Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menyandang sejumlah gelar spesialis, di samping sebagai guru besar emeritus kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Toh, dia tak pernah menyepelekan bidang pengobatan lain. Dan terbukti: Profesor Yahya Kisyanto kini memimpin sekitar 250 dokter dalam Perhimpunan Kedokteran Komplementer-Alternatif Indonesia.
Tentang pengobatan komplementer-alternatif, ahli jantung berusia 67 tahun ini mengaku sebenarnya lebih suka menyebutnya integrated medicine atau pengobatan terpadu. "Lebih tepat, karena menyatukan dua jenis pengobatan (Barat dan Timur)," ujarnya.
Bidang itu bukan pekerjaan mudah. Sebab, dokter yang mempraktekkannya sering dipanggil "terkun" alias dokter dukun. Kisyanto mengakui masih ada kalangan dokter yang skeptis terhadap pengobatan ini. "Tapi kami mengundang mereka untuk berdialog. Jangan sampai kami dianggap terkun," kata dokter yang mendalami chelation atau pengobatan komplementer untuk kasus keracunan logam berat ini.
Kisyanto memang masih harus berjuang melawan sinisme sejawatnya yang mengunggulkan pengobatan Barat atau konvensional, serta sedikitnya minat dokter pada kedokteran komplemen-ter-alternatif. Hal ini berbeda dengan di Amerika Serikat, salah satu "kiblat" Barat dan modernitas, misalnya. Di sana ada lembaga resmi The National Center for Complementary and Alternative Medicine, bagian dari Departemen Kesehatan. Tapi, "Kami arahnya juga ke situ, lembaga resmi. Kami ingin mengubah dan memperbaiki citra bahwa kedokteran komplementer dan alternatif bukan dokter dukun," ujar fellow American College of Cardiology ini.
Karena itulah, bersama teman-teman sejawat yang seide, Kisyanto pada 2 Februari 1999 mendirikan Perhimpunan Kedokteran Komplementer-Alternatif Indonesia.Pelayanan kedokteran ini antara lain berupa terapi akupunktur, herbal, hiperbarik, ozon, laser, chelation, chiropractic, dan colon hydrotherapy. "Sebenarnya banyak dokter kita yang menggabungkan pengobatan Barat dan Timur. Tapi, sejak adanya perhimpunan, ada keberanian lebih untuk tampil," katanya.
Dalam mengeksplorasi kemampuan para dokter di perhimpunan itu, ditemukan pengobatan komplementer dan alternatif yang bisa dimasukkan ke sistem pengobatan terpadu, asalkan ada evidence based-nya. Menurut dia, evidence based ini harus jelas meskipun tidak sekuat atau sebagus pada pengobatan konvensional (tapi menjadikannya mahal). "Namun itu mesti diteliti dulu, jangan sampai tidak cocok dengan yang kami pelajari (pengobatan konvensional)," ujarnya.
Dari seluruh kategori tadi, menurut dokter yang juga Ketua Umum Perhimpunan Kedokteran Anti-Penuaan Indonesia ini, yang paling sulit ditemukan adalah evidence based pada intervensi tubuh dan pikiran. "Di sana ada prana dan sebagainya. Itu lebih sulit. Di bidang psikologi, itu susah, mesti menggunakan ahli psikologi, bahkan hingga ahli agama. Itu dilakukan untuk menjamin jangan sampai ada kesalahan pengobatan," ujarnya.
Karena itulah sekarang yang masuk lebih dulu menjadi pengobatan komplementer-alternatif di rumah sakit, menurut Departemen Kesehatan, adalah pengobatan yang lebih gampang diukur, seperti akupunktur, herbal, dan hiperbarik.
Hal itu dimungkinkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1109 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer-Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Keluar berkat perjuangan Kisyanto dan kawan-kawan, peraturan ini membolehkan tiga jenis pengobatan komplementer-alternatif masuk pengobatan terpadu di beberapa rumah sakit. "Nantinya tidak hanya tiga yang sudah resmi, tapi semua keahlian. Pengobatan komplementer-alternatif cukup banyak," kata alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.
Berdasarkan peraturan itu, ruang lingkup pengobatan komplementer-alternatif yang berlandaskan ilmu pengetahuan biomedis antara lain intervensi tubuh dan pikiran, sistem pelayanan pengobatan alternatif, cara penyembuhan manual, pengobatan farmakologi dan biologi, diet dan nutrisi untuk pencegahan dan pengobatan, serta cara lain dalam diagnosis dan pengobatan. "Saat ini Departemen Kesehatan memiliki kelompok kerja yang menguji komplementer dan alternatif. Saya salah satu penasihat di situ," ujar alumnus postgraduate course in cardiology di Sydney, Australia, ini.
Perkumpulan dokter yang dihimpun Kisyanto nantinya akan berada di bawah naungan Ikatan Dokter Indonesia. "Akhir tahun ini akan dikukuhkan, jangan lepas sendiri," ujar dokter yang meraih gelar doctor of philosophy dari Erasmus University, Rotterdam, Belanda, ini.
Perjuangan itulah yang membuat bangga 250 dokter komplementer-alternatif, yang sering diremehkan karena dianggap mencampurkan pengobatan konvensional dan nonkonvensional. Profesor Kisyanto, dengan segala aktivitasnya, juga keterlibatannya di Badan Kesehatan Dunia, serta tulisan ilmiahnya yang tersebar di berbagai jurnal ilmiah dalam dan luar negeri, tentu membikin "terkun" makin pede.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo