Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKHIRNYA angka itu mencapai seribu. Leonard Stefanus Angliadi, SpRM, Kepala Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional Rumah Sakit Umum Pusat Prof Dr R.D. Kandou, pun tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Inilah buah manis dari usaha yang telah dirintisnya selama lebih dari 13 tahun itu.
Statistik kunjungan pasien yang terjadi tahun lalu itu juga berarti sebuah jawaban dari keya-kinannya saat membuka layanan pengobatan tradisional ini. Saat itu, Angliadi, panggilan akrabnya, percaya bahwa klinik yang mengintegrasikan metode pengobatan konvensional dan pengobatan tradisional akan mendapat respons sangat besar dari masyarakat di sana.
Dari tahun ke tahun, prediksi itu sedikit demi sedikit terbukti. Meski lamban, pasien yang datang berobat terus meningkat. Walhasil, dalam tujuh bulan perjalanan pada tahun ini, rumah sakit tersebut melayani seratus orang lebih setiap bulan.
Poliklinik pengobatan tradisional tersebut menyediakan pelayanan pengobatan dengan metode akupresur—antara lain untuk penyakit seperti pasca-stroke, nyeri tulang belakang, dan diabetes—pijat tanpa alat, jasa konsultasi obat-obatan tradisional, dan akupunktur. Mereka datang ke sana biasanya setelah mendapat rujukan dari poli lain. Tapi ada pula yang langsung datang tanpa rujukan.
Dalam hal pengobatan tradisional di negeri ini, Poliklinik Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional RSUP Prof Dr R.D. Kandou terbilang pionir. Sejak 8 April 1996, rumah sakit ini sudah menjadi wadah pelayanan pengobatan tradisional di Sulawesi Utara—bersama Provinsi Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jakarta.
Pembukaan poliklinik ini merupakan jawaban rumah sakit terhadap keinginan masyarakat yang melirik pengobatan tradisional di tengah kemajuan pengobatan. ”Kami mencoba memperkenalkan metode pengobatan tradisional yang sudah dikenal di masyarakat dengan menggabungkannya bersama pengobatan konvensional,” ujar Angliadi.
Toh, tak semuanya berjalan seindah harapan. Banyak pasien yang mencoba berobat ke sana kecewa karena tak ada ahli yang menanganinya. Ketika mereka hendak menjalani terapi akupunktur, misalnya, tenaga akupunkturis malah tidak ada. Poli itu memang kesulitan mendapatkan ahli yang siap seratus persen memberikan pelayanan. ”Di sini hanya ada satu perawat dan dua orang tenaga akupresur,” katanya.
Namun Angliadi tak bisa berbuat banyak. Masalahnya, tenaga dokter yang dimintai bantuan pada umumnya masih terikat dengan tempat kerjanya. Praktis mereka sibuk dengan kegiatan sendiri. Pada 2002, poli ini pernah dibantu seorang dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan. Sayang, ia cuma sebentar.
Penyebab lain, kata Angliadi, minat dokter untuk berkecimpung di dunia pengobatan tradisional juga rendah. Mereka yang berpendidikan modern lebih senang mempertahankan cara konvensional. Pelayanan ini tak ubahnya sebuah jalan yang sunyi.
Kendala lain adalah kurangnya perhatian dari pemerintah. Angliadi menyebut contoh proposal pengembangan poliklinik pengobatan tradisional di RSUP Manado yang telah disodorkan sejak 1997, tapi hingga kini belum terealisasi karena keterbatasan anggaran.
”Saya hanya ingin menyarankan Departemen Kesehatan menyediakan dana khusus setiap tahun untuk melaksanakan kegiatan pendidikan dan pelatihan di bidang pengobatan tradisional. Untuk RSUP Manado juga begitu, harus ada dana untuk itu,” ujarnya berharap.
Poli itu juga belum bisa mencukupi kebutuhannya sendiri. Masalahnya, menurut Angliadi, pelayanan konsultasi obat tradisional dan penjualan obat tradisional belum bisa menambah pendapatan untuk menopang jasa pelayanan. ”Masih gratis dan promotif,” katanya.
Meski demikian, dengan keterbatasan yang ada, upaya promosi obat tradisional ini berhasil mencuri perhatian dokter dan masyarakat. Mereka menjadikan obat tradisional sebagai salah satu alternatif pengobatan, antara lain untuk kanker payudara, kanker kandungan, dan kanker paru-paru.
Itu sebabnya Angliadi tetap optimistis pengobatan jenis ini memiliki prospek yang cerah. Berdasarkan pengalamannya, tak pernah ada efek samping atau komplain, apalagi tuntutan dari pasien terkait dengan penggabungan pengobatannya. Bukti lainnya, jumlah pasien terus meningkat.
Itu berarti cita-cita mengintegrasikan pengobatan tradisional dan konvensional bukan mimpi. ”Belum sepenuhnya terjadi. Masih perlu dukungan dari berbagai pihak,” ujar dr Angliadi, yang tak lelah menyalakan api harapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo