Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penerbitan peraturan pemerintah tentang pengelolaan royalti hak cipta lagu dan musik memantik polemik.
Nama beken di belakang perusahaan penggarap Sistem Informasi Lagu dan Musik.
Hak mewah untuk PT Lentera Abadi Solutama dalam perjanjian Mei 2021.
SUDAH hampir satu bulan sejak Forum 7 Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo dan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Namun para pemegang kuasa dari para pemilik hak cipta lagu dan musik itu belum juga mendapat kepastian tentang nasib tuntutan mereka soal royalti lagu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akar masalah dalam surat mereka adalah Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Itu sebabnya, dalam surat yang dikirimkan pada Kamis, 30 September lalu, Forum 7 LMK juga melampirkan satu bundel dokumen berisi kajian akademik dan analisis terhadap peraturan yang belakangan dianggap justru menimbulkan persoalan tersebut. "Kami berterima kasih kepada Presiden telah menandatangani PP 56, tapi kami juga meminta Presiden menyempurnakannya," ujar Dharma Oratmangun, Ketua Umum LMK Karya Cipta Indonesia, Kamis, 7 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain Karya Cipta Indonesia, anggota forum LMK ini adalah Wahana Musik Indonesia, Royalti Anugerah Indonesia, Anugrah Royalti Dangdut Indonesia, Star Music Indonesia, Perlindungan Hak Penyanyi dan Pemusik Rekaman Indonesia, serta Performer’s Rights Society of Indonesia. Mereka adalah badan hukum nirlaba yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta berwenang menghimpun dan mendistribusikan royalti hak cipta lagu dan musik, juga hak eksklusif lain milik penyanyi, musikus pengiring, produser, hingga label.
Adapun Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 adalah regulasi yang baru terbit pada 30 Maret lalu, tujuh tahun setelah Undang-Undang Hak Cipta disahkan. Ketika menggulirkan peraturan pemerintah ini, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia hakulyakin pengelolaan royalti hak cipta lagu dan musik bakal lebih optimal. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual memproyeksikan nilainya bisa meningkat hingga mencapai Rp 300 miliar per tahun, enam kali lipat capaian tahun lalu yang hanya Rp 51 miliar.
Kantor yang menurut akta adalah kantor PT Lentera Abadi Solutama di Dharmawangsa Square lantai 3 nomor 365, Jakarta. TEMPO/Aisha Shaidra
Forum 7 LMK melihat sebaliknya. Mereka menilai sejumlah ketentuan dalam peraturan tersebut justru bermasalah. Regulasi ini, misalnya, memperkuat peran Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), lembaga nonbujeter bentukan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, sebagai pengelola royalti lagu dan musik. Selama ini, sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 56 terbit, LMKN mendelegasikan kewenangannya dalam menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti lagu dan musik kepada LMK.
Masalahnya, fungsi LMK, yang juga diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta, justru lenyap dalam peraturan pemerintah itu. Bisa dibilang LMK hanya menjadi tempat pendaftaran pemegang hak cipta dan penyalur royalti. Adapun penghimpunan royalti, seperti tertera pada pasal-pasal peraturan pemerintah tersebut, dilakukan terintegrasi oleh LMKN melalui Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM).
Polemik ini belakangan memanas. Sejumlah pengurus LMK menuding ada persekongkolan di balik penguatan peran LMKN lewat peraturan tersebut. Kecurigaan ini mencuat setelah tersiar kabar bahwa LMKN telah menunjuk perusahaan swasta nasional untuk membangun SILM serta pelaksana pemungutan hingga pendistribusian royalti lagu dan musik. “Penunjukan ini penuh kejanggalan,” kata seorang musikus ternama yang mengikuti permasalahan tersebut.
Desas-desus pun berseliweran tentang keberadaan sejumlah nama pesohor di belakang perusahaan tersebut. “Dia dia lagi,” tutur musikus lain. Mereka enggan disebutkan namanya lantaran pengurus dan pemilik perusahaan ini masih kolega, sesama selebritas.
•••
TAK ada tanda-tanda keberadaan PT Lentera Abadi Solutama (LAS) di Dharmawangsa Square Lantai 3 Unit 365, Jakarta Selatan. Rabu siang, 27 Oktober lalu, salah satu ruangan di kompleks kantor ini tak berpenghuni. Kaca di pintu dan jendelanya tertutup penuh oleh tempelan kertas putih. Dari celah pintu itu masih bisa terlihat bagian dalamnya, kosong, tanpa kursi ataupun meja.
Seorang petugas keamanan di kompleks itu mengungkapkan, ruangan tersebut dulu adalah kantor PT Tigadaya Semesta. Dua bulan lalu perusahaan itu pindah. “Kurang tahu kalau ada PT Lentera,” ujarnya.
Akta pendirian PT Lentera Abadi Solutama mencantumkan ruangan itu sebagai alamat perusahaan. Alamat berbeda dicantumkan PT LAS dalam perjanjian kerja sama dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional. Dokumen itu mencatat PT LAS beralamat di Gedung Gondangdia Lama Lantai 5, Suite 2, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat.
Seperti di Dharmawangsa Square, nama Lentera Abadi Solutama tak dikenal di Gedung Gondangdia Lama. “Adanya AMS tim pengurus,” kata seorang petugas keamanan gedung, menunjukkan daftar nama penghuni di lantai 5. Pria itu sempat menelepon seorang petugas lain di lantai yang disebut sebagai tempat Lentera Abadi Solutama berbisnis. “Tak ada perusahaan itu.”
Nama PT LAS menjadi bahan pergunjingan setelah perusahaan ini ditunjuk LMKN sebagai pengembang Sistem Informasi Lagu dan Musik. Perjanjian yang diteken Ketua LMKN Brigadir Jenderal Polisi (Purnawirawan) Yurod Saleh dan Direktur PT LAS Adib Hidayat pada 19 Mei lalu itu mulanya dimaksudkan untuk menjalankan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021. Pasal 20 peraturan itu menyebutkan, dalam melakukan pembangunan dan pengembangan SILM, LMKN dapat bekerja sama dengan pihak ketiga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun dokumen perjanjian induk setebal 13 halaman itu mencantumkan banyak klausul yang mengistimewakan PT LAS. Perusahaan ini tak hanya menjadi penyedia jasa dan pengelola teknologi informasi, tapi juga pelaksana harian tugas LMKN dalam menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti selama 10 tahun ke depan. Sebagai gantinya, PT LAS akan mendapat bagian 20 persen dari seluruh royalti lagu dan musik yang dihimpun lewat SILM.
Perusahaan ini pun ternyata baru didirikan pada 22 Desember 2020, dan disahkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sehari kemudian. Akta pertama ini mencatat nama Mohammad Rafil Perdana sebagai komisaris dan Hiroshi Arifudin Patiroi sebagai direktur. Adapun pemegang sahamnya adalah PT Mata Airo Solusi dan PT Chakra Swarga Abadi.
Nama Mohammad Rafil Perdana kondang sebagai mantan Chief Operating Officer PT Persija Jaya Jakarta. Belakangan, setelah mundur dari Persija pada awal 2019, putra sulung mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang juga eks Wakil Kepala Kepolisian RI, Syafruddin, ini dikabarkan masih berkecimpung di kepengurusan klub sepak bola di daerah. Rafil juga mengantongi sebagian saham PT Eka Sakti Sejahtera—salah satu pemilik PT Mata Airo Solusi.
Dihubungi Tempo, Kamis, 28 Oktober lalu, Rafil menyatakan sedang berada di luar negeri. “Baru balik Desember nanti. Mungkin bisa ketemu dengan Mas Adib selaku Dirut LAS,” ujar Rafil melalui pesan WhatsApp. Adapun Hiroshi enggan memberikan komentar. “Saya sudah mundur beberapa bulan lalu. Silakan hubungi direksinya saja,” ucapnya.
Adib yang dimaksud Rafil adalah Adib Hidayat, mantan pemimpin redaksi majalah Rolling Stone Indonesia yang kini menjadi Editor in Chief Billboard Indonesia. Adib menggantikan Hiroshi Arifudin sebagai Direktur PT LAS sejak 20 April 2021—merujuk pada perubahan akta perusahaan. Di luar dunia kewartawanan, Adib terlibat sebagai relawan Konser Salam Dua Jari, serangkaian acara musik yang dihelat untuk mendukung pencalonan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam pemilihan presiden 2014.
Tak terang siapa mengajak siapa, sejumlah perusahaan lain di belakang PT LAS dipenuhi nama di lingkaran duet Rafil dan Adib. Hampir semua perusahaan itu baru didirikan tahun lalu, kecuali PT Tigadaya Semesta—yang disebut-sebut sempat berkantor di Dharmawangsa Square. Perusahaan ini berdiri pada 2006 sebagai kontraktor yang belakangan berkecimpung di bidang jasa telekomunikasi.
Tigadaya memiliki PT LAS secara tidak langsung lewat PT Sapta Daya Indotama. Saham Tigadaya hampir sepenuhnya dikempit Musjwirah Jusuf Kalla, putri kedua mantan wakil presiden Jusuf Kalla. Kebetulan, Kalla dan Syafruddin, ayah Rafil Perdana, kini berduet memimpin Dewan Masjid Indonesia. Sedangkan suami Musjwirah, Langlang Wilangkoro, tercatat sebagai direktur Tigadaya.
Separuh saham Sapta Daya Indotama lainnya dikuasai PT Sugih Reksa Indotama. Di sini muncul nama Anang Hermansyah, Irfan Aulia, dan Abdi Negara Nurdin. Anang, musikus yang juga anggota DPR periode 2014-2019, bertindak sebagai pemegang 40 persen saham Sugih Reksa sekaligus direktur utama perusahaan.
Adapun Irfan, gitaris Samsons yang juga komisioner LMKN, berbagi rata saham Sugih Reksa dengan Abdi, gitaris Slank yang juga salah satu inisiator Konser Salam Dua Jari dan Konser Putih Bersatu Menuju Kemenangan Indonesia Maju—perhelatan musik yang digelar Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin pada 2019. Nama Abdi beberapa waktu lalu ramai menjadi perbincangan publik setelah ia didapuk menjadi Komisaris Independen PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk.
Dimintai konfirmasi Tempo, Sabtu, 30 Oktober lalu, Anang Hermansyah membenarkan kabar bahwa dia mendirikan Sugih Reksa bersama Abdi Negara dan Irfan Aulia sebagai investasi dalam bisnis kuliner. Sedangkan investasi ke PT LAS, dia menerangkan, dilakukan saat ada peluang kerja sama yang dibuka LMKN untuk membangun sistem informasi. “Saat itu ada yang mampu dan mau berinvestasi, maka kami ikut mendukung karena untuk memajukan industri musik,” ujar Anang.
Abdi Negara, saat acara kampanye pilpres di Stadion Gelora Sepuluh Nopember, Surabaya, Juni 2014. Dok. TEMPO/Fully Syafi
Namun Anang tak membahas lebih lanjut susunan perusahaan berlapis di balik PT LAS. “PT Sugih Reksa Indotama hanya sebagai investor. Pertanyaan tentang PT LAS bisa langsung disampaikan ke pihak PT LAS,” kata Anang. Tempo juga berupaya meminta konfirmasi Abdi Negara dan Irfan Aulia lewat panggilan telepon dan pesan tertulis. Namun keduanya tak merespons dan tak menjawab pertanyaan.
Begitu pula Adib Hidayat, yang tak menanggapi panggilan telepon dan pesan WhatsApp Tempo. Kepala bagian legal PT LAS, Andry Deo Lantara, menyatakan belum dapat menjawab pertanyaan Tempo. “Saya perlu berkoordinasi dengan direktur dulu,” ucap Andry saat dihubungi, Jumat, 29 Oktober lalu.
Adapun Direktur Marketing dan Komunikasi PT LAS, Yohana Elizabeth Hardjadinata sempat menjanjikan keterangan tertulis. Namun, hingga Sabtu malam, 30 Oktober lalu, keterangan itu tak kunjung datang. “Saya sedang diinfus, setelah selesai dan istirahat akan saya balas,” tuturnya.
Seorang sumber Tempo di lingkaran keluarga Kalla mengungkapkan, Ongko—panggilan Langlang Wilangkoro—masuk ke konsorsium pemodal PT LAS atas ajakan Abdi, Anang, dan Irfan. “Ongko punya bisnis restoran dan Anang punya bisnis kuliner,” ujarnya.
Setelah masuk, kata sumber itu, Ongko diminta turut mengundang investor lain agar ikut chip in ke konsorsium tersebut. Mencuatnya polemik seputar penunjukan langsung PT LAS, kata dia, mengentak Tigadaya. “Ongko bilang, “Ini bisnis udah enggak jelas untung, gue udah kejebur aja’,” ucap sumber Tempo menirukan pernyataan Langlang Wilangkoro.
•••
SUARA di tubuh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional tentang penunjukan PT Lentera Abadi Solutama sebenarnya tidak bulat. Perdebatan sempat terjadi di antara komisioner ketika rencana perjanjian kerja sama hendak diteken pada medio Mei lalu.
Komisioner Bidang Hukum dan Litigasi LMKN Marulam J. Hutauruk membenarkan adanya pembahasan di tubuh lembaganya sebelum PT LAS ditunjuk. Dia mengaku sempat mempersoalkan rekam jejak Hiroshi Arifudin, yang tercatat pernah tersandung perkara keperdataan di pengadilan. “Saya sampaikan, kalau dilakukan kerja sama harus dengan orang berintegritas,” tutur Marulam kepada Tempo.
Kritik itu dilontarkan Marulam sebelum kursi Direktur PT LAS beralih ke Adib Hidayat. Kala itu, Marulam mengecek rekam jejak PT LAS setelah mendapati nama perusahaan ini dari draf kerja sama yang disodorkan oleh Ketua LMKN Yurod Saleh. Pada awal April itu, seingat Marulam, pembahasan rencana pengembangan Sistem Informasi Lagu dan Musik memang telah dimulai bersama Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum.
Marulam tak tahu apakah pergantian pengurus PT LAS berhubungan dengan kritiknya. Yang jelas, dia menilai rekam jejak Adib Hidayat diakui banyak kalangan di industri musik. Marulam enggan menjelaskan lebih detail dasar keputusan menunjuk PT LAS.
Sumber Tempo yang mengikuti pengadaan SILM ini mengungkapkan, perbedaan pendapat komisioner LMKN sebenarnya berlanjut. Keberadaan Irfan Aulia sebagai pemegang saham tak langsung PT LAS, misalnya, sempat memantik pertanyaan komisioner lain lantaran ada konflik kepentingan. Belakangan, Irfan diumumkan mengundurkan diri sebagai komisioner LMKN.
Yang jadi pangkal perselisihan hingga saat ini adalah isi perjanjian induk antara LMKN dan PT LAS. Sejumlah komisioner tak setuju PT LAS ditunjuk sebagai pelaksana harian yang akan mendapat porsi 20 persen dari royalti lagu dan musik yang dapat dihimpun. Jika dihitung dari realisasi pendistribusian royalti lagu dan musik yang dicatat LMKN pada 2019, perusahaan seumur jagung ini punya potensi meraup porsi dana Rp 15 miliar per tahun.
Penandatanganan perjanjian kerja sama antara Lembaga Manajemen Kolektif Nasional dan PT Lentera Abadi Solutama untuk membangun pusat data lagu dan musik, pada Mei 2021. dgip.go.id
Draf perjanjian yang memberi keistimewaan kepada PT LAS itu, menurut sumber Tempo, sejak awal telah tersedia, bahkan sebelum ada pembahasan di dalam LMKN. PT LAS akhirnya tetap dipilih dengan skema kerja sama yang ada setelah Ketua LMKN Yurod Saleh memutuskannya dalam rapat. “Sebelum ada PP 56 Tahun 2021, statuta LMKN kan kolektif kolegial. Setelah terbit PP itu, ketua punya kewenangan mengambil keputusan,” ujarnya. “Selain itu, LAS tetap dipilih karena ada masukan dari DJKI.”
Yurod Saleh tak menanggapi pertanyaan yang dilayangkan Tempo, termasuk lewat surat permohonan wawancara. "Barangkali bisa langsung ke bagian lisensi, ya. Saya lagi ada acara di luar kota," kata Yurod, Kamis, 28 Oktober lalu. Komisioner Bidang Kolektif Royalti dan Lisensi LMKN Adi Adrian alias Adi “KLa” juga tak merespons pertanyaan Tempo.
Marulam Hutauruk mengatakan perjanjian induk dengan PT LAS masih akan didetailkan dalam perjanjian turunan. Dia menjelaskan, saat ini LMKN telah menggandeng Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan Institut Teknologi Bandung untuk merumuskan bentuk sistem informasi yang akan dikembangkan oleh PT LAS. “Kami melibatkan pihak kampus agar independen. Setelah ini pun akan dihitung oleh lembaga independen.”
Kabar mengejutkan lain datang dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Rabu, 27 Oktober lalu. Kepala Bagian Tata Usaha dan Hubungan Masyarakat DJKI Irma Mariana menyatakan instansinya belum dapat menjawab pertanyaan Tempo. “Ada pergantian Dirjen, mungkin bisa wawancara dengan Direktur Hak Cipta,” tutur Irma. Penyampaian jawaban tertulis oleh pejabat lain yang sempat direncanakan pada Jumat, 29 Oktober lalu, pun batal. “Mohon maaf, kami masih dalam transisi kepemimpinan, belum bisa melakukan wawancara saat ini.”
Freddy Harris, Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual yang menukangi penyusunan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 dan ikut membahas rencana pengadaan SILM, membenarkan adanya pergantian pejabat. Dia sempat mengomentari persoalan ini, tapi komentarnya tak dapat dikutip. Kelanjutan pengadaan sistem informasi royalti lagu ini pun masih gelap.
AISHA SHAIDRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo