Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hasyim Muzadi Mendukung TEMPO

26 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hasyim Muzadi, 59 tahun, bertandang ke kantor redaksi TEMPO di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Jumat siang pekan lalu. Dalam kesempatan itu, sang calon wakil presiden dari PDI Perjuangan menyatakan simpatinya kepada Pemimpin Redaksi TEMPO Bambang Harymurti, yang dituntut dua tahun penjara oleh jaksa penuntut umum dalam kasus pencemaran nama baik pengusaha Tomy Winata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin pekan kemarin.

Ketua (non-aktif) PB Nahdlatul Ulama itu menyebut kasus yang dialami TEMPO sebagai tragedi. TEMPO dituntut sangat berat hanya karena pencemaran nama baik. "Padahal pencemaran itu masih bisa diperdebatkan dalam hukum formal. Kok, tuntutannya sangat tinggi," kata Hasyim, "Seakan-akan orang tersebut tidak lagi memiliki nama baik."

Di mata Hasyim, kasus ini juga ironis. Orang yang sehari-hari memiliki nama baik dituduh merusak nama baik. Kalau mau adil, seharusnya orang yang menuduh itu juga diadili. "Sayangnya, hukum di Indonesia itu masih tingkat rendah, belum mengacu pada keadilan," ujarnya. Hasyim berharap pada masa datang hal seperti itu tak terulang.

Hadir pula Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Rudolf Jan Treffers, didampingi Sekretaris Urusan Politik Remco van Wijngaarden. Rombongan Kedutaan Belanda itu memberikan simpati yang sama kepada TEMPO.

TKW Terancam Vonis Mati

Malang nian Sundarti, 23 tahun, perempuan lugu dari Magetan, Jawa Timur. Pergi ke Singapura untuk mengubah nasibnya, tenaga kerja wanita (TKW) ini kini malah terancam hukuman mati.

Menurut keterangan resmi Kedutaan Besar RI di Singapura, kisah pilu itu bermula dari musibah kebakaran di rumah majikannya, Nyonya Ng Wee Peng Angie, 34 tahun, di Bukit Merah. Saat kejadian, 28 Mei 2002, polisi menemukan dua korban?Nyonya Ng Wee Peng Angie dan anaknya yang berusia 3 tahun, Crystal Poh Shi Qi. Sang ibu tewas di tempat kejadian, sedangkan anaknya meninggal di rumah sakit.

Di lokasi kejadian, polisi juga menemukan Sundarti sedang menggendong seorang anak lelaki berusia satu tahun. Karena luka bakar, keduanya dibawa ke rumah sakit. Sekeluar Sundarti dari rumah sakit, 10 Juni 2002, polisi menahannya dan menjadikannya tersangka pelaku pembunuhan. Polisi mengajukan enam tuduhan: pembunuhan, pembakaran, pencurian barang majikan (baik yang di rumah maupun yang di kantor), dan pencurian uang dengan mencoba menariknya di ATM. Sundarti sendiri dikabarkan pernah diperlakukan sewenang-wenang oleh majikannya itu.

Empat perempuan lain juga menghadapi vonis atau tuntutan mati di Kota Singa. Mereka adalah Juminem dan Siti Aminah, yang dituduh membunuh majikan mereka pada 2 Maret 2004. Lalu Purwanti Parji, yang dituduh membunuh orang tua majikannya pada 3 Agustus 2003. Satu lagi, Sumiyati Kariyo Dikromo, dituduh membunuh anak majikannya pada 11 Maret 2003.

Posisi sosial mereka yang lemah dan berstatus warga asing akan cukup mempersulit pembelaan kepada mereka. Malangnya, pemerintah Indonesia belum pernah melakukan kampanye besar-besaran, seperti yang dilakukan Filipina, untuk membela warganya yang terancam hukuman mati di luar negeri.

Pro-Kontra RUU TNI

Rancangan Undang-Undang TNI, yang akan dibahas DPR bulan depan, mengundang pro-kontra. RUU itu ditengarai akan mengembalikan dwifungsi TNI karena membuka kembali peran kekaryaan prajurit TNI di jajaran birokrasi sipil. "RUU ini serta-merta menempatkan peran kekaryaan, dan dwifungsi TNI dihidupkan kembali," kata Munir, Direktur Eksekutif Imparsial, Jakarta, Selasa siang pekan lalu.

Dalam pasal 45 ayat 1 RUU itu, misalnya, secara eksplisit disebutkan kemungkinan mempekerjakan prajurit TNI pada struktur departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen. Sedangkan pada ayat 2 disebutkan bahwa prajurit TNI dapat menduduki jabatan tersebut atas permintaan pemimpin departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen. Dan dalam berdwifungsi, sama seperti di zaman Orde Baru, prajurit TNI tak perlu melepas status kemiliterannya. Padahal, sejak 1998, prajurit TNI yang memegang jabatan sipil harus pensiun dari dinas militernya kecuali di Departemen Pertahanan.

Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan, Mayjen (Purn.) Sudrajat, menyatakan bahwa pasal 45 itu merupakan usulan pemerintah. Jika ada yang keberatan, itu masih bisa diperbaiki melalui debat atau diskusi antara panitia kerja Komisi Pertahanan DPR dan pemerintah. "Akan ada klarifikasi untuk meninjau ulang, termasuk adanya sesi debat publik dengan mengundang beberapa pakar," katanya.

Langkat Diguncang Bom

Sebuah bom rakitan meledak di rumah seorang warga Pragahan Namotating Selatan, Sei Bingei, Langkat, Sumatera Utara, Selasa dini hari (pukul 01.30) pekan lalu. Akibatnya, satu warga setempat, Sopian, 28 tahun, tewas dan dua lainnya, Rehulina Ginting dan Samudra, luka cukup parah.

Menurut sumber TEMPO, bom itu dilemparkan oleh seorang lelaki tak dikenal, yang lalu bergegas melarikan diri. Polisi masih terus mengusutnya. Tapi, "Kita belum tahu jenis bomnya dan motivasinya," kata Wakil Direktur Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Ajun Komisaris Besar Iwan Harryu.

SBY-Kalla Meminang PPP

Pasangan kandidat presiden dan wakil presiden yang hampir pasti ke putaran kedua, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, menawarkan kursi kabinet kepada Partai Persatuan Pembangunan. Begitu menurut Ketua Umum PPP, Hamzah Haz, seusai bertemu dengan calon RI-1 dan RI-2 itu di rumah pribadi Hamzah di Jalan Tegalan, Jakarta Timur, Kamis pekan lalu. "Pak Kalla mengemukakan keinginan mereka bekerja sama dengan PPP," kata Hamzah. Namun, ia menambahkan, PPP baru akan memutuskannya setelah rapat pimpinan nasional partai tersebut akhir Juli ini.

Gayung pun disambut Kalla. Kata dia, bila PPP bersedia bergabung, ada pembagian jatah kursi di kabinet?tapi mereka belum membicarakan jumlah kursi kabinet yang akan dibagi. "Kami belum bicara angka karena belum waktunya," ujar Kalla.

Koruptor BRI Divonis 15 Tahun

Yudi Kartolo dan Hartono Tjahjadjaja divonis masing-masing 15 tahun penjara karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Komisaris dan direksi PT Delta Makmur Ekspresindo ini juga harus membayar denda masing-masing Rp 1 miliar atau kurungan lima bulan serta membayar ganti rugi masing-masing Rp 55,22 miliar atau kurungan dua tahun. Putusan itu dibacakan majelis hakim yang diketuai I Putu Widnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu.

Dalam sidang yang tak dihadiri Yudi Kartolo itu, mereka dinyatakan telah melakukan korupsi di Bank Rakyat Indonesia Cabang Segitiga Senen dan BRI Cabang Pembantu Pasar Tanah Abang senilai Rp 180,5 miliar. Ini dilakukan bersama Deden Gumilar, Kepala Cabang BRI Segitiga Senen, dan Agus Riyanto, Kepala Cabang Pembantu BRI Tanah Abang.

Kasus ini dimulai saat Yudi dan Hartono membuka rekening giro di BRI Cabang Pembantu Pasar Tanah Abang untuk menampung pengucuran uang Dana Pensiun Perusahaan Pelabuhan dan Pengerukan (DP4) pada 14 Agustus 2003. Untuk merealisasikannya, Agus Riyanto menawarkan penempatan dana dengan bunga tinggi kepada DP4 di BRI Cabang Pasar Tanah Abang?yang disetujui DP4 dengan menempatkan dana Rp 10 miliar. Dana itulah yang lalu ditransfer ke rekening milik PT Delta Makmur Ekspresindo berdasarkan perintah pemindahbukuan lewat faksimile dari DP4.

Dengan modus mirip, Yudi dan Hartono melalui Deden Gumilar kemudian mengajukan permohonan ke Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Timur untuk menempatkan dana di BRI Cabang Segitiga Senen. Disetujui oleh Direktur Pemasaran BPD Kal-Tim, penempatan dana Rp 100 miliar diiming-imingi bunga tinggi. Dana Rp 100 miliar itu kemudian juga dialihkan ke rekening PT Delta berbekal faksimile dari BPD Kal-Tim.

Juga dana Rp 70,5 miliar milik Dana Pensiun Perkebunan (Dapenbun). Deden selaku pemimpin cabang memerintahkan agar stafnya memindahkan dana itu ke rekening PT Delta tanpa mengkonfirmasikan surat perintah pemindahbukuan.

Atas tuntutan itu, Hartono mengajukan banding. Ia menilai hukuman majelis hakim atas dirinya lebih tinggi dari Deden Gumilar dan Agus Riyanto. "Persidangan ini mengandung unsur politis. Sebagai pengusaha, wajar kita diberi pinjaman," katanya seusai persidangan. Sebelumnya, Deden divonis 16 tahun penjara dan Agus dihukum 6 tahun penjara.

'Protes Suara' Wiranto

Wiranto mendesak Komisi Pemilihan Umum menghitung ulang hasil pemungutan suara pemilihan presiden dan wakil presiden putaran pertama. Calon presiden dari Partai Golkar ini menilai validitas dan akurasi penghitungan patut dipertanyakan. Misalnya banyaknya kesalahan pencoblosan dan surat edaran KPU yang mengesahkannya. Itu dia anggap menimbulkan inkonsistensi dan peluang terjadinya kesalahan penghitungan suara, baik disengaja maupun tidak.

Karena itu, jenderal purnawirawan dan mantan Panglima ABRI ini meminta penghitungan dilakukan terpusat dan manual dengan basis perolehan di setiap tempat pemungutan suara. "Dan penghitungan ulang harus dihadiri saksi dari para calon," katanya dalam konferensi pers Kamis pekan lalu.

Secara fisik, kata Wiranto, pemilihan tampak tertib, lancar, dan aman, tapi secara substansial menyembunyikan banyak pelanggaran. Ia mendesak agar KPU dan Panitia Pengawas Pemilu mengklarifikasi berbagai pelanggaran itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus