Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Colok Hidung Pendulang Untung

Pemerintah mewajibkan tes PCR penumpang pesawat menjelang libur Natal dan Tahun Baru. Menguntungkan pejabat dan pengusaha yang punya bisnis PCR.

30 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Presiden Joko Widodo mempertanyakan harga dan syarat tes PCR untuk penumpang pesawat.

  • Aturan baru tes PCR dianggap penuh kejanggalan dan memberatkan konsumen.

  • Diperkirakan keuntungan dari bisnis tes PCR lebih dari Rp 10 triliun.

BERBICARA melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, Luhut Pandjaitan menyampaikan rencana perubahan harga tes reaksi berantai polimerase atau PCR, Senin, 25 Oktober lalu. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi itu mengatakan Presiden Joko Widodo menghendaki harga tes Covid-19 itu turun menjadi Rp 300 ribu. “Masa berlakunya 3 x 24 jam,” kata Luhut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelum Luhut berbicara, Presiden Jokowi menggelar rapat membahas kewajiban tes PCR bagi penumpang pesawat terbang. Tiga pejabat yang mengikuti rapat yang berlangsung sekitar satu setengah jam tersebut bercerita, Jokowi mempertanyakan aturan yang tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2021. Apalagi jumlah kasus Covid-19 sedang melandai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari itu, data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menunjukkan jumlah kasus positif corona bertambah 460 orang. Tak ada provinsi melaporkan penambahan lebih dari 100 kasus. Angka itu jauh lebih rendah dibanding saat gelombang kedua Covid merajalela pada pertengahan tahun ini. Saat itu, jumlah kasus positif pernah bertambah 56 ribu dengan 2.000 orang meninggal.

Tarif lama serta antrian tes PCR Covid 19 di Terminal 3 Bandara Internasional Sukarno Hatta, Tengerang, Banten, 25 Oktober 2021. TEMPO/Tony Hartawan

Namun instruksi Menteri Dalam Negeri justru mengubah aturan sebelumnya, yaitu penumpang yang wajib menunjukkan hasil tes PCR adalah mereka yang baru satu kali menerima vaksin Covid-19. Sempat menunda penerapan instruksi itu, Kementerian Perhubungan akhirnya menetapkan syarat PCR untuk semua penumpang pesawat pada Ahad, 24 Oktober lalu.

Tiga pejabat yang sama mengatakan, Presiden menyatakan menerima keluhan dan kemarahan publik yang memprotes syarat tersebut. Jokowi juga menyinggung komunikasi kementerian yang buruk dalam perubahan aturan itu. “Bagaimana membuat kebijakan tapi tidak dipublikasikan dengan baik. Harga tinggi, kasus rendah,” ujar Jokowi seperti ditirukan seorang peserta rapat.

Setelah Jokowi berbicara, giliran Luhut Pandjaitan memberikan penjelasan. Menurut tiga pejabat yang mengikuti rapat, Luhut menyebutkan syarat tes PCR untuk semua konsumen pesawat bertujuan mencegah penularan pada libur Natal dan tahun baru. Diperkirakan ada lonjakan mobilitas pada masa liburan itu.

Survei Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan memprediksi ada 19,9 juta orang melakukan perjalanan di Jawa dan Bali. Sedangkan 4,45 juta orang akan bergerak di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. “Sekarang pun mobilitas di Bali sudah sama dengan libur Natal dan tahun baru 2020,” ucap Luhut dalam konferensi pers.

Juru bicara Luhut, Jodi Mahardi, menambahkan, data dari aplikasi Peduli Lindungi dan New All Record mencatat ada 103 orang terkena Covid-19 delapan hari setelah bepergian dengan pesawat pada 19-24 Oktober. “Bahkan ada 13 orang positif satu hari setelah penerbangan,” ujarnya.

Seorang peserta rapat mengatakan Luhut menilai biaya tes PCR yang tinggi membuat orang berpikir dua kali untuk bepergian. Sejak pertengahan Agustus lalu, biaya tes PCR di Jawa dan Bali ditetapkan paling tinggi Rp 495 ribu dan Rp 525 ribu di daerah lain. Di akhir paparan, Luhut menyampaikan syarat tes PCR untuk penumpang pesawat bisa dicabut jika Presiden tidak setuju.

Sumber yang sama menyebutkan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan kepada Presiden bahwa harga tes PCR sebesar Rp 495 ribu terbilang rendah dibanding tes serupa di sejumlah bandar udara di negara lain. Tapi harga Indonesia kalah murah dibandingkan dengan di India, yaitu Rp 117-161 ribu. Budi lalu menyatakan akan meninjau ulang harga tes PCR.

Dimintai tanggapan soal pernyataannya dalam rapat kabinet, Budi mengatakan biaya tes PCR Rp 495 ribu berada di kisaran 25 persen terendah dari tes PCR di bandara negara lain. “Harga Rp 300 ribu di kisaran 10 persen terendah,” tuturnya dalam pesan WhatsApp, Sabtu, 30 Oktober lalu.

Dua hari setelah rapat terbatas, pemerintah pun memangkas biaya uji usap. Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir mengatakan ongkos tes PCR di Jawa dan Bali maksimal Rp 275 ribu dan di daerah lain Rp 300 ribu.

Meski biaya tes turun, pemerintah tetap memberlakukan syarat hasil uji usap untuk penumpang pesawat. Bahkan pemerintah berencana menerapkan syarat serupa untuk semua moda transportasi. “Penggunaannya akan dilakukan secara bertahap dalam mengatasi periode Natal dan tahun baru,” ujar Luhut.

Tes usap COVID-19 dengan metode PCR bagi penumpang yang baru tiba di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Kuta, Bali, 1 Juli 2021. TEMPO/Johannes P. Christo

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi menilai kebijakan tersebut diskriminatif dan menambah beban konsumen. Menurut Tulus, seharusnya pemerintah juga mengatur batas keuntungan dari tes PCR. “Aturan yang berlaku saat ini melegalkan kartel bisnis PCR,” ucapnya.

Sedangkan epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, menilai pemerintah terburu-buru menetapkan aturan wajib PCR. Seharusnya aturan untuk mengurangi risiko penularan itu berlaku sebulan sebelum libur Natal dan tahun baru. “Aturan ini penuh kejanggalan,” katanya.

•••

DIBUAT oleh salah satu lembaga pemerintah, dokumen enam halaman itu membicarakan soal harga tes PCR yang dianggap terlalu mahal. Pada awal pandemi, biaya tes PCR bisa mencapai Rp 5 juta. Tarif itu perlahan turun setelah pemerintah mengatur harga pasaran, yakni Rp 900 ribu pada Oktober 2020 dan Rp 495 ribu mulai Agustus 2021.

Dokumen itu menyatakan modal yang dikeluarkan rumah sakit ataupun laboratorium untuk satu kali tes PCR hanya sekitar Rp 200 ribu. Saat itu, tarif yang berlaku sebesar Rp 495 ribu. Dari biaya itu, bujet paling besar untuk membayar reagen senilai Rp 195 ribu.

Rekomendasi yang tertulis dalam dokumen itu menyebutkan harga ideal untuk tes PCR tak sampai Rp 205 ribu, setara dengan 4 persen pendapatan per kapita bulanan penduduk Indonesia. Rekomendasi itu juga diterapkan oleh India dan Rusia. “Jika harga turun, jumlah tes PCR akan bertambah,” tertulis dalam dokumen yang isinya sempat dibahas dalam rapat kabinet.

Pemerintah meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan mengaudit tarif PCR. BPKP pun mengecek harga tes PCR di lapangan dan yang tercantum dalam katalog elektronik. Kepala BPKP Yusuf Ateh irit berkomentar ihwal peran lembaganya dalam mengaudit harga PCR. “Sudah dijelaskan oleh Deputi Pak Iwan,” ujarnya, Kamis, 28 Oktober lalu.

Deputi Kepala BPKP Bidang Politik, Hukum, Keamanan, Pembangunan Manusia, dan Kebudayaan Iwan Taufiq Purwanto menjelaskan, biaya PCR bisa turun menjadi Rp 275 ribu dan Rp 300 ribu karena harga sejumlah komponen juga turun. “Ada penurunan harga alat pelindung diri, reagen, ataupun ribonucleic acid,” tuturnya dalam konferensi pers, Rabu, 27 Oktober lalu.

Kepala Laboratorium Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Andani Eka Putra, menuturkan, harga tes PCR sesungguhnya tidak setinggi yang dibanderol di pasar. Andani pernah mengkalkulasi biaya komponen ketika tarif uji usap sekitar Rp 1,5 juta pada awal masa pandemi. Modal yang dikeluarkan saat itu hanya sekitar Rp 600 ribu.

Dengan tarif Rp 275 ribu di Jawa dan Bali, kata Andani, setidaknya cuan yang didapat pemilik peralatan sebesar Rp 60 ribu. Untung yang lebih tinggi bisa didapat jika reagen atau alat pemeriksa PCR berasal dari Cina. “Banyak yang mengambil untung dari bisnis PCR,” ucapnya.

Petugas memasukkan hasil tes usap dengan sistem Polymerase Chain Reaction ke dalam tabung di Genomik Solidaritas Indonesia Laboratorium, Jakarta, 28 Oktober 2021. ANTARA/ Reno Esnir

Andani menyebutkan kini banyak importir alat kesehatan yang menawarkan kerja sama operasional untuk bisnis PCR. Kondisi itu dibenarkan oleh seorang pengusaha alat kesehatan yang ditemui Tempo pada Rabu, 27 Oktober lalu, di kawasan Jakarta Pusat. Pengusaha itu bercerita, kerja sama operasional mulai berlangsung sejak tahun lalu.

Ketika itu, pasokan mesin PCR ataupun reagen mulai banyak. Para importir pun mendekati pemilik klinik atau laboratorium agar membuka layanan tes PCR tanpa mengeluarkan biaya besar. Tak lagi menggunakan mesin ekstraksi bermerek asal Eropa dan Amerika yang dianggap terlalu mahal, importir menyediakan mesin asal Cina dengan harga sekitar Rp 400 juta.

Fasilitas kesehatan yang terikat kontrak diwajibkan membeli viral transport medium atau VTM yang disertai dengan reagen dari importir. VTM adalah media penyimpan spesimen lendir hidung dan tenggorokan pasien yang akan diuji di laboratorium. Biasanya, kata pengusaha itu, dengan membeli 25 ribu unit VTM, mesin ekstraksi bisa dimiliki laboratorium dan klinik.

Dengan harga VTM sebesar Rp 60 ribu, pemilik fasilitas kesehatan bisa mengeluarkan duit langsung Rp 1,5 miliar. Opsi lain, memenuhi target seribu pasien yang dites setiap bulan. Mereka akan menerima pendapatan kotor Rp 12,4 miliar jika menggelar tes PCR untuk 25 ribu orang dengan biaya Rp 475 ribu.

Peneliti Indonesia Corruption Watch, Wana Alamsyah, menghitung setidaknya keuntungan penyedia jasa PCR sejak Oktober 2020 hingga Agustus 2021 mencapai Rp 10,46 triliun. Wana menyebutkan angka itu belum termasuk keuntungan yang didapat importir. Apalagi biaya masuk alat kesehatan di tengah masa pandemi tak dikenakan pajak. “Keuntungannya fantastis,” tutur Wana.

Pengusaha alat kesehatan yang ditemui Tempo mengatakan pebisnis PCR mendulang untung paling banyak saat varian delta menyerbu Indonesia pada pertengahan 2021. Ketika itu, orang berbondong-bondong ikut tes PCR. Sejumlah pengusaha menyetok banyak VTM dan reagen. Masalahnya, banyak reagen memasuki masa kedaluwarsa pada akhir tahun ini.

Tiga pejabat pemerintah yang mengetahui kebijakan penurunan harga tes PCR mengatakan persoalan reagen yang akan kedaluwarsa menjadi salah satu penyebab tes PCR diwajibkan untuk calon penumpang pesawat dan transportasi lain. Meski terjadi penurunan tarif, pengusaha tetap mendapat cuan dengan masifnya tes PCR.

Menurut tiga pejabat yang sama, tes PCR diwajibkan untuk penumpang pesawat dengan alasan kemampuan ekonominya lebih tinggi dibanding penumpang transportasi darat dan laut. Apalagi jumlah penumpang pesawat sudah diperbolehkan 100 persen dari kapasitas.

Juru bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmidzi, mengatakan tak mengetahui persoalan ini. “Kami tidak memonitor,” ujarnya, Jumat, 29 Oktober lalu.

Direktur PT Nusantara Berkat Cipta, Edi Soekamto, mengatakan perusahaannya juga mendatangkan VTM dan reagen berteknologi reverse transcription loopmediated isothermal amplification (RT-LAMP) saat jumlah kasus Covid-19 melonjak pada pertengahan tahun ini. “Saya mendatangkan sekitar 12 ribu kit (perangkat),” tuturnya melalui Zoom, Kamis, 28 Oktober lalu.

Petugas kesehatan menyiapkan reagen sebelum tes PCR di sebuah Puskesmas di Bandung, Jawa Barat, 14 Juni 2021. TEMPO/Prima Mulia

Kit yang didatangkan oleh Edy berasal dari Vietnam. Tiba di Indonesia, namanya menjadi Nusantara Covid Now. Ia menjual satu kit berupa VTM dan reagen seharga Rp 280 ribu. Edi juga membenarkan setiap reagen memiliki masa kedaluwarsa. Ia mencontohkan, reagen yang diimpornya basi sepuluh bulan setelah diproduksi.

Tiga pejabat pemerintah mengatakan kebijakan penurunan biaya tes uji usap yang dibarengi dengan kewajiban tes untuk calon penumpang diberlakukan dengan pertimbangan bisnis PCR juga digeluti sejumlah nama besar. Pejabat pemerintah, politikus, ataupun pengusaha nasional ikut bermain dalam bisnis tersebut.

Salah satu pejabat yang diduga ikut berbisnis PCR adalah Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Dua perusahaan yang terafiliasi dengan Luhut, PT Toba Sejahtra dan PT Toba Bumi Energi, tercatat memiliki masing-masing 242 lembar saham PT Genomik Solidaritas Indonesia senilai Rp 242 juta.

Perusahaan itu mengelola laboratorium Genomik Solidaritas Indonesia yang menjalankan bisnis tes PCR di lima cabang di Jakarta dan sekitarnya. Adapun PT Toba Bumi Energi adalah anak perusahaan dari PT Toba Bara Sejahtra yang kini berganti nama menjadi PT TBS Energi Utama Tbk.

Juru bicara Luhut, Jodi Mahardi, mengatakan bosnya tak lagi memiliki kontrol mayoritas di perusahaan karena saham yang dimilikinya di bawah 10 persen. “Jadi kami tidak bisa berkomentar soal PT Toba Bumi Energi,” ujarnya.

Menurut Jodi, kehadiran Luhut di Genomik Solidaritas Indonesia karena diajak koleganya yang juga memiliki saham, di antaranya petinggi PT Adaro Energy Tbk dan PT Indika Energy Tbk. Jodi mengatakan GSI merupakan bentuk solidaritas sosial yang membantu menyediakan tes Covid-19 berskala besar.

Sejak GSI berdiri pada April 2020, kata Jodi, tak pernah ada pembagian keuntungan kepada pemegang saham dari tes PCR. “Partisipasi Pak Luhut untuk membantu penanganan pada awal pandemi,” ucapnya.

RAYMUNDUS RIKANG
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus