Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Bukan 'Institut Perkulakan Bogor'

Pembangunan mal di kampus Institut Pertanian Bogor diprotes mahasiswa dan alumni. Mantan rektor pun ikut berdemo.

26 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAH Prof. Dr. A.M. Satari tampak memerah dibakar amarah. Di bawah pohon kapuk di depan kampus Baranangsiang, Bogor, Jawa Barat, Rabu siang pekan lalu, mantan Rektor Institut Pertanian Bogor (1970-an) itu memimpin seratusan demonstran, mahasiswa dan alumni, menuntut peninjauan kembali pembangunan Bogor Agribusiness Center (BAC). Mengapa rupanya?

"Mana yang mencerminkan agribusiness center? Mau dijadikan apa kampus yang memiliki nilai sejarah yang besar ini?" kata lelaki 71 tahun itu di depan peserta unjuk rasa. "Apa tak ada cara mencari dana selain mengorbankan kampus?" kata Satari lagi.

Kegundahan sivitas IPB berbuntut demo tersebut bermula dari rencana pimpinan institut di bawah Rektor Prof. Dr. Ahmad Ansori Mattjik mengubah wajah kampus yang dibangun Presiden Sukarno pada 1952 itu. Di atas tanah di kompleks Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB di seberang Kebun Raya Bogor, akan berdiri bangunan berlantai lima. Di sana antara lain akan dibangun ruang konvensi, hotel, tempat hiburan, pusat perbelanjaan, dan hipermarket Giant.

Pembangunan pusat perbelanjaan di lahan 4,5 hektare di kawasan yang strategis itu merupakan upaya kampus IPB menambal biaya akademik. Idealnya, dana efektif akademik tiap mahasiswa per tahun Rp 18,5 juta. Tapi dari sumbangan pembinaan pendidikan mahasiswa dan subsidi pemerintah cuma terkumpul Rp 11,5 juta setiap tahun. Karena jumlah mahasiswa IPB sekitar 5.000, setiap tahun institut ini kekurangan dana Rp 35 miliar.

Kekurangan itulah yang akan ditutup dengan mengelola aset institut. Apalagi kampus negeri itu kini sudah berstatus badan hukum milik negara (BHMN) sejak akhir 2000 dan berkewenangan mencari sumber pendanaan sendiri. "Untuk mewujudkan IPB yang berkelas dunia, harus ada sumber dana yang tak konvensional, (tak) hanya dari pemerintah," ujar Asep Saefuddin, Wakil Rektor IPB Bidang Perencanaan dan Kerja Sama.

Bagaimana agar tak besar pasak dari tiang? Bermodal kewenangan sebagai BHMN, pada November 2003, dibentuk perusahaan induk IPB dengan nama PT Bogor Life Science and Technology (BLST). Tugas perseroan ini mengelola dan mengembangkan aset kampus. BLST inilah yang berencana mendirikan IPB International Convention Center, yang di dalamnya ada pusat bisnis dan hiburan. Pada tahap awal, proyek BAC lebih dulu dibangun.

Mimpi ini hampir terwujud. Lahan FMIPA pun sudah ditutupi pagar. Ini bisa jalan lantaran Bogor Life sukses menggandeng pemodal, PT Pusaka Bhakti Nusantara, dengan membentuk perusahaan patungan PT Bogor Anggana Cendekia. Dengan mayoritas saham milik swasta, mereka berniat membangun pusat perbelanjaan itu.

Namun para alumni dan mahasiswa tak mudah percaya begitu saja. Apalagi sudah ada preseden buruk soal pengelolaan aset-aset oleh IPB, seperti pembangunan Plaza Ekalokasari di bekas gedung asrama mahasiswa pada 2001. "Janji membangun asrama pengganti dan pembagian keuntungan Rp 4 miliar tak kunjung terealisasi," kata Farid R. Faqih, Koordinator Government Watch dan Sekretaris Jenderal Himpunan Alumni IPB.

Bukan itu saja. Pembangunan asrama mahasiswa di kampus baru Darmaga kini malah meninggalkan utang Rp 36,8 miliar pada Bank BNI. Jurus baru menutup utang pun digelar, yakni dengan merencanakan pembangunan domitori (asrama) di dekat Gimnasium IPB dengan konsep home stay dengan lebih dari 3.000 kamar di atas gedung berlantai empat. Namun upaya ini gagal total setelah diprotes banyak kalangan.

Rupanya, pengalaman gagal tak memupus ambisi pimpinan IPB. Kini mereka berniat membangun BAC dengan model kontrak kerja sama operasi (KSO) selama 30 tahun?IPB punya hak membelinya. Agar kampus tetap punya pemasukan sebelum BAC beroperasi, IPB tiap bulan berhak menerima pendapatan Rp 100 juta. "Uang itu diterima, perusahaan untung ataupun rugi. Ini bisa karena model kontrak KSO membuat kami ikut aktif, dibanding BOT (bangun, operasi, dan transfer) di mana kami melepaskannya begitu saja kepada swasta," kata Asep.

Asep boleh bermimpi. Tapi, dari pengalaman tiga kali IPB tersandung proyek, wajar Profesor Satari dan para alumni waswas. Maka, ketika berdemo di bawah pokok kapuk itu, Siswandi, mantan dekan FMIPA, melantunkan syair yang antara lain berbunyi khawatir kalau-kalau IPB menjadi "Institut Perkulakan Bogor". Semoga tak kejadian.

Edy Budiyarso, Deffan Purnama (TNR, Bogor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus