Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tersendat Beleid Praktek Dokter

Pernah berjaya, terapi pengobatan Timur di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, terhenti karena ketidakjelasan aturan. Tetap dicari pelanggannya.

10 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sanjaya akhirnya duduk mengaso di depan Ruang Anggrek Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Senin siang pekan lalu, lelaki berambut perak itu kecewa karena tak menemukan klinik herbal dan akupunktur yang disebut teman karibnya. ”Sudah lama tutup ternyata,” kata Sanjaya.

Alkisah, Sanjaya, 60 tahun, baru pulang dari Amsterdam setelah setahun lebih tinggal bersama anaknya. Selalu makan enak dan tak mau me­ngerem asupan, kolesterol warga Sukajadi, Bandung, ini tinggi. Kalau asam uratnya tinggi, Sanjaya hanya bisa nyengir karena tak bisa ikut senam pagi dengan kawan-kawannya di Taman Lansia, Bandung. Belakangan, tensinya juga meningkat, begitu pula gula darahnya.

Pensiunan pejabat perusahaan milik negara ini teringat cerita teman karibnya, Nugroho, yang kondisinya selalu fit karena empat tahun terakhir rajin mengubah pola hidup dan ikut klinik herbal di Rumah Sakit Hasan Sadikin. ”Ia juga bercerita ikut akupunktur segala,” kata Sanjaya.

Namun agaknya itu kenangan lama. Pusat pengembangan dan penerapan obat tradisional­ alias klinik herbal yang dicari Sanjaya sudah lama tak dibuka. Perintisnya, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Profesor Dr R. Muchtan Sujatno, sudah lama menyerahkan jabatan kepala klinik itu ke dokter Syarifudin.

Meski klinik itu sudah ditutup, tetap banyak pasien yang datang dan hendak berobat lagi. Banyak juga pasien baru seperti Sanjaya yang kecele. Mereka akhirnya dirujuk ke dokter ahli atau ke tempat dokter yang concerned dengan metode ini. ”Soalnya, klinik tak ada lagi. Ya, karena dokternya enggak ada, jadi enggak bisa dilayani,” kata Mumu Muhyidin, petugas Laboratorium Farmakologi Rumah Sakit Hasan Sadikin.

Didirikan pada tahun 2000, kata Profesor Muchtan, klinik pengobatan tradisional itu melayani empat model pengobatan: herbal, tusuk jarum, homeopati, dan penyembuhan dengan tenaga dalam. Selama enam tahun berjalan, rata-rata lima pasien datang tiap hari. Setidaknya ada tujuh dokter ahli dan tenaga medis yang melayani, dibantu seorang apoteker herbal. ”Mereka datang sendiri atau atas rujukan dokter untuk menyembuhkan diabetes, darah tinggi, dan rematik,” ujar Muchtan.

Pengobatan herbal, menurut Muchtan, biasanya diberikan untuk pasien darah tinggi dan diabetes. Tusuk jarum untuk pasien penderita nyeri otot. Sedangkan homeopati bagi penyakit umum dengan penggunaan dosis yang sangat rendah. Dalam sehari, kalau lagi ramai, bisa datang 10 pasien. ”Jam buka pukul delapan pagi dan klinik tutup pukul dua siang,” kata Muchtan.

Masalahnya, saat itu tak semua pasien bisa dila­yani dengan baik. Soalnya, dokternya juga harus melakukan tugas utamanya, melayani pasien bagian lain. Klinik pun sempat berpindah-pindah tempat. Dan yang lebih genting, klinik tetap terserimpet ketidakjelasan aturan, sehingga petugas medisnya memilih menutupnya.

Muchtan beralasan, aturan pemerintah yang memayungi pengobatan alternatif di rumah sakit sela­ma ini tak jelas. Dulu klinik berjalan setelah mereka meminta ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat agar ada pelayanan pasien yang murah dengan peng­obatan herbal. ”Kami dulu berjalan sambil menunggu keluarnya aturan, tapi tidak ada juga,” katanya.

Aturan tegas yang dimaksud Muchtan menyangkut standar pelayanan, satuan operasional kerja, dan struktur pertanggungjawaban. Tanpa itu, Muchtan mengaku ngeri jika nantinya dijerat Undang-Undang Praktek Kedokteran. ”Itulah kenapa mereka yang terlibat dalam klinik itu menjadi gamang bekerja hingga akhirnya memilih klinik ditutup sementara,” ujarnya.

Direktur Pelayanan Medik dan Keperawatan Rumah Sakit Hasan Sadikin Rizal Chaidir mengakui klinik pengobatan tradisional yang dibuka pada tahun 2000 terkendala beleid aturan yang belum jelas. Program ini sebenarnya sesuai dengan program Departemen Kesehatan. Adapun selama klinik berjalan, sesuai dengan alur yang berlaku, pertanggungjawaban pengobatan dilakukan ke Dinas Kesehatan Jawa Barat. Begitu pula pemantauannya. Karena itu, menurut Rizal, pihaknya belum bisa memastikan soal keberadaan klinik-klinik seperti ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus