Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Harta Melimpah Pengumpul Upah

Usahanya tersebar mulai pusat kebugaran, kontrakan, hingga perumahan. Diperoleh dari penurunan nilai obyek pajak.

5 Maret 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gonjang-ganjing pemberitaan kasus Dhana Widyatmika membuat Ajib Hamdani teringat pada kasus yang harus dihadapinya. Pegawai pajak nonaktif di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Kelapa Gading, Jakarta Utara, itu punya urusan dengan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Kedatangan Tempo pada Jumat pagi pekan lalu untuk menanyakan kasus itu membuatnya kian terenyak. "Siapa yang membocorkan informasi itu?" kata Ajib penasaran.

Ajib tengah menghadapi tuduhan gawat: ia diduga menurunkan nilai pajak bumi dan bangunan di Kelapa Gading, Jakarta. Tidak tanggung-tanggung, akrobat pajak itu diyakini menjadi sumber bengkaknya rekening Ajib hingga Rp 16 miliar. Kasus penurunan nilai obyek pajak itu masuk Trunojoyo—lokasi kantor Mabes Polri—sejak akhir 2011.

Seorang sumber mengatakan kasus rekening jumbo ini bermula ketika Ajib digeser dari pegawai yang diperbantukan pada Bagian Kepegawaian Sekretariat Direktorat Jenderal Pajak ke KPP Pratama Kelapa Gading, akhir September 2007. Kebetulan di jantung bisnis Jakarta Utara itu tengah dibangun kawasan niaga dan hunian, di antaranya Kelapa Gading Square, Mall of Indonesia, dan beberapa apartemen. Total lahan di area itu sekitar 17 hektare.

Sebagai tenaga pelaksana, alumnus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara angkatan 2002 ini bertugas mendata setiap jengkal tanah dan bangunan di kawasan itu. Hasil penghitungan ini jadi bagian dalam surat setoran pajak.

Sumber Tempo di Direktorat Jenderal Pajak mengatakan Ajib tak mencantumkan data pada lembar laporannya sesuai dengan data sahih di lapangan. "Diduga dilakukan dengan sengaja agar ketetapannya lebih rendah dari yang seharusnya," katanya.

Pada 2009, area di blok tersebut dipecah menjadi tiga nomor obyek pajak. Tiga nomor ini dipecah lagi menjadi ribuan, merunut pada jumlah unit apartemen. Masalahnya, kata sumber tadi, proses pemecahan obyek pajak itu tidak dilakukan sesuai dengan prosedur. Semestinya, wajib pajak menyampaikan permohonan pemecahan obyek pajak melalui loket pelayanan.

Kenyataannya, hal itu tidak terjadi. Menurut pejabat di Kementerian Keuangan, indikasi hal itu adalah tidak ditemukannya permohonan pemutakhiran data dari wajib pajak. Dari lima kali proses pemecahan, hanya ditemukan satu surat permohonan yang ditujukan kepada Kepala KPP Pratama Kelapa Gading. Itu pun disampaikan bypass ke bagian ekstensifikasi perpajakan.

Atas perbuatan alumnus SMA Negeri 1 Magelang itu, wajib pajak mendapat "keringanan". Walhasil, uang pungut yang disetor menyusut. Penerimaan negara pada 2008 dan 2009 dari ketetapan PBB di sana kurang Rp 6,8 miliar. Sebagai ucapan terima kasih, kata pejabat tadi, Ajib diduga mendapat imbalan.

Seiring dengan kepindahannya ke Kelapa Gading, kekayaan penata muda golongan III-A ini ikut menggelembung. Pada pertengahan 2007, ia membeli rumah 200 meter persegi di kompleks Pondok Safari, Tangerang Selatan. Seorang tetangganya bercerita, harga rumah ini saat itu sekitar Rp 380 juta. Tahun berikutnya, ia mengambil satu unit apartemen di City Home, Kelapa Gading. Untuk urusan otomotif, tahun itu ia mengoleksi Honda Jazz dan Toyota Altis.

Ia lalu mulai merintis usaha. Salah satu bisnis pokoknya di bidang olahraga. Pada 2008, Ajib membuka pusat kebugaran di Jalan Raya Ceger, Tangerang Selatan. Area itu kian luas setelah ia membuka lapangan futsal dan kafe. Di jalan yang sama, dia juga membangun lapangan badminton. Semuanya memakai bendera Diamond Group.

Di sektor manufaktur, sebuah pabrik pengolahan aluminium, bernama PT Alto Star Casting, dibangun di kawasan industri Jababeka, Cikarang. Dua usaha terbarunya ialah MBM Education, lembaga kursus perpajakan di Kelapa Gading, dan PT ZeeProperty, pengembang perumahan. Tidar Residence merupakan kompleks pertama yang akan dibangun di atas lahan 8.500 meter persegi, tak jauh dari STAN.

Semua kekayaannya ini menyulut curiga. Pada akhir 2010, Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur Direktorat Pajak memeriksanya. Hasil pemeriksaan itu dilempar ke Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan.

Nah, saat itulah ada laporan bahwa pundi-pundi rekening Ajib mencapai Rp 16 miliar. Sejumlah sumber menyatakan penyidik internal Kementerian merekomendasikan Ajib diberhentikan tidak hormat. Tapi Ajib sendiri sudah mengajukan permohonan pengunduran diri sejak September 2009.

Inspektur Inspektorat Bidang Investigasi Kementerian Keuangan Rahman Ritza membenarkan pemeriksaan tersebut. Dengan membandingkan laporan pajak pribadi dengan laporan harta kekayaan penyelenggara negara, kasus ini dieksaminasi pada November 2011.

Penyidik kepolisian turun tangan. Ajib, yang diduga melakukan tindak pidana pencucian uang, diperiksa Direktorat Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Namun, setelah beberapa bulan, kasus ini tak jelas juntrungannya. Ada kabar polisi "memeras" Ajib agar penanganan kasusnya dihentikan. Itu sebabnya, Kementerian Keuangan melimpahkan kasus ini Mabes Polri.

Ajun Komisaris Besar Aris Munandar—saat itu Kepala Satuan Fiskal, Moneter, dan Devisa—membantahnya. "Tidak benar itu," ujarnya Selasa pekan lalu. Menurut dia, Polda tak melanjutkan penanganan kasus ini lantaran sudah ditangani Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. "Ada laporan resmi dari Pajak ke sana," Aris menambahkan.

Ajib sendiri berkali-kali membantah tuduhan yang ditembakkan kepadanya. "Tidak ada fee, tidak ada yang dilanggar," katanya. Ia yakin sudah melakukan penilaian sesuai dengan fakta di lapangan.

Untuk meyakinkan Tempo, Ajib menyorongkan selembar kertas. Dia menunjuk pembayaran kredit mobil Honda Freed yang dibelinya dari sebuah dealer di Bintaro, Tangerang Selatan. "Beberapa kali saya telat membayar, karena tidak ada uang," kata Ajib.

Lembar tagihan ini, kata Ajib, menunjukkan bahwa ia tak mempunyai uang sebanyak yang dituduhkan. Menurut lelaki 32 tahun ini, angka Rp 16 miliar merupakan jumlah transaksi keluar-masuk selama sepuluh tahun terakhir.

Hal itu terjadi karena pada 2002 dia ditunjuk sebagai koordinator angkatan. Jumlahnya ada 48 orang. Tugasnya, antara lain, mengambil gaji, tunjangan, dan biaya perjalanan dinas. Saat itu penggajian masih kontan. Begitu mengambil segepok amplop upah di bendahara pajak pusat, dia memasukkan ke rekening pribadinya untuk ditransfer ke rekan-rekannya. Hal ini berlangsung sekitar empat tahun. "Sekali uang masuk, kadang ratusan juta," katanya.

Karena jumlah transfer ada limitnya, ia membuka banyak rekening, termasuk atas nama istrinya, Ratna Sari, yang juga pegawai pajak. Ratna, yang mengundurkan diri akhir tahun lalu, pernah satu tim dengan Dian Anggraeni, istri Dhana Widyatmika, di Direktorat Keberatan dan Banding. Seorang penyidik menyatakan rekening Ratna lebih tambun dibanding milik Ajib. Pasangan suami-istri itu membantahnya.

Angka miliaran rupiah itu, kata Ajib, bersumber dari perputaran usahanya. Ia membenarkan semua bisnis yang disebut tadi sebagai miliknya. Namun sumber dananya berasal dari uang halal. Dia mencontohkan pembangunan lapangan futsal, badminton, dan pusat fitness. Modal usaha diperoleh dari rekan yang berinvestasi. Dari proposal yang ia sebar, terkumpul Rp 750 juta. Para investor akan mendapat bagi hasil. Cara yang sama ia terapkan di bisnis lainnya.

Seorang senior Ajib di STAN sangsi terhadap alibi adik kelasnya itu. Menurut dia, lazimnya pengumpulan upah hanya dilakukan saat pendidikan. Setelah pengangkatan jadi pegawai, gaji diambil sendiri karena butuh tanda tangan penerima. Jikapun berlangsung hingga empat tahun, jumlahnya tak akan sampai belasan miliar rupiah. Apalagi saat itu belum ada remunerasi.

Yang jelas, apa pun alibi yang diajukan Ajib, semua kesaksiannya akan disisir ulang penegak hukum. Seorang pejabat Badan Reserse mengatakan sejumlah rekan dan atasan Ajib telah diperiksa. "Ketika alat bukti mencukupi, kami panggil dia," katanya.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Dedi Rudaedi mengatakan, walau terpukul dengan sejumlah kasus di institusinya, ia mendukung setiap upaya penegakan hukum. "Walau berat, harus dilakukan untuk memulihkan nama Direktorat Pajak," katanya.

Muchamad Nafi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus