negeri PT Comexindo Usaha Mandiri. Film itu iklan atau promosi penjualan Hatcher yang diperuntukkan bagi museum dan kolektor. Dalam film itu semula ada di situs Hatcher di Internet, tapi sekarang sudah terhapus.

Comexindo, menurut Konsorsium, adalah perusahaan yang diberi izin survei di lokasi Blanakan oleh Panitia Nasional Barang Muatan Kapal Tenggelam pada 11 Agustus 2009. Surat izin survei itu bernomor B.435/MEN-KP/VII/2009. Perusahaan ini juga kemudian mendapat izin pengangkatan dengan surat bernomor B.666/MEN-KP/XI/2009 tertanggal 25 November 2009.

Aktivitas Hatcher seperti yang ditampilkan video yang dibuat pada Juni 2009 itu artinya mendahului izin legal pemerintah yang diberikan kepada Comexindo pada November 2009. Diperkirakan aktivitas Hatcher di perairan Blanakan bahkan sudah dilakukan sejak November 2008. ”Karena itu, kami menuntut agar Hatcher dan PT Comexindo ditangkap, dan segala aktivitasnya dihentikan,” ujar Koordinator Konsorsium Endro Soebekti Sadjiman.

Comexindo sampai sekarang masih terus melakukan pengangkatan di perairan Blanakan. ”Kalau polisi serius, menangkap Hatcher itu mudah. Bisa berawal dari pemeriksaan PT Comexindo,” kata pengusaha Budi Prakoso dari Tuban Oceanic Research & Recovery. ”Hatcher saya kira masih keluyuran di Jakarta.”

Polisi mengaku tak tinggal diam dengan kemunculan kembali Hatcher. ”Kita sudah melakukan pencekalan,” kata Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Komisaris Jenderal Ito Sumardi. Badan Reserse Kriminal, menurut dia, telah mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan aksi pemburu harta karun asal Australia itu di sejumlah wilayah Indonesia.

Ito menjelaskan, Hatcher sebenarnya sudah lama diburu polisi. Bahkan sejak informasi tentang perburuan Kapal Vec De Geldermalsen di perairan Bintan Timur. Kini tim dari Badan Reserse Kriminal sedang mengumpulkan informasi tentang aksi Hatcher. Ito belum mau menjelaskan sejauh mana hasilnya. ”Biarkan kami bekerja dulu,” ujarnya.

Michael ”Mike’’ Hatcher lahir di York, Inggris, pada 1940. Pada umur 14 tahun, lelaki yang semasa kecilnya tinggal di panti asuhan itu hijrah ke Australia. Perburuan muatan kapal karam pertama kali dia lakukan pada 1970, dengan sebuah yacht tua yang direnovasi. Pada 1981 ia berhasil mengangkat isi kapal tenggelam di Malaysia. Selanjutnya ia menggerayangi isi kapal karam di Tanjung Pinang dan Selat Gelasa, masing-masing di Riau dan Sumatera Selatan.

Walau disebut-sebut masuk daftar hitam pemerintah Indonesia, nyatanya Hatcher bisa pulang-pergi seenaknya. Hingga saat ini imigrasi tidak mencekalnya. ”Saya masuk ke Indonesia tanpa masalah,” ujarnya kepada media Inggris, The Times Online, awal Mei lalu. Dia membantah tudingan melakukan kegiatan ilegal. ”Tuduhan itu tidak ada dasarnya,” katanya. Menurut dia, tuduhan itu berasal dari lawan bisnisnya yang mengincar proyek yang kini sedang dia tangani.

Hatcher mengaku tengah terlibat proyek penyelamatan harta karun di Blanakan. Hatcher mengatakan pihaknya justru menyelamatkan harta karun Blanakan yang rawan penjarahan. ”Bila kami tidak mengamankan kapal karam itu, semua sudah habis dicuri,” katanya.

Laut lepas Blanakan hingga Pakis Jaya, Karawang, Jawa Barat, diyakini memendam harta karun yang tak terkirakan banyaknya. Pada 2000-an, PT Lautan Mas Bhakti Persada, misalnya, pernah besar-besaran mengeksplorasi lokasi sekitar 200 mil dari bibir pantai Blanakan. Di kedalaman sekitar 27 meter, perusahaan yang berpusat di Jakarta itu berhasil mengangkat berbagai jenis porselen zaman Dinasti Ming. Semuanya lalu digudangkan di Museum Prancis, Jakarta, gudang milik Angkatan Laut di Cirebon, dan gudang Pondok Duyung, Jakarta.

Banyak nelayan yang terlibat dalam proses pencarian harta karun ini. Mereka kebanyakan berasal dari kampung nelayan Tangkolak, Desa Sukakerta, Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang, yang lokasinya tak begitu jauh dari pantai Blanakan. Pada Juli 2009, misalnya, seorang penyelam asal Desa Tangkolak bernama Sukarta dibantu kawan-kawannya berhasil mendapat ribuan porselen Ming.

Pos pengamanan laut Blanakan menyebutkan, jumlah keramik zaman Dinasti Ming yang ditemukan Sukarta sekitar 2.300 buah. ”Kondisinya masih bagus-bagus. Kebanyakan berupa mangkuk,” kata Sukrisno, petugas pengamanan laut Blanakan. Barang-barang itu selanjutnya diamankan di Pangkalan Utama Angkatan Laut di Cirebon.

Tapi, menurut warga Tangkolak sendiri, Sukarta sesungguhnya hanya bekerja untuk orang asing. ”Sukarta itu hanya kuli bule,” kata Casudi, salah seorang warga Tangkolak. Ketika ditanya mungkinkah yang dimaksud orang asing itu Michael Hatcher, Casudi menjawab, ”Bisa iya, bisa tidak.”

Yang jelas, perburuan Sukarta dan kawan-kawan itu di titik 05-28” 783 Lintang Selatan dan 107”-55’ 227” Bujur Timur di perairan Blanakan. Lokasi itu kini izinnya diberikan kepada Comexindo Usaha Mandiri. Dan dua kapal yang digunakan Sukarta untuk mengangkut keramik-keramik temuannya itu, Perahu Alini Jaya dan Perahu Asli, adalah kapal yang diduga ada hubungannya dengan Comexindo.

Haryo Yuniarto, Direktur Hukum Comexindo, membantah semua tudingan itu. Menurut dia, sejak permohonan izin survei, Hatcher tidak pernah dilibatkan, termasuk sebagai konsultan. ”Sama sekali tidak ada hubungan kerja dengannya,” kata Haryo. Dia menantang Konsorsium membuktikan tuduhannya.

Keterlibatan Hatcher dalam ”proyek Blanakan” kini masih diselidiki. Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, pun membentuk tim terpadu yang terdiri atas unsur Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, TNI AL, Direktorat V Tindak Pidana Tertentu Bareskrim, Direktorat Polisi Perairan Polri, dan Kejaksaan Agung.

Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Aji Sularso menjelaskan, saat ini tim itu sudah bekerja di Blanakan. Mereka mencatat semua keramik hasil pengangkatan Comexindo dengan sistem komputerisasi dan menggunakan barcode agar mudah didata. ”Kita juga memasang kamera CCTV agar pengawas tidak bisa melakukan konspirasi,” ujarnya.

Nunuy Nurhayati, Nanang Sutisna (Subang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus